A.
Epilog
Peristiwa G S0 S
berawal pada tanggal 30 september 1965 pagi hari. PKI dibawah pimpinan Aidit melancarkan usaha
perebutan kekuasaan. Enam orang jenderal
berhasil diculik dan dibunuh. Mereka kemudian dibuang ke lubang buaya. Jenderal
Nasution dapar melarikan diri dan selamat dari rencana pembunuhan. Enam orang
jenderal yang terbunuh adalah A. Yani, Suprapto, Suparman, Sutoyo, Panjaitan
dan Haryono. Peristiwa tersebut terlepas peristiwa sebelumnya. Secara internasional, pada
masa itu terjadi perang dingin antara blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat
dan blok Timur di bawah Uni Soviet. AS yang berperang di Vietnam tidak ingin
Indonesia jatuh ke tangan komunis. Di dalam negeri, kekuatan politik saat itu
mengerucut kepada tiga unsur, yakni Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI.
Pada tingkat masyarakat telah timbul konflik horizontal antara kelompok kiri
dan kalangan Islam (terutama yang memiliki tanah luas) dalam kasus landreform
yang ditegakkan melalui aksi sepihak PKI dan BTI. Di kalangan seniman juga
terjadi polemik keras antara kubu Lekra dan kelompok Manifesto Kebudayaan
(Manikebu). Konflik-konflik itu diperburuk dengan situasi ekonomi yang sulit
dan musim kering berkepanjangan yang menyebabkan gagalnya banyak panen petani.
Barang kebutuhan sehari-hari menjadi langka.
Selain itu PKI juga berhasil menguasaai dua
sarana komunikasi vital negara, yaitu studio RRI (Radio Republik Indonesia) dan
kantor Telekomunikasi. Melalui RRI, PKI mengumumkan bahwa Gerakan 30 September
bertujuan melindungi presiden Sukarno dari ancaman kudeta Dewan Jenderal, serta
pembentukan Dewan Revolusi yang diketuai Letkol Untung Sutopo. Mereka sempat
juga menguasaai lapangan Merdeka selama dua belas jam. Rencana PKI tidak
berjalan lancar. Keesokan harinya, 1 Oktober 1965 ketika peristiwa tersebut
sampai ke telinga angkatan darat, mereka segera bergerak di bawah pimpinan
mayor jenderal Soeharto yang mengambil alih komandan angkatan darat pada pagi
hari. Pada petang hari, ia melancarkan serangan balik. Stasiun RRI dan kantor
Telekomunikasi berhasil direbut kembali dari tangan PKI. Lapangan merdeka
akhirnya bersih dari pasukan PKI. Semua pasukan yang dianggap pemberontak
akhirnya ditangkap. Ada beberapa yang melarikan diri dari Jakarta pada pagi
hari 2 Oktober. Pembantaian terjadi dimana-mana, dengan dalih memberantas PKI.
Pada tanggal 3
Oktober, presiden sukarno memberi wewenang kepada suharto untuk
"memulihkan ketertibab". Lalu pada 16 Oktober, Sukarno secara resmi
melantik Mayjen Suharto menjadi Mentri/ Panglima Angkatan Darat di Istana
Negara. Maka semakin kuatlah posisi Suharto di pemerintahan. Suharto menuduh
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang peristiwa G 30
S, dan menyusun rencana menyingkirkan orang-orang yang terkait dengan partai
itu. Sementara itu, demonstrasi mahasiswa dan pelajar mulai meluas. Mereka
turun kejalan dan mengajukan tuntutan yang dikenal dengan Tritura (Tiga
Tuntutan Rakyat) yaitu: bubarkan PKI, bubarkan Kabinet, dan turunkan Harga.
