- ASAL MULA BERDIRINYA
ORGANISASI MUDA
Pada saat berdirinya
organisasi-organisasi pergerakan nasional, sebenarnya belum jelas batas-batas
wilayah negara nasional yang dimaksudkan. Kalau mengacu dengan bangkitnya
pergerakan nasional sejak Budi Utomo (1908), tampak adanya rasa senasib
sepenanggungan hidup dalam suasana penjajahan yang sama-sama tertekan dan
diperlakukan oleh pihak penjajah sebagai orang bodoh dan selalu diperintah
mengikuti kemauan yang memerintah (Belanda). Tidak berlebihan apabila dikatakan
bahwa negasi itu justru yang membangkitkan kesadaran akan posisi yang serba
rendah, harga diri yang tertekan, serta stigma inferioritas. Kesadaran negatif
itu, diinternalisasikan atau dibudayakan semakin kuat oleh struktur lingkungan,
baik fisik maupun sosial yang penuh dengan kode-kode dominasi penguasa kolonial
atau rakyat terjajah.
Kemudian tampaklah
mulai ada rasa kebersamaan kepentingan dalam rangka, ingin membebaskan diri
dari kehidupan masyarakat terjajah ke masyarakat bebas, namun terikat oleh
persamaan kepentingan. Lebih jelas dalam propaganda dr. Wahidin Soedirohoesodo
tentang studiefonds, yang tujuan
utamanya ialah ingin mencerdaskan kehidupan rakyat Indonesia. Cita-cita dr.
Wahidin direalisasikan oleh para pelajar STOVIA, di bawah pimpinan Soetomo
dengan mendirikan organisasi pergerakan nasional pertama bernama Budi Utomo
(1908). Dalam anggaran dasar Budi Utomo (Pasal 5 Alinea 2) dijelaskan, bahwa
lain daripada bangsa Jawa boleh juga masuk menjadi lid (anggota), akan tetapi
tiada boleh dipilih menjadi lid Bestuur.
Cara-cara Budi Utomo
ini dapat mempengaruhi para generasi muda. Para pemuda Jawa, mulai tergerak
untuk berorganisasi, yakni pada tanggal 7 Maret 1915 mendirikan Tri Koro Dharmo (tiga tujuan mulia). Yaitu
Sakti, Budi, Bakti, dan berlambang keris. Para pendirinya yaitu Satiman,
Kadarman, dan Sumardi. Didirikan di dalam gedung STOVIA, seperti Budi Utomo.
Walaupun organisasi ini didirikan oleh pemuda-pemuda Jawa akan tetapi
berasaskan nasional. Hal ini terlihat dalam asas dan tujuan Tri Koro Dharmo,
yaitu:
a)
Menimbulkan
pertalian di antara murid-murid bumiputera pada sekolah-sekolah menengah dan
kursus-kursus vak kejuruan
b)
Menambah
pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya
c)
Membangkitakn
dan mempertajam perasaan buat segala bahasa dan kebudayaan Hindia (Indonesia).
(Sartono Kartodirdjo 1975 : 195)
Tidak lama setelah Tri
Koro Dharmo berdiri, terus disusul organisasi pemuda kedaerahan yang lain.
Seperti: Jong Sumatranen Bond (9
Desember 1917), Jong Minahasa (1918),
Jong Java (12 Juni 1918), merupakan
pengganti nama dari Tri Koro Dharmo, dan selanjutnya diikuti organisasi pemuda
dari berbagai daerah, yaitu Jong Bataks
Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun (Pemuda di Jawa Barat), Pemuda Kaum Betawi, Jong
Timorresche Jongeren Bond, dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1924
didirikan organisasi pemuda yang bernafaskan agama, yaitu Jong Islamieten Bond dipimpin oleh R, Moh. Cahya dan didukung oleh
