Kamis, 03 Agustus 2017

PERISTIWA SEKITAR G.30.S/PKI ( epilog)

A.        Epilog
Peristiwa G S0 S berawal pada tanggal 30 september 1965 pagi hari. PKI  dibawah pimpinan Aidit melancarkan usaha perebutan kekuasaan. Enam  orang jenderal berhasil diculik dan dibunuh. Mereka kemudian dibuang ke lubang buaya. Jenderal Nasution dapar melarikan diri dan selamat dari rencana pembunuhan. Enam orang jenderal yang terbunuh adalah A. Yani, Suprapto, Suparman, Sutoyo, Panjaitan dan Haryono. Peristiwa tersebut terlepas peristiwa sebelumnya. Secara internasional, pada masa itu terjadi perang dingin antara blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan blok Timur di bawah Uni Soviet. AS yang berperang di Vietnam tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis. Di dalam negeri, kekuatan politik saat itu mengerucut kepada tiga unsur, yakni Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI. Pada tingkat masyarakat telah timbul konflik horizontal antara kelompok kiri dan kalangan Islam (terutama yang memiliki tanah luas) dalam kasus landreform yang ditegakkan melalui aksi sepihak PKI dan BTI. Di kalangan seniman juga terjadi polemik keras antara kubu Lekra dan kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Konflik-konflik itu diperburuk dengan situasi ekonomi yang sulit dan musim kering berkepanjangan yang menyebabkan gagalnya banyak panen petani. Barang kebutuhan sehari-hari menjadi langka.
Selain itu PKI juga berhasil menguasaai dua sarana komunikasi vital negara, yaitu studio RRI (Radio Republik Indonesia) dan kantor Telekomunikasi. Melalui RRI, PKI mengumumkan bahwa Gerakan 30 September bertujuan melindungi presiden Sukarno dari ancaman kudeta Dewan Jenderal, serta pembentukan Dewan Revolusi yang diketuai Letkol Untung Sutopo. Mereka sempat juga menguasaai lapangan Merdeka selama dua belas jam. Rencana PKI tidak berjalan lancar. Keesokan harinya, 1 Oktober 1965 ketika peristiwa tersebut sampai ke telinga angkatan darat, mereka segera bergerak di bawah pimpinan mayor jenderal Soeharto yang mengambil alih komandan angkatan darat pada pagi hari. Pada petang hari, ia melancarkan serangan balik. Stasiun RRI dan kantor Telekomunikasi berhasil direbut kembali dari tangan PKI. Lapangan merdeka akhirnya bersih dari pasukan PKI. Semua pasukan yang dianggap pemberontak akhirnya ditangkap. Ada beberapa yang melarikan diri dari Jakarta pada pagi hari 2 Oktober. Pembantaian terjadi dimana-mana, dengan dalih memberantas PKI.
Pada tanggal 3 Oktober, presiden sukarno memberi wewenang kepada suharto untuk "memulihkan ketertibab". Lalu pada 16 Oktober, Sukarno secara resmi melantik Mayjen Suharto menjadi Mentri/ Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Maka semakin kuatlah posisi Suharto di pemerintahan. Suharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah  dalang peristiwa G 30 S, dan menyusun rencana menyingkirkan orang-orang yang terkait dengan partai itu. Sementara itu, demonstrasi mahasiswa dan pelajar mulai meluas. Mereka turun kejalan dan mengajukan tuntutan yang dikenal dengan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yaitu: bubarkan PKI, bubarkan Kabinet, dan turunkan Harga. Akhirnya setelah lima bulan peristiwa itu, tepatnya pada 11 Maret 1966 keluarlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberikan kekuasaan kepada Jendral Suharto untuk menyelamatkan Revolusi Indonesia, Panglima Besar Revolusi beserta ajaran-ajarannya. Kekuasaan Suharto semakin nyata dan kuat.kekuasaan tak terbatas ini pertama kali digunakan Suharto untuk melarang PKI. 
Sukarno selaku presiden dan Suharto yang berkuasa dengan supersemar. Hal ini berlangsung sampai sidang MPR(S) menarik mandatnya dari Sukarno dan menyerahkannya pada Jenderal Suharto pada 7 Maret 1967. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Sukarno dan Indonesia memasuki babak baru dibawah pimpinan Suharto. Walau berlangsung singkat, namun G 30 S berdampak besar bagi perjalanan sejarah bangsa ini. pasca kejadian ini, posisi politik presiden Sukarno melemah. Dapat dikatakan, peristiwa ini merupakan awal berakhirnya masa kepemimpinan Sukarno dan awal kekuasaan Suharto (akhir Orde Lama awal Orde Baru).
