A.
Prolog
Sejak awal tahun
1965, PKI telah mempersiapkan perebutan kekuasaan politik yang dilaksanakan
secara cemat dan akurat. Yang pertama adalah dicanangkannya slogan ofensif
revousioner. Seumlah pimpinan partai diturunkan ke daerah-daerah untuk
menyelenggarakan rapat -rapat um. Kesuksesan PKI dalam membekukan lawan
politiknya yang tangguh merupakan prestasi yang luar biasa pada awal 1965.
Dalam pernyataan Politibrio di hari ulang tahun PKI ke-45 pada Mei 1965, “
kapitalis birokratik” dituduh sedang menyiapkan kudeta, dan tuduhan diulangi
lagi di awal September. PKI di peringatkan oleh rumor yang beredar bahwa
Angkatan Darat bersiap-siap menggunakan kekuatannya menggilas partai dan
berusaha menghambat informasi semacam itu naik dan tercium publik. PKI
mengandalkan langkah-langkah pemerintah , didukung tekanan masa pendukungnya,
untuk menahan kekuatan Angkatan Darat sambil menggembosi kekuatan
kelompok-kelompok anti-Komunis.[1]
Pada sidang ke IV CC PKI tanggal 11 Mei 1965, D.N. Aidat menyampaikan
laporannya dengan jdul “ Perketat Ofensif Revolusioner di segala bidang” yang
hakkatnya merupakan “Komando”.[2]
Selama pertemuan
dengan Sukarno dan para pimpinan Nasakom, Aidit mengusulkan agar pemerintah
Indonesia segera mempersenjatai pekerja, buruh, dan petani demi menangkal
ancaman Inggris menyerang Indonesia dalam isu Malaysia. PKI sudah mengajukan
usulannya ini kepada Angkatan Darat, namun Angkatan Darat selalu menolak
pelatihan militer intensif diluar kelompoknya. Dibeberapa kejadian sebelumnya
partai sudah mempertahankan agitasinya di kunci nada yang serendah mungkin,
mengetahui jika tidak ada prospek jangka pendek bagi diterimanya usulan ini,
siaran Aidit pada waktu itu membuktikan dimulainya dorongan besar-besaran
menyerang langsung benteng pertahanan AD. Pada waktu inilah, tuntutan-tuntutan
terkait dibuatdaera untuk meluluskan usulan pembentukan “ Angkatan Kelima “dan
Nasakomisasi angkatan bersenjata dengan memasangkan kepada para panglima daerah
penasihat-penasihat politik tiga aliran ideologis yang terkait.
Pada 1 Juni
1965, disebuah pertemuan dengan anggota-anggota Institut Pertahanan Nasional,
Sukarno mendesak para panglima daerah mempertimbangkan dengan serius usulan
tentang pembentukan Angkatan Kelima. Pada saat yang sama, perpecahan mulai
terjadi antara Angkatan Darat dengan tiga angkatan lainnya. Di pihak AD,
Jenderal Ahmad Yani menyatakan kalau persoalan Angkatan Kelima diserahkan
sepenuhnya kepada keputusan Presiden. Panglima Angkatan Udara Marsekal Omar
Dhani memberikan dukungan besar bagi usulan ini dan ingin segera mempercepat pembentukannya.
Laksamana Eddy Martadinata, pimpinan tertinggi Angkatan Laut, juga menatakan
perlunya membentuk Angkatan Kelima dipertengahan Juni 1965.[3]
Pada tanggal 27
September 1965, Jenderal Yani menegaskan penolakan militer terhadap usulan
pembentukan Angkatan Kelima dan Nasakomisasi angkatan bersenjata. Pada 6 gustus
1965, Sukarno menderita sejumlah serangan penyakit dan Aidit yang berada di
Cina langsung pulang ke Indonesia dan kemungkinan besar ia diminta membantu
menyiapkan idato Presiden di Hari Kemerdekaan. Di sisi lain, para pemimpin AD
memang mengadakan pertemuan secara Teratur di rumah Jenderal Ahmad Yani untuk
membahas perkembangan-perkembangan yang terjadi didalam negri.