H. Agus Salim.
Organisasi pemuda ini
sejak tahun 1915 sampai dengan tahun 1925 belum bergerak dalam bidang politik,
melainkan baru bergerak pada bidang sosial dan budaya. Dorongan untuk
mendirikan organisasi mahasiswa itu pada mulanya hanya bersifat sosial. Dari
seringnya tolong menolong berupa peminjaman biaya untuk keperluan studinya, dan
karena ada perasaan senasib hidup jauh dari orang tua, bahkan jauh dari tanah
air, maka mereka perlu adanya organisasi sebagai wadah mahasiswa untuk membahas
masalah-masalah yang menyangkut kepentingan mereka. Oleh karena itu, mulailah mereka
mempunyai jadwal secara tetap utnuk bertemu dan pada tempat yang sudah
ditentukan. Seperti halnya organisasi pemuda yang ada di dalam negeri, yang
pada mulanya organisasi pemuda masih bersifat kedaerahan. Sebagai tempat
berdirinya organisasi pemuda kedaerahan yang pertaman, adalah di dalam gedung
STOVIA. Gedung ini menjadi tempat pertemuan para pelajar bumiputera yang
pertama kali. Dan lahirnya Budi Utomo dari gedung ini.[1]
Berhubung pemuda dari
Jawa yang paling banyak mendapat kesempatan pertama kali untuk bersekolah, maka
dapat dimengerti bahwa organisasi pemuda kedaerahan tersebut didirikan pertama
kali oleh pemuda Jawa. Yaitu Tri Koro Dharmo (7 Maret 1915). Di dalam
organisasi ini tidak hanya pemuda Jawa saja yang diterima menjadi anggota.
Walaupun didirikan oleh pemuda Jawa, sebagian dari anggotanya ialah pemuda yang
berasal dari berbagai daerah-daerah di Indonesia. Akan tetapi hal itu hanya
berjalan sementara. Semangat akan kedaerahan mulai menjadi prioritas yang
utama. Pada saat itu, memang budaya daerah masing-masing yang harus ditonjolkan
sebagai perwujudan Bhinneka Tunggal Ika.
Hal ini untuk menunjukkan bahwa yang berjuang untuk menghadapi penjajah tidak
hanya pemuda dari Jawa saja, tetapi juga pemuda dari daerah lain.
Dengan banyaknya
organisasi pemuda tersebut, dari tahun ke tahun sifat-sifat kedaerahan mulai
ditinggalkan. Hal ini rupanya mulai disadari, bahwa semangat kedaerahan akan
menjadikan ganjalan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Dalam kenyataan
memang terbukti, yaitu pada saat persidangan dalam Kongres Pemuda I (30 April – 2 Mei 1926), masalah kedaerahan dan
bahasa, merupakan masalah yang tidak dapat mencapai keputusan. Namun dalam
penyelenggaraan Kongres Pemuda II,
yang sidangnya berlangsung dari tanggal 27 Oktober – 28 Oktober 1928, masalah
kedaerahan dan bahasa, mudah diselesaikan, sehingga menghasilkan keputusan yang
mantap, yaitu Ikrar Pemuda yang
selanjutnya dikenal sebagai Sumpah Pemuda.[2]
- ORGANISASI
PEMUDA (KEDAERAHAN DAN NASIONAL)
- Tri Koro
Dharmo menjadi Jong Java
Organisasi Tri Koro
Dharmo merupakan organisasi pemuda kedaerahan pertama di Indonesia. Didirikan
di Gedung STOVIA pada tanggal 7 Maret 1915. Pendirinya semuanya pemuda dari
Jawa, yakni Satiman, Kadarman, Sumardi, Jaksodipuro (kemudian lebih dikenal
dengan nama Wongsonegoro), Kuncoro, Sarwono, Mawardi, dan lain-lain. Tri Koro
Dharmo berarti tiga tujuan mulia, yakni sakti, budi, bakti, dengan berasaskan
sebagai berikut:
a)
Menimbulkan
pertalian di antara murid-murid bumiputera pada sekolah-sekolah menengah dan
kursus-kursus perguruan menengah, dan sekolah vak kejuruan
b)
Menambah
pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya
c)
Membangkitakn
dan mempertajam perasaan buat segala bahasa dan kebudayaan Hindia (Indonesia).