Kontroversi dalam  Gerakan 30 September.  dampaknya yang sangat besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Setelah peristiwa itu, terjadilah pembunuhan massal di Jawa-Bali dan beberapa tempat lain yang memakan korban tidak kurang dari 500 ribu orang. Kewarganegaraan ribuan orang (setelah puluhan tahun kini tinggal 570 orang) mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri, terutama di negara-negara sosialis, dicabut dan terhalang pulang. Mereka terlunta-lunta di negeri orang sampai akhirnya mencari suaka dan terpaksa memperoleh kewarganegaraan asing. Pada 1969, lebih dari 10.000 tapol 1965 golongan B dibuang ke Pulau Buru dan melakukan kerja paksa di sana selama lebih dari 10 tahun.
Selain mengalami pembunuhan, penangkapan tanpa proses pengadilan, dan penahanan lebih dari 10 tahun, para korban yang dianggap terlibat langsung/tidak langsung peristiwa itu mengalami stigma buruk dari pemerintah. Keluarga mereka juga mengalami diskriminasi dalam lapangan pekerjaan. Secara keseluruhan, jutaan orang telah menjadi korban. Itulah epilog Gerakan 30 September yang tidak boleh dilupakan.
B.       Analisis Beberapa Pendapat Tentang Peristiwa G.30.S/PKI
Masyarakat pada umumnya dan komunitas pendidikan di tingkat persekolahan pada khususnya memiliki persepsi dan interpretasi yang relatif seragam dalam melihat peristiwa G30S 1965. Peristiwa itu, yang ditandai oleh pembunuhan para Jendral TNI AD (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat), jelas didalangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Dengan menyebar isyu adanya Dewan Jendral yang akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno, PKI berhasil membujuk para perwira menengah dalam TNI AD yang dinilai “kiri” untuk menculik para jendral itu. Dengan cara seperti itu, demikian buku sejarah di tingkat persekolahan menyatakan, maka PKI bisa berbuat “lempar batu sembunyi tangan”. Sehingga, pada gilirannya nanti, PKI dapat menguasai Indonesia dan menggantikan ideologi Pancasila dengan komunisme.
Hingga kini, interpretasi terhadap peristiwa G30S 1965 itu cukup beragam. paling tidak ada lima versi dalam memaknai peristiwa itu. Semua versi yang akan dijelaskan di bawah ini ditunjang oleh fakta, data, dan argumentasi yang logis dan rasional. Sangat boleh jadi fakta dan datanya sama, namun cara melihat dan memaknainya yang berbeda. Untuk kepentingan  analisa dan memperkaya khasanah pemikiran sejarah kita, ada baiknya versi-versi “tandingan” dalam sejarah G30 S 1965.
Namun kita tidak dapat menyatakan pendapat dan perspektif mana yang paling benar? Mungkin tidak ada yang paling benar dan tidak ada yang salah sama sekali. Peristiwanya begitu kompleks dan para pelaku yang terlibat dalam peristiwa itu demikian banyak. Mengutamakan peran tokoh tertentu akan berarti mengabaikan peran tokoh yang lain, padahal sama pentingnya.
Setiap ada dominasi makna dari negara akan muncul pula penolakan makna secara kritis oleh sebagian anggota masyarakat. Dalam hal ini komunitas sejarawan akademis dan iluwan sosial lainnya yang kritis termasuk ke dalam anggota masyarakat yang menolak dominasi negara dalam memaknai peristiwa G30S 1965 itu. Hal itu dilakukan semata-mata untuk mencari dan menemukan kebenaran ilmiah dari suatu peristiwa sejarah yang sebenarnya kompleks. Dan karena kompleksitasnya itulah maka sebuah peristiwa sejarah tidak semestinya dimaknai dan diinterpretasi secara sederhana dengan pandangan yang determenistik[1]. Hanya saja, sayangnya, mengingat komunitas akademisi yang kritis itu jumlahnya tidak banyak dan biasanya bersemayam di Pergurunan Tinggi, yang juga tidak sepenuhnya bebas karena dominasi pemerintah, maka makna tandingan dalam mengkritisi peristiwa G30S 1965 itu seperti tenggelam dalam “gelombang samudera makna” yang dominan versi pemerintah Orde Baru.
