Kamis, 03 Agustus 2017

PERISTIWA SEKITAR G.30.S/PKI ( Prolog )


A.      Prolog
Sejak awal tahun 1965, PKI telah mempersiapkan perebutan kekuasaan politik yang dilaksanakan secara cemat dan akurat. Yang pertama adalah dicanangkannya slogan ofensif revousioner. Seumlah pimpinan partai diturunkan ke daerah-daerah untuk menyelenggarakan rapat -rapat um. Kesuksesan PKI dalam membekukan lawan politiknya yang tangguh merupakan prestasi yang luar biasa pada awal 1965. Dalam pernyataan Politibrio di hari ulang tahun PKI ke-45 pada Mei 1965, “ kapitalis birokratik” dituduh sedang menyiapkan kudeta, dan tuduhan diulangi lagi di awal September. PKI di peringatkan oleh rumor yang beredar bahwa Angkatan Darat bersiap-siap menggunakan kekuatannya menggilas partai dan berusaha menghambat informasi semacam itu naik dan tercium publik. PKI mengandalkan langkah-langkah pemerintah , didukung tekanan masa pendukungnya, untuk menahan kekuatan Angkatan Darat sambil menggembosi kekuatan kelompok-kelompok anti-Komunis.[1] Pada sidang ke IV CC PKI tanggal 11 Mei 1965, D.N. Aidat menyampaikan laporannya dengan jdul “ Perketat Ofensif Revolusioner di segala bidang” yang hakkatnya merupakan “Komando”.[2]
Selama pertemuan dengan Sukarno dan para pimpinan Nasakom, Aidit mengusulkan agar pemerintah Indonesia segera mempersenjatai pekerja, buruh, dan petani demi menangkal ancaman Inggris menyerang Indonesia dalam isu Malaysia. PKI sudah mengajukan usulannya ini kepada Angkatan Darat, namun Angkatan Darat selalu menolak pelatihan militer intensif diluar kelompoknya. Dibeberapa kejadian sebelumnya partai sudah mempertahankan agitasinya di kunci nada yang serendah mungkin, mengetahui jika tidak ada prospek jangka pendek bagi diterimanya usulan ini, siaran Aidit pada waktu itu membuktikan dimulainya dorongan besar-besaran menyerang langsung benteng pertahanan AD. Pada waktu inilah, tuntutan-tuntutan terkait dibuatdaera untuk meluluskan usulan pembentukan “ Angkatan Kelima “dan Nasakomisasi angkatan bersenjata dengan memasangkan kepada para panglima daerah penasihat-penasihat politik tiga aliran ideologis yang terkait.
Pada 1 Juni 1965, disebuah pertemuan dengan anggota-anggota Institut Pertahanan Nasional, Sukarno mendesak para panglima daerah mempertimbangkan dengan serius usulan tentang pembentukan Angkatan Kelima. Pada saat yang sama, perpecahan mulai terjadi antara Angkatan Darat dengan tiga angkatan lainnya. Di pihak AD, Jenderal Ahmad Yani menyatakan kalau persoalan Angkatan Kelima diserahkan sepenuhnya kepada keputusan Presiden. Panglima Angkatan Udara Marsekal Omar Dhani memberikan dukungan besar bagi usulan ini dan ingin segera mempercepat pembentukannya. Laksamana Eddy Martadinata, pimpinan tertinggi Angkatan Laut, juga menatakan perlunya membentuk Angkatan Kelima dipertengahan Juni 1965.[3]
Pada tanggal 27 September 1965, Jenderal Yani menegaskan penolakan militer terhadap usulan pembentukan Angkatan Kelima dan Nasakomisasi angkatan bersenjata. Pada 6 gustus 1965, Sukarno menderita sejumlah serangan penyakit dan Aidit yang berada di Cina langsung pulang ke Indonesia dan kemungkinan besar ia diminta membantu menyiapkan idato Presiden di Hari Kemerdekaan. Di sisi lain, para pemimpin AD memang mengadakan pertemuan secara Teratur di rumah Jenderal Ahmad Yani untuk membahas perkembangan-perkembangan yang terjadi didalam negri.