Angkatan Darat
diam-diam sudah membentuk komisi penasihat yang terdiri atas lima jendral untuk
melaporkan kepada Jendral Ahmad Yani sebagai staf KSAD dan Jendral Nasution
sebagai perwira tinggi militer. Selama setahun itu AD sudah bergerak diam-diam
untuk mengisi kekosongan yang diakibatkan pembredelan koran-koran anti -Komunis
mili BPS dengan membentuk organ-organ pers baru, lanhsung dibawah perlindungan
AD.[4]
Menjelang akhir
Agustus 1965 pimpinan Biro Khusus PKI terus menerus mengadakan pertemuan
-pertemuan yang kesimpulanya dilaporkan kepada ketua CC PKI D.N Aidir. Aidit
menyatakan bahwa gerakan perebutan kekuasaan akan dipimpin langsung oleh D.N.
Aidit sebagai pimpinan tertinggi. Pada tanggal 6 September 1965 pimpinan biro
khusus PKI mengadakan rapat rahasia dengan beberapa orang oknum ABRI yang telah
lama dibina yang digelari sebagai perwira progresif revolusioner untuk
membicarakan persiapan kudeta.
Rapat pertama
dilakukan di rumah Kapten Wahyudi Jalan Sindanglaya 5 Jakarta, dihadiri oleh
Sjam, Pono, Letnan Kolonel Untung ( Komandan Batalion I Kawal Kehormatan
Resimen Cakrabirawa), Kolonel A. Latief ( Komandan Brigade Infantari I Kodam V/
Jaya), Mayor Udara Suyono ( Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU
Halim), Mayor A. Sigit ( Komandan Batalion 203 Brigade Infantari I Koda V/
Jaya), dan Kapten Wahyudi ( Komandan Kompi Artileri Sasaran Udara). Dalam rapat
tersebut dibicarakan mengenai situasi umum dan sakitnya Presiden Sukarno. Sjam
melontarkan isu adanya Dewan Jendral di AD yang akan mengadakan kudeta.[5]
Isu Dewan
Jendral adalah gerakan subversif yang disokong oleh CIA dan waktu belakangan
ini aktif terutama dimulai ketika Presiden Soekarno menderita sakit parah. Isu
Dewan Jendral ini akan mengadakan kudeta pada hari ABRI 5 Oktober 1965 yang
mendatangkan asuka-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Pada
tanggal 9 September 1965 diadakanlah rapat yang ke dua dengan tempat yang sama,
yang membicarakan kesepakatan bersama untuk turut serta dalam gerakan dan
mengadakan tukar pikiran tentang taktik pelaksanaan gerakan,terutama masalah organisasi dan pengendalian kesatuan-kesatuan
yang akan digunakan dalam gerakan serta pembagian tugas dan calon pemimpinnya.[6]
Sebelumnya, juga
terjadi kebocoran rahasia Inggris yang dikenal dengan Dokumen Gilchrist.
Dokumen memuat isi telegram dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta
Sir Andrew Gilchrist kepada Kemntrian Luar Negri Inggris, yang memuat
pembicaraan yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden
Soekarno. Disana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang koleganya yang
berasal dari Amerika tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia.
Rencana kudeta terhadap Sukarno, menurut dokumen itu akan dilakukan dengan our
local army friend, maksudnya yaitu tentara yang menjadi teman lokal kita yaitu
AD yang selama ini menjadi sekutu AS dan Barat.. Dokumen ini, membuat Sukarno
marah. Dokumen itu dimaksudkan untuk memprovokasi pihak PKI karena tampaknya
dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ketangan pendukung-endukung Sukarno dan
PKI. Subandrio mencurigai bahwa isu ini diembuskan oleh kelompok Soeharto atau
setidaknya ikut bermain dalam isu Dewan Jendral.[7]
Rapat ketiga
dilaksanakan pada tanggal 13 September 1965 di rumah Kolonel A. Latief, rapat
keempat tanggal 15 September 1965 dan kelima tanggal 17 September 1965 juga
dirumah Kolonel A.Latief, yang dihadiri oleh Brigjen Supardjo. Rapat ini
memutuskan merancang Operasi Takari, tiga komando yaitu Pasopati, dengan
kekuatan Bimasakti, dan Gatotkaca. Pada tanggal 22 September 1965 diadakan
rapat ke tujuh di rumah Sjam, dala rapat ini ditetapkan penentuan sasaran
gerakan bagi tiap-tiap pasukan yaitu :
1.