Berikut beberapa versi mengenai peristiwa G 30 S :
Pertama, versi para akademisi dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang kemudian terkenal dengan sebutan Cornell Paper[2]. Menurut versi ini, peristiwa G30S 1965 jelas merupakan masalah intern dalam tubuh AD, khususnya kelompok militer yang berasal dari Divisi Diponegoro, Jawa Tengah. Peristiwa itu, menurut Cornell Paper, lebih merupakan revolusi perwira menengah (Mayor, Letnan Kolonel, dan Kolonel) yang berasal dari Divisi Diponegoro terhadap para perwira tinggi AD (Brigjen, Mayjen, Letjen, dan Jendral) yang juga berasal dari Divisi Diponegoro. Ketidakpuasan para perwira menengah terhadap para perwira tinggi AD itu menyangkut nilai-nilai, etika, dan semangat revolusi ’45 dimana kesederhanaan, kejujuran, solidaritas, kesetiaan, dan nilai-nilai hidup ideal lainnya merupakan tolok ukur utama bagi perwira sejati di manapun dan kapan pun ia berada.
Dalam pandangan para perwira menengah, para perwira tinggi AD itu – setelah pindah ke ibukota Jakarta – pola hidupnya sudah menyimpang dari nilai-nilai ’45. Hal itu dipertegas oleh pernyataan Letkol Untung sendiri, setelah ia berhasil membentuk dan mengumumkan adanya Dewan Revolusi pada tanggal 1 Oktober 1965, bahwa tujuan G30S adalah: untuk mengikis habis pengaruh Dewan Jendral dan kakitangannya dalam AD. Yang gila kuasa, yang menterlantarkan nasib anak buah, yang di atas tumpukan penderitaan anak buah hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya, menghina kaum wanita, dan menghambur-hamburkan uang negara[3]. Dengan begitu, demikian Cornell Paper, disangsikan bahwa PKI merupakan dalang utama dalam peristiwa G30S 1965 mengingat posisi partai ini sudah sangat diuntungkan oleh sistem politik Demokrasi Terpimpin dan gagasan NASAKOM-nya Soekarno.
Kedua, versi dari seorang sejarawan Barat, Antonie C.A. Dake, yang menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan dalang utama dari peristiwa G30S 1965 itu adalah Presiden Soekarno sendiri[4]. Bahwa AD selalu berseteru, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, dengan Presiden Soekarno sudah menjadi rahasia umum sejak zaman revolusi Indonesia. Jendral Soedirman sendiri, panglima TNI pada masa revolusi, sudah menunjukkan perilaku politiknya yang dalam banyak hal bertentangan dengan pemerintah dan politisi sipil, termasuk dengan Presiden Soekarno sendiri. Begitu juga dengan perilaku politik para perwira TNI AD pada tahun 1950an dan awal tahun 1960an, acapkali bertentangan dengan kepemimpinan dan kepentingan politik Presiden Soekarno.[5]
Dalam hal ini ketika Presiden Soekarno melakukan politik konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1964, secara diam-diam AD termasuk yang menolaknya. Sebagai panglima tertinggi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), sesuai dengan konstitusi UUD 1945, Presiden Soekarno merasa perlu “menjewer” para jendral AD yang membangkang itu. Itulah sebabnya Soekarno “merestui” tindakan Letkol Untung untuk “mengamankan” para Jendral AD pada 30 September 1965. Soekarno juga pada tanggal 1 Oktober 1965 berada di daerah Halim, tempat para pelaku utama G30S itu bermarkas. Dan ketika Brigjen Soepardjo, salah seorang pelaku utama G30S 1965, melaporkan bahwa para Jendral AD itu sudah “dibereskan”, Soekarno segera memeluk perwira tinggi itu dengan menepuk-nepuk punggungnya. Dalam setiap kesempatan, setelah peristiwa G30S itu berlalu, Soekarno menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan “riak kecil dalam sebuah gelombang samudera revolusi Indonesia yang dahsyat”. Soekarno juga tidak menunjukkan sikap empati atas kematian para jendral AD dengan tidak menghadiri prosesi pemakamannya dan tidak mau mengutuk PKI sebagai dalang utama peristiwa itu sebagaimana dituntut oleh pihak AD.
Ketiga, versi dari seorang sosiolog dan sejarawan Belanda, W.F. Wertheim, yang menyatakan bahwa dalang dari peristiwa G30S 1965 itu adalah Jendral Soeharto.13 Hal itu dibuktikan, menurut Wertheim, bahwa ketiga pelaku tama G30S yaitu Kolonel Untung, Letkol Latief, dan Syam Kamaruzaman adalah bekas anak buah dan teman baik Soeharto sejak zaman revolusi Indonesia. Ketika Untung melangsungkan pernikahannya pada tahun 1950-an, Soehartolah yang bertindak sebagai walinya.[6] Soeharto pula yang didatangi oleh Latief, pada tanggal 30 September 1965, yang melaporkan akan adanya G30S walaupun dalam perkembagan kemudian Soeharto membantahnya. Sementara itu Syam Kamaruzzaman juga dianggap sebagai intel “dwi-fungsi” yang melayani kepentingan intelejen baik untuk PKI maupun AD. Bahkan menurut Wertheim, tokoh intel ini sengaja disusupkan oleh AD untuk memprovokasi tindakan PKI yang sudah lama menjadi musuh AD.