Angkatan Darat diam-diam sudah membentuk komisi penasihat yang terdiri atas lima jendral untuk melaporkan kepada Jendral Ahmad Yani sebagai staf KSAD dan Jendral Nasution sebagai perwira tinggi militer. Selama setahun itu AD sudah bergerak diam-diam untuk mengisi kekosongan yang diakibatkan pembredelan koran-koran anti -Komunis mili BPS dengan membentuk organ-organ pers baru, lanhsung dibawah perlindungan AD.[4]
Menjelang akhir Agustus 1965 pimpinan Biro Khusus PKI terus menerus mengadakan pertemuan -pertemuan yang kesimpulanya dilaporkan kepada ketua CC PKI D.N Aidir. Aidit menyatakan bahwa gerakan perebutan kekuasaan akan dipimpin langsung oleh D.N. Aidit sebagai pimpinan tertinggi. Pada tanggal 6 September 1965 pimpinan biro khusus PKI mengadakan rapat rahasia dengan beberapa orang oknum ABRI yang telah lama dibina yang digelari sebagai perwira progresif revolusioner untuk membicarakan persiapan kudeta.
Rapat pertama dilakukan di rumah Kapten Wahyudi Jalan Sindanglaya 5 Jakarta, dihadiri oleh Sjam, Pono, Letnan Kolonel Untung ( Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa), Kolonel A. Latief ( Komandan Brigade Infantari I Kodam V/ Jaya), Mayor Udara Suyono ( Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU Halim), Mayor A. Sigit ( Komandan Batalion 203 Brigade Infantari I Koda V/ Jaya), dan Kapten Wahyudi ( Komandan Kompi Artileri Sasaran Udara). Dalam rapat tersebut dibicarakan mengenai situasi umum dan sakitnya Presiden Sukarno. Sjam melontarkan isu adanya Dewan Jendral di AD yang akan mengadakan kudeta.[5]
Isu Dewan Jendral adalah gerakan subversif yang disokong oleh CIA dan waktu belakangan ini aktif terutama dimulai ketika Presiden Soekarno menderita sakit parah. Isu Dewan Jendral ini akan mengadakan kudeta pada hari ABRI 5 Oktober 1965 yang mendatangkan asuka-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Pada tanggal 9 September 1965 diadakanlah rapat yang ke dua dengan tempat yang sama, yang membicarakan kesepakatan bersama untuk turut serta dalam gerakan dan mengadakan tukar pikiran tentang taktik pelaksanaan gerakan,terutama masalah organisasi dan pengendalian kesatuan-kesatuan yang akan digunakan dalam gerakan serta pembagian tugas dan calon pemimpinnya.[6]
Sebelumnya, juga terjadi kebocoran rahasia Inggris yang dikenal dengan Dokumen Gilchrist. Dokumen memuat isi telegram dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kemntrian Luar Negri Inggris, yang memuat pembicaraan yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Disana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang koleganya yang berasal dari Amerika tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Rencana kudeta terhadap Sukarno, menurut dokumen itu akan dilakukan dengan our local army friend, maksudnya yaitu tentara yang menjadi teman lokal kita yaitu AD yang selama ini menjadi sekutu AS dan Barat.. Dokumen ini, membuat Sukarno marah. Dokumen itu dimaksudkan untuk memprovokasi pihak PKI karena tampaknya dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ketangan pendukung-endukung Sukarno dan PKI. Subandrio mencurigai bahwa isu ini diembuskan oleh kelompok Soeharto atau setidaknya ikut bermain dalam isu Dewan Jendral.[7]
Rapat ketiga dilaksanakan pada tanggal 13 September 1965 di rumah Kolonel A. Latief, rapat keempat tanggal 15 September 1965 dan kelima tanggal 17 September 1965 juga dirumah Kolonel A.Latief, yang dihadiri oleh Brigjen Supardjo. Rapat ini memutuskan merancang Operasi Takari, tiga komando yaitu Pasopati, dengan kekuatan Bimasakti, dan Gatotkaca. Pada tanggal 22 September 1965 diadakan rapat ke tujuh di rumah Sjam, dala rapat ini ditetapkan penentuan sasaran gerakan bagi tiap-tiap pasukan yaitu :
