Senin, 23 Oktober 2017

ORGANISASI PEMUDA


  1. ASAL MULA BERDIRINYA ORGANISASI MUDA
Pada saat berdirinya organisasi-organisasi pergerakan nasional, sebenarnya belum jelas batas-batas wilayah negara nasional yang dimaksudkan. Kalau mengacu dengan bangkitnya pergerakan nasional sejak Budi Utomo (1908), tampak adanya rasa senasib sepenanggungan hidup dalam suasana penjajahan yang sama-sama tertekan dan diperlakukan oleh pihak penjajah sebagai orang bodoh dan selalu diperintah mengikuti kemauan yang memerintah (Belanda). Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa negasi itu justru yang membangkitkan kesadaran akan posisi yang serba rendah, harga diri yang tertekan, serta stigma inferioritas. Kesadaran negatif itu, diinternalisasikan atau dibudayakan semakin kuat oleh struktur lingkungan, baik fisik maupun sosial yang penuh dengan kode-kode dominasi penguasa kolonial atau rakyat terjajah.
Kemudian tampaklah mulai ada rasa kebersamaan kepentingan dalam rangka, ingin membebaskan diri dari kehidupan masyarakat terjajah ke masyarakat bebas, namun terikat oleh persamaan kepentingan. Lebih jelas dalam propaganda dr. Wahidin Soedirohoesodo tentang studiefonds, yang tujuan utamanya ialah ingin mencerdaskan kehidupan rakyat Indonesia. Cita-cita dr. Wahidin direalisasikan oleh para pelajar STOVIA, di bawah pimpinan Soetomo dengan mendirikan organisasi pergerakan nasional pertama bernama Budi Utomo (1908). Dalam anggaran dasar Budi Utomo (Pasal 5 Alinea 2) dijelaskan, bahwa lain daripada bangsa Jawa boleh juga masuk menjadi lid (anggota), akan tetapi tiada boleh dipilih menjadi lid Bestuur.
Cara-cara Budi Utomo ini dapat mempengaruhi para generasi muda. Para pemuda Jawa, mulai tergerak untuk berorganisasi, yakni pada tanggal 7 Maret 1915 mendirikan Tri Koro Dharmo (tiga tujuan mulia). Yaitu Sakti, Budi, Bakti, dan berlambang keris. Para pendirinya yaitu Satiman, Kadarman, dan Sumardi. Didirikan di dalam gedung STOVIA, seperti Budi Utomo. Walaupun organisasi ini didirikan oleh pemuda-pemuda Jawa akan tetapi berasaskan nasional. Hal ini terlihat dalam asas dan tujuan Tri Koro Dharmo, yaitu:
a)      Menimbulkan pertalian di antara murid-murid bumiputera pada sekolah-sekolah menengah dan kursus-kursus vak kejuruan
b)      Menambah pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya
c)      Membangkitakn dan mempertajam perasaan buat segala bahasa dan kebudayaan Hindia (Indonesia). (Sartono Kartodirdjo 1975 : 195)
Tidak lama setelah Tri Koro Dharmo berdiri, terus disusul organisasi pemuda kedaerahan yang lain. Seperti: Jong Sumatranen Bond (9 Desember 1917), Jong Minahasa (1918), Jong Java (12 Juni 1918), merupakan pengganti nama dari Tri Koro Dharmo, dan selanjutnya diikuti organisasi pemuda dari berbagai daerah, yaitu Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun (Pemuda di Jawa Barat), Pemuda Kaum Betawi, Jong Timorresche Jongeren Bond, dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1924 didirikan organisasi pemuda yang bernafaskan agama, yaitu Jong Islamieten Bond dipimpin oleh R, Moh. Cahya dan didukung oleh H. Agus Salim.