Akhirnya setelah lima bulan peristiwa itu, tepatnya pada 11 Maret 1966
keluarlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberikan kekuasaan
kepada Jendral Suharto untuk menyelamatkan Revolusi Indonesia, Panglima Besar
Revolusi beserta ajaran-ajarannya. Kekuasaan Suharto semakin nyata dan
kuat.kekuasaan tak terbatas ini pertama kali digunakan Suharto untuk melarang
PKI.
Sukarno selaku
presiden dan Suharto yang berkuasa dengan supersemar. Hal ini berlangsung
sampai sidang MPR(S) menarik mandatnya dari Sukarno dan menyerahkannya pada
Jenderal Suharto pada 7 Maret 1967. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan
Sukarno dan Indonesia memasuki babak baru dibawah pimpinan Suharto. Walau
berlangsung singkat, namun G 30 S berdampak besar bagi perjalanan sejarah
bangsa ini. pasca kejadian ini, posisi politik presiden Sukarno melemah. Dapat
dikatakan, peristiwa ini merupakan awal berakhirnya masa kepemimpinan Sukarno
dan awal kekuasaan Suharto (akhir Orde Lama awal Orde Baru).
Kontroversi dalam
Gerakan 30 September. dampaknya
yang sangat besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Setelah peristiwa itu,
terjadilah pembunuhan massal di Jawa-Bali dan beberapa tempat lain yang memakan
korban tidak kurang dari 500 ribu orang. Kewarganegaraan ribuan orang (setelah
puluhan tahun kini tinggal 570 orang) mahasiswa Indonesia yang sedang belajar
di luar negeri, terutama di negara-negara sosialis, dicabut dan terhalang
pulang. Mereka terlunta-lunta di negeri orang sampai akhirnya mencari suaka dan
terpaksa memperoleh kewarganegaraan asing. Pada 1969, lebih dari 10.000 tapol
1965 golongan B dibuang ke Pulau Buru dan melakukan kerja paksa di sana selama
lebih dari 10 tahun.
Selain mengalami pembunuhan, penangkapan tanpa proses pengadilan,
dan penahanan lebih dari 10 tahun, para korban yang dianggap terlibat
langsung/tidak langsung peristiwa itu mengalami stigma buruk dari pemerintah.
Keluarga mereka juga mengalami diskriminasi dalam lapangan pekerjaan. Secara
keseluruhan, jutaan orang telah menjadi korban. Itulah epilog Gerakan 30
September yang tidak boleh dilupakan.
B. Analisis Beberapa Pendapat Tentang Peristiwa G.30.S/PKI
Masyarakat pada umumnya dan komunitas pendidikan di
tingkat persekolahan pada khususnya memiliki persepsi dan interpretasi yang
relatif seragam dalam melihat peristiwa G30S 1965. Peristiwa itu, yang ditandai
oleh pembunuhan para Jendral TNI AD (Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat), jelas didalangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Dengan menyebar
isyu adanya Dewan Jendral yang akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno,
PKI berhasil membujuk para perwira menengah dalam TNI AD yang dinilai “kiri”
untuk menculik para jendral itu. Dengan cara seperti itu, demikian buku sejarah
di tingkat persekolahan menyatakan, maka PKI bisa berbuat “lempar batu sembunyi
tangan”. Sehingga, pada gilirannya nanti, PKI dapat menguasai Indonesia dan
menggantikan ideologi Pancasila dengan komunisme.
Hingga kini,
interpretasi terhadap peristiwa G30S 1965 itu cukup beragam. paling tidak ada
lima versi dalam memaknai peristiwa itu. Semua versi yang akan dijelaskan di
bawah ini ditunjang oleh fakta, data, dan argumentasi yang logis dan rasional.
Sangat boleh jadi fakta dan datanya sama, namun cara melihat dan memaknainya
yang berbeda. Untuk kepentingan analisa
dan memperkaya khasanah pemikiran sejarah kita, ada baiknya versi-versi
“tandingan” dalam sejarah G30 S 1965.