Satgas Pasopati yang dipimpin oleh
Letnan Satu Inf. Doel Arief dari resimen cakrabirawa. Pasopati yang terdiri
dari unsur pasukan Brigade Infanteri I/ Jayasakti, Batalyon Raiders 454/
Diponegoro, dan barisan Sukarelawan. Satgas Pasopati dibagi menjadi tujuh
kelompok untuk menjemput paksa tujuh jendral AD.
2.
Satgas Bimasakti yang dipimpin oleh
Kapten Inf. Soeradi Prawiradihardjo, satgas Bimasakti ini terdiri dari Batalyon
Raiders 530/ Brawijaya, Batalyon Raiders 454/ Diponegoro, Brigade Infantari I/
Jayasakti, dan barisan sukarelawan. Satgas Bimasakti bertugas menduduki gedung
Telekomunikasi di Jalan Medan Merdeka
Selatan dan stasiun Radio Republik Indonesia ( RRI) di Jalan Medan
Merdeka Barat.
3.
Satgas Gatotkaca ( Pringgodani) yang
dipimpin oleh Mayor Udara Soejono dan Mayor Udara Gatot Soekrisno. Pasukan ini
berbasis di Lubang Buaya, Pondek Gede.[8]
Setelah
persiapan-persiapan terakhir menjelang kudeta dibicarakan dalam rapat-rapat
rahasia oleh tokoh-tokoh pelaksana utama dibawah pimpinan sjam, ditetapkan
bahwa gerakan akan dimulai pada hari Kamis malam tanggal 30 September 1965.
sesuai dengan rapat terakhir tanggal 29 September 1965 di rumah sjam, gerakan
itu diberi nama Gerakan tanggal 30 September ( G-30 S/ PKI atau Gestapu/ PI).
Gerakan yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa (
Pasukan Pengawal Presiden) selaku pimpinan formal seluruh gerakan. Mulai
bergerak pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, didahului dengan gerakan penculikan
dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama AD dan
semuanya dibawa ke Lubang Buaya. Keenam perwira tinggi yang dibunuh tersebut
adalah :
a.
Menteri/ Panglima Angkatan Darat ( Men/
Pangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani.
b.
Deputi II Pangad, Mayor Jenderal R.
Soeprapto.
c.
Deputi III Pangad, Mayor Jenderal
Harjono Mas Tirtodarmo.
d.
Asisten I Pangad, Mayor Jenderal
Siswondo Parman.
e.
Asisten IV Pangad, Brigadier Jendral
Donald Izacus Pandjaitan.
f.
Inspektur Kehakiman/ Oditur Jenderal
Angkatan Darat, Brigadier Jenderal Soetojo Siwomihardjo.
[1] Rex Mortimer. Indonesian
Communism Under Sukarno Ideologi dan Politik 1959-1965, ( Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 489.
[2] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang
dan Zaman Republik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 481.
[3]
Rex Mortimer. Indonesian Communism Under Sukarno Ideologi dan Politik
1959-1965, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 491-493.
[4] Rex Mortimer. Indonesian
Communism Under Sukarno Ideologi dan Politik 1959-1965, ( Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 495-497.
[5] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang
dan Zaman Republik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 481-482.
[6] Goenawan
Moehamad, Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia, (
Jakarta : Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, 1998), hlm. 76.
[7] Nurani
Soyomukti, Soekarno dan Cina, ( Jogjakarta : Garasi, 2016), hlm.
104-105.
[8]
Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Soekarno, ( Depok : Komunitas Bambu,
2013), hlm. 63.
[9] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang
dan Zaman Republik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 483-484.
0 komentar:
Posting Komentar