Keempat, versi dari seorang mantan pejabat intelejen Amerika Serikat, Peter Dale Scott, yang menyatakan bahwa peristiwa G30S 1965, yang pada gilirannya menjatuhkan Presiden Soekarno itu, didalangi oleh CIA (Central of Intelligence Agency). Menurut P.D. Scott, sejak Soekarno mengemukakan gagasan tentang perlunya sistem politik Demokrasi Terpimpin (1956), meminta bantuan Uni Sovyet untuk membebaskan Irian Barat (1962), membetuk poros Jakarta-Peking-Pyongyang dan melakukan konfrontasi dengan Malaysia (1964), Amerika Serikat tidak senang dengan tindakan-tindakan Soekarno yang ingin menjadi pemimpin baru bagi negara-negara Asia, Afrika, dan Latin Amerika itu.
Ketidaksenangan Amerika Serikat itu nampak dari dukungan dan bantuan yang diberikan kepada para pemberontak PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan PERMESTA (Perjuangan Semesta) di Sulawesi yang menentang pemerintah pusat (Presiden Soekarno) pada tahun 1957/1958. Sementara Soekarno menyatakan “go to hell with your aids” kepada Amerika Serikat pada tahun 1960-an, negeri Paman Sam itu malah memberikan bantuan logistik, persenjataan, pendidikan, dan latihan kepada para perwira AD secara rahasia. Bahkan bantuan logistik dan keuangan itu nampak jelas ketika AD dan mahasiswa anti komunis pada tahun 1966 melakukan unjuk kekuatan untuk memberantas PKI di satu sisi, dan menentang kepemimpinan Presiden Soekarno di sisi lain. Hal itu diakui secara terus terang oleh Marshall Green, duta besar Amerika Serikat pada waktu itu.[7]
Kelima, Versi Dr. Soebandrio: Mantan Wakil Perdana Mentri I/Kepala Badan Pusat Intelijen ini menyebutkan bahwa Gerakan Tiga puluh September merupakan keberhasilan Soeharto menyingkirkan jenderal-jenderal saingannya seperti Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal Nasution di AD, sekaligus merebut kekuasaan Soeharto dengan memanfaatkan beberapa bekas anak buahnya yaitu Letkol Untung dan Kol. Latief. Pada Tahun1962, Jenderal Nasution, perwira AD yang paling senior dan dihormati, dicopot kedudukannya sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Bersenjata (Wangpangsar).[8]
Hingga kini, interpretasi terhadap peristiwa G30S 1965 itu cukup beragam. Selain versi pemerintah Orde Baru, yang disebutkan di atas, paling tidak ada empat versi lain dalam memaknai peristiwa itu. Semua versi yang akan dijelaskan di bawah ini ditunjang oleh fakta, data, dan argumentasi yang logis dan rasional. Sangat boleh jadi fakta dan datanya sama, namun cara melihat dan memaknainya yang berbeda.



[1] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm.211-14; dan Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Jakarta: Ditjendikti-Depdikbud, 1996), hlm.160-61

[2] Lihat Benedict R.O’G. Anderson and Ruth T.Mc Vey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University, 1971). Dimuat dalam jurnal Historia tahun 2000
[3] Alex Dinuth (Peny.), 1993. Salinan Dokumen Terpilih Sekitar Pemberontakan G30S/PKI Jakarta: Lemhanas hlm.20.
[4] Antonie C.A. Dake, In the Spirit of the Red Banteng, Indonesian Communists between Moscow and Peking 1959-1965 (The Hague, Paris: Mouton & Co, 1973). Dimuat dalam jurnal HISTORIA tahun 2000
[5] Ulf Sundhaussen. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, Terjemahan .Jakarta: Penerbit LP3ES. Hal 302
[6] W.F. Wertheim, “Suharto and Untung Coup, The Missing Link”, Journal of Contemporary Asia, No.1 (Winter, 1970)
[7] Peter Dale Scott, CIA dan Penggulingan Sukarno, Terjemahan (Yogyakarta: Lembaga Analisis Informasi, 1999).
[8] Peter Dale Scott. 2007. Peran CIA Dalam Penggulingan Sukarno (Edisi Revisi). Yogyakarta: Media Pressindo. Halaman 17  

0 komentar:

Posting Komentar