Namun kita tidak
dapat menyatakan pendapat dan perspektif mana yang paling benar? Mungkin tidak
ada yang paling benar dan tidak ada yang salah sama sekali. Peristiwanya begitu
kompleks dan para pelaku yang terlibat dalam peristiwa itu demikian banyak.
Mengutamakan peran tokoh tertentu akan berarti mengabaikan peran tokoh yang
lain, padahal sama pentingnya.
Setiap ada dominasi makna dari negara akan muncul pula
penolakan makna secara kritis oleh sebagian anggota masyarakat. Dalam hal ini
komunitas sejarawan akademis dan iluwan sosial lainnya yang kritis termasuk ke
dalam anggota masyarakat yang menolak dominasi negara dalam memaknai peristiwa
G30S 1965 itu. Hal itu dilakukan semata-mata untuk mencari dan menemukan
kebenaran ilmiah dari suatu peristiwa sejarah yang sebenarnya kompleks. Dan
karena kompleksitasnya itulah maka sebuah peristiwa sejarah tidak semestinya
dimaknai dan diinterpretasi secara sederhana dengan pandangan yang
determenistik[1].
Hanya saja, sayangnya, mengingat komunitas akademisi yang kritis itu jumlahnya
tidak banyak dan biasanya bersemayam di Pergurunan Tinggi, yang juga tidak
sepenuhnya bebas karena dominasi pemerintah, maka makna tandingan dalam
mengkritisi peristiwa G30S 1965 itu seperti tenggelam dalam “gelombang samudera
makna” yang dominan versi pemerintah Orde Baru.
Berikut
beberapa versi mengenai peristiwa G 30 S :
Pertama,
versi para akademisi dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang kemudian
terkenal dengan sebutan Cornell Paper[2].
Menurut versi ini, peristiwa G30S 1965 jelas merupakan masalah intern dalam
tubuh AD, khususnya kelompok militer yang berasal dari Divisi Diponegoro, Jawa
Tengah. Peristiwa itu, menurut Cornell Paper, lebih merupakan revolusi
perwira menengah (Mayor, Letnan Kolonel, dan Kolonel) yang berasal dari Divisi
Diponegoro terhadap para perwira tinggi AD (Brigjen, Mayjen, Letjen, dan
Jendral) yang juga berasal dari Divisi Diponegoro. Ketidakpuasan para perwira
menengah terhadap para perwira tinggi AD itu menyangkut nilai-nilai, etika, dan
semangat revolusi ’45 dimana kesederhanaan, kejujuran, solidaritas, kesetiaan,
dan nilai-nilai hidup ideal lainnya merupakan tolok ukur utama bagi perwira
sejati di manapun dan kapan pun ia berada.
Dalam pandangan
para perwira menengah, para perwira tinggi AD itu – setelah pindah ke ibukota
Jakarta – pola hidupnya sudah menyimpang dari nilai-nilai ’45. Hal itu
dipertegas oleh pernyataan Letkol Untung sendiri, setelah ia berhasil membentuk
dan mengumumkan adanya Dewan Revolusi pada tanggal 1 Oktober 1965, bahwa tujuan
G30S adalah: untuk mengikis habis pengaruh Dewan Jendral dan kakitangannya
dalam AD. Yang
gila kuasa, yang menterlantarkan nasib anak buah, yang di atas tumpukan
penderitaan anak buah hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya, menghina kaum
wanita, dan menghambur-hamburkan uang negara[3].
Dengan begitu, demikian Cornell Paper, disangsikan bahwa PKI merupakan
dalang utama dalam peristiwa G30S 1965 mengingat posisi partai ini sudah sangat
diuntungkan oleh sistem politik Demokrasi Terpimpin dan gagasan NASAKOM-nya
Soekarno.
Kedua,
versi dari seorang sejarawan Barat, Antonie C.A. Dake, yang menyatakan bahwa
tidak menutup kemungkinan dalang utama dari peristiwa G30S 1965 itu adalah
Presiden Soekarno sendiri[4].