Organisasi pemuda ini sejak tahun 1915 sampai dengan tahun 1925 belum bergerak dalam bidang politik, melainkan baru bergerak pada bidang sosial dan budaya. Dorongan untuk mendirikan organisasi mahasiswa itu pada mulanya hanya bersifat sosial. Dari seringnya tolong menolong berupa peminjaman biaya untuk keperluan studinya, dan karena ada perasaan senasib hidup jauh dari orang tua, bahkan jauh dari tanah air, maka mereka perlu adanya organisasi sebagai wadah mahasiswa untuk membahas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan mereka. Oleh karena itu, mulailah mereka mempunyai jadwal secara tetap utnuk bertemu dan pada tempat yang sudah ditentukan. Seperti halnya organisasi pemuda yang ada di dalam negeri, yang pada mulanya organisasi pemuda masih bersifat kedaerahan. Sebagai tempat berdirinya organisasi pemuda kedaerahan yang pertaman, adalah di dalam gedung STOVIA. Gedung ini menjadi tempat pertemuan para pelajar bumiputera yang pertama kali. Dan lahirnya Budi Utomo dari gedung ini.[1]
Berhubung pemuda dari Jawa yang paling banyak mendapat kesempatan pertama kali untuk bersekolah, maka dapat dimengerti bahwa organisasi pemuda kedaerahan tersebut didirikan pertama kali oleh pemuda Jawa. Yaitu Tri Koro Dharmo (7 Maret 1915). Di dalam organisasi ini tidak hanya pemuda Jawa saja yang diterima menjadi anggota. Walaupun didirikan oleh pemuda Jawa, sebagian dari anggotanya ialah pemuda yang berasal dari berbagai daerah-daerah di Indonesia. Akan tetapi hal itu hanya berjalan sementara. Semangat akan kedaerahan mulai menjadi prioritas yang utama. Pada saat itu, memang budaya daerah masing-masing yang harus ditonjolkan sebagai perwujudan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini untuk menunjukkan bahwa yang berjuang untuk menghadapi penjajah tidak hanya pemuda dari Jawa saja, tetapi juga pemuda dari daerah lain.
Dengan banyaknya organisasi pemuda tersebut, dari tahun ke tahun sifat-sifat kedaerahan mulai ditinggalkan. Hal ini rupanya mulai disadari, bahwa semangat kedaerahan akan menjadikan ganjalan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Dalam kenyataan memang terbukti, yaitu pada saat persidangan dalam Kongres Pemuda I (30 April – 2 Mei 1926), masalah kedaerahan dan bahasa, merupakan masalah yang tidak dapat mencapai keputusan. Namun dalam penyelenggaraan Kongres Pemuda II, yang sidangnya berlangsung dari tanggal 27 Oktober – 28 Oktober 1928, masalah kedaerahan dan bahasa, mudah diselesaikan, sehingga menghasilkan keputusan yang mantap, yaitu Ikrar Pemuda yang selanjutnya dikenal sebagai Sumpah Pemuda.[2]

  1. ORGANISASI PEMUDA (KEDAERAHAN DAN NASIONAL)
  1. Tri Koro Dharmo menjadi Jong Java
Organisasi Tri Koro Dharmo merupakan organisasi pemuda kedaerahan pertama di Indonesia. Didirikan di Gedung STOVIA pada tanggal 7 Maret 1915. Pendirinya semuanya pemuda dari Jawa, yakni Satiman, Kadarman, Sumardi, Jaksodipuro (kemudian lebih dikenal dengan nama Wongsonegoro), Kuncoro, Sarwono, Mawardi, dan lain-lain. Tri Koro Dharmo berarti tiga tujuan mulia, yakni sakti, budi, bakti, dengan berasaskan sebagai berikut:
a)      Menimbulkan pertalian di antara murid-murid bumiputera pada sekolah-sekolah menengah dan kursus-kursus perguruan menengah, dan sekolah vak kejuruan
b)      Menambah pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya
c)      Membangkitakn dan mempertajam perasaan buat segala bahasa dan kebudayaan Hindia (Indonesia).