1.        Satgas Pasopati yang dipimpin oleh Letnan Satu Inf. Doel Arief dari resimen cakrabirawa. Pasopati yang terdiri dari unsur pasukan Brigade Infanteri I/ Jayasakti, Batalyon Raiders 454/ Diponegoro, dan barisan Sukarelawan. Satgas Pasopati dibagi menjadi tujuh kelompok untuk menjemput paksa tujuh jendral AD.
2.        Satgas Bimasakti yang dipimpin oleh Kapten Inf. Soeradi Prawiradihardjo, satgas Bimasakti ini terdiri dari Batalyon Raiders 530/ Brawijaya, Batalyon Raiders 454/ Diponegoro, Brigade Infantari I/ Jayasakti, dan barisan sukarelawan. Satgas Bimasakti bertugas menduduki gedung Telekomunikasi di Jalan Medan Merdeka  Selatan dan stasiun Radio Republik Indonesia ( RRI) di Jalan Medan Merdeka Barat.
3.        Satgas Gatotkaca ( Pringgodani) yang dipimpin oleh Mayor Udara Soejono dan Mayor Udara Gatot Soekrisno. Pasukan ini berbasis di Lubang Buaya, Pondek Gede.[8]
Setelah persiapan-persiapan terakhir menjelang kudeta dibicarakan dalam rapat-rapat rahasia oleh tokoh-tokoh pelaksana utama dibawah pimpinan sjam, ditetapkan bahwa gerakan akan dimulai pada hari Kamis malam tanggal 30 September 1965. sesuai dengan rapat terakhir tanggal 29 September 1965 di rumah sjam, gerakan itu diberi nama Gerakan tanggal 30 September ( G-30 S/ PKI atau Gestapu/ PI).
Gerakan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa ( Pasukan Pengawal Presiden) selaku pimpinan formal seluruh gerakan. Mulai bergerak pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, didahului dengan gerakan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama AD dan semuanya dibawa ke Lubang Buaya. Keenam perwira tinggi yang dibunuh tersebut adalah :
a.         Menteri/ Panglima Angkatan Darat ( Men/ Pangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani.
b.        Deputi II Pangad, Mayor Jenderal R. Soeprapto.
c.         Deputi III Pangad, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo.
d.        Asisten I Pangad, Mayor Jenderal Siswondo Parman.
e.         Asisten IV Pangad, Brigadier Jendral Donald Izacus Pandjaitan.
f.         Inspektur Kehakiman/ Oditur Jenderal Angkatan Darat, Brigadier Jenderal Soetojo Siwomihardjo.
g.        Ajudan Jenderal Nasution, Letnan Satu Pierre Andries Tandean.[9]



[1] Rex Mortimer. Indonesian Communism Under Sukarno Ideologi dan Politik 1959-1965, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 489.
[2] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 481.
[3] Rex Mortimer. Indonesian Communism Under Sukarno Ideologi dan Politik 1959-1965, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 491-493.
[4] Rex Mortimer. Indonesian Communism Under Sukarno Ideologi dan Politik 1959-1965, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 495-497.
[5] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 481-482.
[6] Goenawan Moehamad, Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia, ( Jakarta : Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, 1998), hlm. 76.
[7] Nurani Soyomukti, Soekarno dan Cina, ( Jogjakarta : Garasi, 2016), hlm. 104-105.
[8] Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Soekarno, ( Depok : Komunitas Bambu, 2013), hlm. 63.
[9] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 483-484.

0 komentar:

Posting Komentar