Bahwa AD selalu berseteru, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, dengan
Presiden Soekarno sudah menjadi rahasia umum sejak zaman revolusi Indonesia.
Jendral Soedirman sendiri, panglima TNI pada masa revolusi, sudah menunjukkan
perilaku politiknya yang dalam banyak hal bertentangan dengan pemerintah dan
politisi sipil, termasuk dengan Presiden Soekarno sendiri. Begitu juga dengan
perilaku politik para perwira TNI AD pada tahun 1950an dan awal tahun 1960an,
acapkali bertentangan dengan kepemimpinan dan kepentingan politik Presiden
Soekarno.[5]
Dalam hal ini
ketika Presiden Soekarno melakukan politik konfrontasi dengan Malaysia pada
tahun 1964, secara diam-diam AD termasuk yang menolaknya. Sebagai panglima
tertinggi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), sesuai dengan
konstitusi UUD 1945, Presiden Soekarno merasa perlu “menjewer” para jendral AD
yang membangkang itu. Itulah sebabnya Soekarno “merestui” tindakan Letkol
Untung untuk “mengamankan” para Jendral AD pada 30 September 1965. Soekarno
juga pada tanggal 1 Oktober 1965 berada di daerah Halim, tempat para pelaku
utama G30S itu bermarkas. Dan ketika Brigjen Soepardjo, salah seorang pelaku
utama G30S 1965, melaporkan bahwa para Jendral AD itu sudah “dibereskan”,
Soekarno segera memeluk perwira tinggi itu dengan menepuk-nepuk punggungnya.
Dalam setiap kesempatan, setelah peristiwa G30S itu berlalu, Soekarno
menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan “riak kecil dalam sebuah gelombang
samudera revolusi Indonesia yang dahsyat”. Soekarno juga tidak menunjukkan
sikap empati atas kematian para jendral AD dengan tidak menghadiri prosesi
pemakamannya dan tidak mau mengutuk PKI sebagai dalang utama peristiwa itu
sebagaimana dituntut oleh pihak AD.
Ketiga,
versi dari seorang sosiolog dan sejarawan Belanda, W.F. Wertheim, yang
menyatakan bahwa dalang dari peristiwa G30S 1965 itu adalah Jendral Soeharto.13
Hal itu dibuktikan, menurut Wertheim, bahwa ketiga pelaku tama G30S yaitu
Kolonel Untung, Letkol Latief, dan Syam Kamaruzaman adalah bekas anak buah dan
teman baik Soeharto sejak zaman revolusi Indonesia. Ketika Untung melangsungkan
pernikahannya pada tahun 1950-an, Soehartolah yang bertindak sebagai walinya.[6]
Soeharto pula yang didatangi oleh Latief, pada tanggal 30 September 1965, yang
melaporkan akan adanya G30S walaupun dalam perkembagan kemudian Soeharto
membantahnya. Sementara itu Syam Kamaruzzaman juga dianggap sebagai intel
“dwi-fungsi” yang melayani kepentingan intelejen baik untuk PKI maupun AD.
Bahkan menurut Wertheim, tokoh intel ini sengaja disusupkan oleh AD untuk
memprovokasi tindakan PKI yang sudah lama menjadi musuh AD.
Keempat,
versi dari seorang mantan pejabat intelejen Amerika Serikat, Peter Dale Scott,
yang menyatakan bahwa peristiwa G30S 1965, yang pada gilirannya menjatuhkan
Presiden Soekarno itu, didalangi oleh CIA (Central of Intelligence Agency).
Menurut P.D. Scott, sejak Soekarno mengemukakan gagasan tentang perlunya sistem
politik Demokrasi Terpimpin (1956), meminta bantuan Uni Sovyet untuk
membebaskan Irian Barat (1962), membetuk poros Jakarta-Peking-Pyongyang dan
melakukan konfrontasi dengan Malaysia (1964), Amerika Serikat tidak senang
dengan tindakan-tindakan Soekarno yang ingin menjadi pemimpin baru bagi negara-negara
Asia, Afrika, dan Latin Amerika itu.