Pada mulanya mengenai keanggotaan Tri Koro Dharmo, hanya terbatas pemuda pelajar dari Jawa dan Madura. Organisasi terus ditingkatkan dengan tujuan membentuk Jawa – Raya yang meliputi: Jawa, Sunda, Bali, dan Lombok. Akan tetapi dari asas Tri Koro Dharmo, terdapat makna yakni dapat menerima keanggotaan dari pemuda pelajar yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Hindia (Indonesia). Berdirinya Tri Koro Dharmo dipengaruhi oleh Budi Utomo yang juga didirikan oleh para pelajar STOVIA. Jika Budi Utomo kebanyakan dipegang oleh para orang tua atau para pejabat pasca Kongres Budi Utomo (3 – 5 Oktober 1908), maka kaum pemuda juga merasa perlu membentuk organisasi atau wadah untuk pemuda yang berasal dari Jawa. Bahkan menimbulkan anggapan bahwa Tri Koro Dharmo merupakan anak dari Budi Utomo, padahal tidak ada satupun dari anggota Budi Utomo yang ikut mendirikan Tri Koro Dharmo.[3]
Datangnya kritik oleh murid-murid dari Sunda dan Madura yang berpendapat bahwa perkumpulan ini memiliki ruang lingkup terlalu sempit dan terfokus pada Jawa. Pada Kongres pertama di Solo tahun 1918, Tri Koro Dharmo berubah nama menjadi “Jong Java” dengan maksud untuk menarik golongan dari Sunda, Bali dan Madura. Meskipun begitu, kenyataannya anggota yang ikut Jong Java tetaplah para pemuda yang kebanyakan berasal dari Jawa. Hal ini terbukti pada kongres kedua pada 1919, hanya sedikit wakil yang tidak berbahasa Jawa hadir.  Dalam kongres ke 5 tahun 1922 di Solo, Jong Java menetapkan bahwa tidak akan mencampuri aksi dan propaganda politik. Kegiatan mereka lebih diarahkan kepada hubungan antarmurid sekolah menengah, mempertinggi perasaan kebudayaan sendiri, dan olah raga.
Pada kongres tahun 1924, beredar wacana yang dibawa oleh R. Sam (Samsuridjal) di bawah  pengaruh Agus Salim, untuk membagi keanggotaan Jong Java menjadi dua kelompok. Pada waktu itu jumlah anggota Jong Java sudah sekitar 2.000 orang. Anggota muda yang berumur dibawah 18 tahun tidak akan diperbolehkan mencampuri urusan politik, sementara anggota yang berumur di atas 18 tahun diperbolehkan ikut dalam gerakan politik yang akan dibimbing oleh golongan ketiga Jong Java. Dengan demikian Jong Java diharapkan akan memperoleh guna dan lebih terarah. Namun, upaya ini menemui kegagalan hingga mengakibatkan kekecewaan dari para anggotanya.[4]
  1. Jong Sumatranen Bond
Sebagai reaksi atas didirikannya Jong Java, para pemuda Sumatera di Jakarta, mendirikan perkumpulan Jong Sumatranen Bond pada 9 Desember 1917. Setelah Jong Sumatranen Bond berdiri, pada Januari 1918, Nazir Datuk Pamontjak, seorang pemuda yang belajar di Jakarta, diutus untuk memperkenalkan perkumpulan JSB dan membentuk cabang di Padang. Dengan bantuan dari Mohammad Taher Marah Sutan, rapat di antara pemuda-pemuda pelajar dapat diselenggarakan di gedung Syarikat Usaha di Padang.[5]
Setelah Jong Sumatranen Bond berdiri, kegiatannya tidak jauh berbeda dengan kegiatan yang dilakukan oleh Tri Koro Dharmo. Hanya masalahnya, mengenai kebudayaan adalah kebudayaan yang meliputi kebudayaan Sumatra. Kegiatan di bidang pendidikan masih ada kendala karena belum begitu banyak pemuda pelajar Sumatra yang ada di Jakarta. Oleh karena itu ada kelonggaran dari organisasi bahwa untuk memajukan pendidikan, tidak harus pemuda yang berasal dari salah satu suku bangsa, melainkan dari berbagai suku bangsa yang ada di Sumatera. Pemuda pelajar yang dapat diterima menjadi anggota ialah para pelajar yang masih sekolah tingkat MULO (Meer Uitgebreit Lager Onderwijs) dan AMS (Algemene Middelbare School). Akhirnya Jong Sumatranen Bond terpaksa menerima permintaan pemuda pelajar dari pemuda se-Sumatera untuk mendirikan organisasi pemuda berdasarkan kesukuan. Hal ini juga berlaku di beberapa wilayah di Indonesia.[6]
Pada akhir Juni 1919, JSB mengadakan kongres pertama di Padang. Bahder Djohan, Amir, Anas, dan Marzuki yang sudah belajar di Jakarta diutus ke Padang untuk menghadiri dan memimpin kongres itu, karena Tengku Mansyur (Ketua JSB) tidak datang ke Padang. Setelah kongres ini, keesokan harinya dibangun sebuah tugu peringatan di Kota Padang bertuliskan Ter herinnering aan het 1ste Congres van de Jong Sumatranen Bond, 1919. JSB mengadakan lustrum pertama pada 1923 di Jakarta. Pada waktu itu, Yamin menyampaikan pidato dengan judul De Maleische Taal in het verleden, haden en ini de toekomst (Bahasa Melayu di Masa Lampau, Sekarang dan Masa Datang). Pada lustrum I JSB tersebut, sebagai suatu peringatan, dibuatlah medali yang melukiskan nyiur melambai dan kembang melati yang merupakan perlambangan ke Indonesia-an. Selain itu, diresmikan pula panji perhimpunan JSB yang bergambar pelita menyala dnegan moto, “pelita bangsa senantiasa”. Moto ini mengandung pengertian bahwa pemuda adalah pelita yang akan selalu menerangi bangsanya.[7]
Tokoh-tokoh nasional dari Sumatra yang pernah menjadi anggota Jong Sumatranen Bond ialah Moh. Hatta, Moh. Yamin, Bahder Djohan, Abu Hanifah, M.A. Hanafiah, dan lain-lain. Moh. Hatta di samping pernah masuk menjadi anggota Jong Sumatranen Bond, beliau juga pernah menjadi anggota Perhimpunan Indonesia, bahkan menjadi ketua pada waktu di negeri Belanda.[8]
  1. Jong Minahasa
Minahasa adalah nama suku bangsa yang berdiam diri di daerah Sulawesi Utara, terutama di daerah Manado. Di daerah ini sudah banyak didirikan sekolah-sekolah sejak zaman Belanda. Oleh karena itu, memungkinkan untuk berdirinya organisasi pemuda kedaerahan. Jong Minahasa, berdiri pada tanggal 5 Januari 1918 di Manado, yang didirikan oleh A.J.H.W. Kawilarang (menjadi ketua) dan V. Adam (menjadi sekretaris).
Jong Minahasa membatasi pergerakan kegiatannya yakni dalam bidang sosial dan kebudayaan. Organisasi ini belum berani untuk melangkah ke dalam pergerakan politik. Untuk mencari dana organisasi, tidak hanya mengandalkan dari iuran anggota, tetapi juga aktif mengadakan berbagai kegiatan yang dapat mendatangkan pendapatan untuk organisasi. Seperti penyelenggaraan pertandingan sepak bola antar daerah di Sulawesi Utara, khususnya Manado. Juga menyelenggarakan malam kesenian daerah, dengan tujuan sekedar untuk mendapatkan uang untuk kepentingan organisasi. Setelah dikumpulkan dengan jumlah yang agak banyak, dana tersebut dapat digunakan untuk membantu para pemuda yang tidak mampu membiayai sekolahnya.