Ketidaksenangan
Amerika Serikat itu nampak dari dukungan dan bantuan yang diberikan kepada para
pemberontak PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan
PERMESTA (Perjuangan Semesta) di Sulawesi yang menentang pemerintah pusat
(Presiden Soekarno) pada tahun 1957/1958. Sementara Soekarno menyatakan “go
to hell with your aids” kepada Amerika Serikat pada tahun 1960-an, negeri
Paman Sam itu malah memberikan bantuan logistik, persenjataan, pendidikan, dan
latihan kepada para perwira AD secara rahasia. Bahkan bantuan logistik dan
keuangan itu nampak jelas ketika AD dan mahasiswa anti komunis pada tahun 1966
melakukan unjuk kekuatan untuk memberantas PKI di satu sisi, dan menentang
kepemimpinan Presiden Soekarno di sisi lain. Hal itu diakui secara terus terang
oleh Marshall Green, duta besar Amerika Serikat pada waktu itu.[7]
Kelima,
Versi
Dr. Soebandrio: Mantan Wakil Perdana Mentri I/Kepala Badan Pusat Intelijen ini
menyebutkan bahwa Gerakan Tiga puluh September merupakan keberhasilan Soeharto
menyingkirkan jenderal-jenderal saingannya seperti Jenderal Ahmad Yani dan
Jenderal Nasution di AD, sekaligus merebut kekuasaan Soeharto dengan
memanfaatkan beberapa bekas anak buahnya yaitu Letkol Untung dan Kol. Latief.
Pada Tahun1962, Jenderal Nasution, perwira AD yang paling senior dan dihormati,
dicopot kedudukannya sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Bersenjata
(Wangpangsar).[8]
Hingga kini, interpretasi terhadap peristiwa G30S 1965
itu cukup beragam. Selain versi pemerintah Orde Baru, yang disebutkan di atas,
paling tidak ada empat versi lain dalam memaknai peristiwa itu. Semua versi
yang akan dijelaskan di bawah ini ditunjang oleh fakta, data, dan argumentasi
yang logis dan rasional. Sangat boleh jadi fakta dan datanya sama, namun cara
melihat dan memaknainya yang berbeda.
[1] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1992), hlm.211-14; dan Helius Sjamsuddin, Metodologi
Sejarah (Jakarta: Ditjendikti-Depdikbud, 1996), hlm.160-61
[2] Lihat Benedict
R.O’G. Anderson and Ruth T.Mc Vey, A Preliminary Analysis of the October 1,
1965, Coup in Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University, 1971).
Dimuat dalam jurnal Historia tahun 2000
[3] Alex Dinuth
(Peny.), 1993. Salinan Dokumen Terpilih Sekitar Pemberontakan G30S/PKI Jakarta:
Lemhanas hlm.20.
[4] Antonie C.A.
Dake, In the Spirit of the Red Banteng, Indonesian Communists between Moscow
and Peking 1959-1965 (The Hague, Paris: Mouton & Co, 1973). Dimuat
dalam jurnal HISTORIA tahun 2000
[5] Ulf
Sundhaussen. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi
ABRI, Terjemahan .Jakarta: Penerbit LP3ES. Hal 302
[6] W.F. Wertheim,
“Suharto and Untung Coup, The Missing Link”, Journal of Contemporary Asia,
No.1 (Winter, 1970)
[7] Peter Dale
Scott, CIA dan Penggulingan Sukarno, Terjemahan (Yogyakarta: Lembaga
Analisis Informasi, 1999).
[8] Peter Dale
Scott. 2007. Peran CIA Dalam Penggulingan Sukarno (Edisi Revisi).
Yogyakarta: Media Pressindo. Halaman 17
0 komentar:
Posting Komentar