Tokoh-tokoh yang terkenal dari Jong Minahasa adalah A.J.H.W. Kawilarang, Sam Ratulangi, G.R. Pantaouw, dan lainnya. Dari anggota organisasi ini, juga ada ikut aktif dalam Kongres Pemuda I dan II di Jakarta.[9]
  1. Jong Celebes
Adapun kegiatan pemuda Jong Celebes ialah masih terbatas pada kegiatan dalam bidang sosial dan kebudayaan. Masih belum berani untuk ke arah politik. Dalam melakukan kegiatannya, Jong Celebes juga hati-hati dalam melakukan kegiatan, sehingga dapat hidup terus tidak dicurigai oleh pemerintah. Tokoh-tokoh Jong Celebes yang terkenal ialah Arnol Mononutu, Waworuntu, Magdalena Mokoginta (terkenal Ibu Sukamto, karena Bapak Sukamto sebagai Kapolri), H.W. Makaliwe, dan lain-lain.[10]


  1. Jong Ambon
Pada tanggal 1 Juni 1923 Jong Ambon berdiri di Jakarta, yang kegiatannya tidak jauh berbeda dengan organisasi pemuda kedaerahan yang lainnya, yaitu bergerak dalam bidang sosial dan kebudayaan. Pemuda Ambon tersebut sangat rajin untuk mengadakan kegiatan malam kesenian, dengan tujuan mencari dana, untuk membantu anggota-anggota yang tidak mampu membiayai sekolahnya. Dibanding dengan organisasi pemuda yang lainnya, pemuda Ambon mudah berhasil dalam menjalin hubungan persaudaraan antar pemuda sedaerahnya. Itulah yang menyebabkan Jong Ambon cepat berkembang dan memiliki anggota cukup besar. Tetapi tidak banyak cabang-cabang Jong Ambon di kota-kota lain, kecuali Kota Ambon itu sendiri. Tokohnya yang terkenal ialah L. Tamaela, J.J. Tupamahu, D. Souisa, J.S. Lisapaly, J. Leimena, dan lain-lain.[11]
  1. Jong Islamieten Bond
Organisasi pemuda bernafaskan agama islam ini didirikan pada tanggal 1 Januari 1925. Sebagian dari anggota organisasi ini ialah dari Jong Java yang merasa dikecewakan oleh kebijakan di dalam Jong Java sendiri, hingga akhirnya memilih keluar dari Jong Java dan ikut mendirikan Jong Islamieten Bond. Pada tahun 1925 itu, organisasi ini memiliki sekitar 1.000 anggota di tujuh cabang/kota, yaitu Batavia, Yogyakarta, Solo, Madiun, Bandung, Magelang, dan Surabaya. Sampai tahun 1928, jumlah anggotanya naik menjadi 2.000 dari 20 kota/cabang.
Sebagian dari anggota Jong Islamieten Bond ialah bekas anggota Jong Java yang merasa tidak puas akan kebijakan perkumpulan Jong Java, sebagian lagi adalah siswa dan pelajar yang sebelumnya belum pernah menjadi anggota perhimpunan. Dalam kongres JIB pada Desember 1925 di Yogyakarta, Agus Salim tidak keberatan dengan digunakannya kain pemisah antara lelaki dan perempuan. JIB lebih merupakan ambisi Agus Salim untuk melawan nasionalisme sekuler.
Meskipun JIB mendasarkan pada Islam, tetapi JIB memperjuangkan persatuan nasional. Pada 24-26 Desember 1930, JIB mengadakan kongres ke 6 di Jakarta. Dalam kongres itu diadakan pidato-pidato tentang cinta tanah air dan bangsa di dalam Islam. Pidato ini disampaikan oleh Agus Salim sebagai penasihat JIB. Sebagai buah dari usaha JIB yang menghasilkan keputusan untuk mendirikan satu federasi yang mewadahi perkumpulan-perkumpulan pemuda Islam.[12]
Pernah di dalam kongres ketiga, di Yogyakarta, pada 23-27 Desember 1927, dibicarakan masalah Islam dan Kebangsaan. Dirumuskan pula pengertian nasionalisme dalam Islam, yaitu harus mencintai tanah air, bangsa dan agama. Akan tetapi harus diikuti dengan ditumbuhkannya kesadaran cinta terhadap saudara seagama di luar negeri dan mencintai sesama manusia.[13]
  1. Jong Bataks Bond
Organisasi Jong Bataks Bond berdiri tahun 1926 dengan tokoh-tokohnya yang terkenal yaitu Amir Syarifuddin dan Sutan Todung Gunung Mulia. Kegiatan Jong Bataks Bond tidak bergerak dalam bidang politik, melainkan masih bergerak dalam bidang sosial dan kebudayaan.[14]
Terjadi masalah di kalangan pemuda Batak pada 1925 akibat ketidakpuasan kalangan pelajar Batak dalam JSB. Hal ini lah yang menyebabkan berdirinya Jong Bataks Bond. Menurut para pendirinya, yaitu para pelajar Batak di Batavia seperti Amir Syarifuddin, nasionalisme Batak yang tersendiri jelas memiliki hak hidup. Pelajar Batak merasakan kebutuhan yang sangat untuk mempertanggungjawabnkan perjuangannya dalam hubungan nasionalisme Indonesia mendatang. Mereka menginginkan persatuan Indonesia. Pada 1926 kemudian diselenggarakan propaganda di Tanah Batak dengan daya tarik klub sepakbola pemuda Batak. Pemuda Batak berhasil mendirikan cabang di Tapanuli, Kotaraja (Aceh), Fort de Kock (Bukittinggi), dan Padang. Pada Juli 1928, ada sembilan cabang, yaitu lima di Sumatera dan empat di Jawa, yaitu Batavia, Buitenzorg (Bogor), Bandung, dan Surabaya.[15]
Banyaknya kegiatan dilakukan untuk mengumpulkan dana, dalam rangka membiayai organisasinya. Antara lain dengan membentuk grup-grup kesenian Batak dan kesebelasan sepak bola. Grup-grup ini seringkali mengadakan malam kesenian yang menampilkan kesenian Batak. Pemuda pelajar Batak sering mengadakan lomba-lomba koor lagu-lagu Batak, lagu-lagu berbahasa Belanda dan bahasa asing lainnya. Hasil dari penyelenggaraan lomba tersebut diserahkan kepada organisasi, yang selanjutnya digunakan untuk membantu anggota-anggota Jong Bataks yang masih sekolah, dan yang tidak mampu membiayai sekolahnya.
Tokoh-tokoh yang menjadi anggota organisasi ini ialah F.L. Tobing, Amir Syarifuddin, S.T.G. Mulia, R. Pirngadie, Abd. Moenir, dan sebagainya.[16]
  1. Sekar Rukun
Di pulau Jawa merupakan daerah yang paling banyak pelajar dari berbagai daerah. Untuk masyarakat pulau Jawa, ternyata sudah dibagi menjadi 3 budaya yang sangat dominan, yaitu budaya Jawa yang wilayah pemilik dan pelakunya meliputi masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua adalah budaya Sunda, yang wilayah pemilik dan pelakunya meliputi masyarakat di Jawa Barat. Ketiga, yaitu budaya Betawi yang meliputi hanya Kota Jakarta. Oleh karena itu, akhirnya para pemuda di Jawa mendirikan organisasi pemuda kedaerahan yang terdiri dari tiga macam budaya tersebut.
Lahirlah nama “Sekar Rukun”. Sekar dimaksudkan adalah Kembang (bunga) yang melambangkan pemuda. Dan lebih sering disebut dengan Sekar Rukun. Pengertian rukun ialah bersatu. Berarti Sekar Rukun berarti persatuan pemuda atau organisasi kerukunan pemuda dari Pesundan.
Tujuan Sekar Rukun, tidak berbeda dengan tujuan organisasi pemuda kedaerahan lainnya, yaitu menjalin persatuan dan mempererat tali persaudaraan pemuda-pemuda di daerah Pesundan, Jawa Barat. Kegiatannya juga masih terbatas pada bidang sosial dan kebudayaan. Olah raga dan kesenian, yang paling mudah dilaksanakan, karena dalam bidang inilah yang dapat dijadikan sebagai alat mempersatukan pemuda. Tokoh-tokoh pemuda Pasundan yang menjadi anggota Sekar Rukun ialah R. Makmun Al Rasyid Kusumadilaga, Moh. Salim, dan Basoeki.
  1. Pemuda Kaum Betawi
Organisasi ini didirikan pada tahun 1927. Para pemuda Betawi ini sudah memiliki rasa nasionalisme, namun belum berani secara terang-terangan bergerak dalam bidang politik. Tanda-tanda dari nasionalisme tersebut tampak pada tidak mau menggunakan nama Belanda pada nama organisasi. Pemuda Kaum Betawi. Ada kata “pemuda” pengganti dari Jong (bahasa Belanda), kemudian “kaum” yang berarti masyarakat atau golongan. Jadi lebih tampak pada pencarian identitas (jati diri) budaya Betawi.
Mengenai kegiatannya sudah mengikuti perkembangan menuju ke arah perjuangan politik, namun belum berani tegas, bahkan menggunakan langkah perjuangan bersikap “kooperasi”. Hal ini ditempuh karena pada tahun tersebut pihak pemerintah kolonial Belanda, sudah mulai berbuat keras, terutama ditujukan kepada kaum pergerakan nasional yang berjuang menempuh sikap non-kooperasi. Adapun tokoh-tokoh yang terkenal dari Pemuda Kaum Betawi ialah Rohjani, Moh. Husni Thamrin, dan lain-lain.[17]
  1. Perhimpunan Indonesia
Sejak awal abad ke 20, mulai banyak pemuda Indonesia yang pergi ke Belanda untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi di Leiden, Amsterdam, Rotterdam, ataupun Wereningen. Timbullah kebutuhan di kalangan mahasiswa untuk mendirikan perkumpulan. Para mahasiswa di Belanda mulai mendirikan organisasi mahasiswa sejak 1908 dengan nama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang kemudiann berubah nama menjadi “Perhimpunan Indonesia”. Organisasi ini memasuki periode baru dalam perkembangannya semenjak kedatangan tokoh tiga serangkai (Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Soewardi) di Belanda karena di buang oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada tahun 1913.
Indische Vereeniging resmi menjadi sebuah organisasi politik yang radikal pada Januari 1925. Dalam rapat yang diselenggarakan pada 3 Februari 1925, baru nama Perhimpunan Indonesia resmi dipakai. Cara yang dipakai para pemimpin Perhimpunan Indonesia dalam menjalankan tugasnya ialah mengembangkan suatu ideologi nasionalis yang baru dan khas di Indonesia; bebas dari batasan Islam atau komunisme yang akan lebih memecah bangsa Indonesia. Selama berdiri, Perhimpunan Indonesia memegang posisi penting dalam gerakan kebangsaan Indonesia. Pada 1926, jumlah anggotanya Perhimpunan Indonesia hanya 38 orang. Perhimpunan ini adalah katalisator yang mengarahkan putra-putra golongan elit Indonesia agar membuang rasa rendah diri yang dipaksakan oleh penguasa kolonial dan untuk pertama kalinya menuntut kemerdekaan. Sumbangan Perhimpunan Indonesia terbesar ialah usahanya mengembangkan ideologi sekulernya yang menjadi dasar dari arus utama gerakan kebangsaan setelah tahun 1927.[18]



[1] Drs. Sudiyo. 2003. Arus Perjuangan Pemuda dari Masa ke Masa. Jakarta: PT Bina Adiaksara dan Rineka Cipta. Hlm 23-26
[2] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 31-33
[3] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 34-35
[4] Adrian B. Lapian, DKK. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 5; Masa Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Hlm 354
[5] Ibid, Adrian B. Lapian. Hlm 356
[6] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 38-39
[7] Ibid, Adrian B. Lapian. Hlm 356
[8] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 40
[9] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 40-41
[10] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 43
[11] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 46-47
[12] Ibid, Adrian B. Lapian. Hlm 355
[13] Ahmad Mansur Suryanegara. 2009. Api Sejarah. Bandung: Penerbit Salamandani. Hlm 508
[14] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 47
[15] Ibid, Adrian B. Lapian. Hlm 357
[16] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 48
[17] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 48-53
[18] Ibid, Adrian B. Lapian. Hlm 357-359

0 komentar:

Posting Komentar