Pada mulanya mengenai
keanggotaan Tri Koro Dharmo, hanya terbatas pemuda pelajar dari Jawa dan
Madura. Organisasi terus ditingkatkan dengan tujuan membentuk Jawa – Raya yang
meliputi: Jawa, Sunda, Bali, dan Lombok. Akan tetapi dari asas Tri Koro Dharmo,
terdapat makna yakni dapat menerima keanggotaan dari pemuda pelajar yang
berasal dari berbagai daerah di seluruh Hindia (Indonesia). Berdirinya Tri Koro
Dharmo dipengaruhi oleh Budi Utomo yang juga didirikan oleh para pelajar
STOVIA. Jika Budi Utomo kebanyakan dipegang oleh para orang tua atau para
pejabat pasca Kongres Budi Utomo (3 – 5 Oktober 1908), maka kaum pemuda juga
merasa perlu membentuk organisasi atau wadah untuk pemuda yang berasal dari
Jawa. Bahkan menimbulkan anggapan bahwa Tri Koro Dharmo merupakan anak dari
Budi Utomo, padahal tidak ada satupun dari anggota Budi Utomo yang ikut
mendirikan Tri Koro Dharmo.[3]
Datangnya kritik oleh
murid-murid dari Sunda dan Madura yang berpendapat bahwa perkumpulan ini
memiliki ruang lingkup terlalu sempit dan terfokus pada Jawa. Pada Kongres
pertama di Solo tahun 1918, Tri Koro Dharmo berubah nama menjadi “Jong Java”
dengan maksud untuk menarik golongan dari Sunda, Bali dan Madura. Meskipun
begitu, kenyataannya anggota yang ikut Jong Java tetaplah para pemuda yang
kebanyakan berasal dari Jawa. Hal ini terbukti pada kongres kedua pada 1919,
hanya sedikit wakil yang tidak berbahasa Jawa hadir. Dalam kongres ke 5 tahun 1922 di Solo, Jong
Java menetapkan bahwa tidak akan mencampuri aksi dan propaganda politik.
Kegiatan mereka lebih diarahkan kepada hubungan antarmurid sekolah menengah,
mempertinggi perasaan kebudayaan sendiri, dan olah raga.
Pada kongres tahun
1924, beredar wacana yang dibawa oleh R. Sam (Samsuridjal) di bawah pengaruh Agus Salim, untuk membagi
keanggotaan Jong Java menjadi dua kelompok. Pada waktu itu jumlah anggota Jong
Java sudah sekitar 2.000 orang. Anggota muda yang berumur dibawah 18 tahun
tidak akan diperbolehkan mencampuri urusan politik, sementara anggota yang
berumur di atas 18 tahun diperbolehkan ikut dalam gerakan politik yang akan
dibimbing oleh golongan ketiga Jong Java. Dengan demikian Jong Java diharapkan
akan memperoleh guna dan lebih terarah. Namun, upaya ini menemui kegagalan
hingga mengakibatkan kekecewaan dari para anggotanya.[4]
- Jong
Sumatranen Bond
Sebagai reaksi atas
didirikannya Jong Java, para pemuda Sumatera di Jakarta, mendirikan perkumpulan
Jong Sumatranen Bond pada 9 Desember 1917. Setelah Jong Sumatranen Bond
berdiri, pada Januari 1918, Nazir Datuk Pamontjak, seorang pemuda yang belajar
di Jakarta, diutus untuk memperkenalkan perkumpulan JSB dan membentuk cabang di
Padang. Dengan bantuan dari Mohammad Taher Marah Sutan, rapat di antara
pemuda-pemuda pelajar dapat diselenggarakan di gedung Syarikat Usaha di Padang.[5]
Setelah Jong Sumatranen
Bond berdiri, kegiatannya tidak jauh berbeda dengan kegiatan yang dilakukan
oleh Tri Koro Dharmo. Hanya masalahnya, mengenai kebudayaan adalah kebudayaan
yang meliputi kebudayaan Sumatra. Kegiatan di bidang pendidikan masih ada
kendala karena belum begitu banyak pemuda pelajar Sumatra yang ada di Jakarta.
Oleh karena itu ada kelonggaran dari organisasi bahwa untuk memajukan
pendidikan, tidak harus pemuda yang berasal dari salah satu suku bangsa,
melainkan dari berbagai suku bangsa yang ada di Sumatera. Pemuda pelajar yang
dapat diterima menjadi anggota ialah para pelajar yang masih sekolah tingkat
MULO (Meer Uitgebreit Lager Onderwijs) dan AMS (Algemene Middelbare School).
Akhirnya Jong Sumatranen Bond terpaksa menerima permintaan pemuda pelajar dari
pemuda se-Sumatera untuk mendirikan organisasi pemuda berdasarkan kesukuan. Hal
ini juga berlaku di beberapa wilayah di Indonesia.[6]
Pada akhir Juni 1919,
JSB mengadakan kongres pertama di Padang. Bahder Djohan, Amir, Anas, dan
Marzuki yang sudah belajar di Jakarta diutus ke Padang untuk menghadiri dan
memimpin kongres itu, karena Tengku Mansyur (Ketua JSB) tidak datang ke Padang.
Setelah kongres ini, keesokan harinya dibangun sebuah tugu peringatan di Kota
Padang bertuliskan Ter herinnering aan
het 1ste Congres van de Jong Sumatranen Bond, 1919. JSB mengadakan
lustrum pertama pada 1923 di Jakarta. Pada waktu itu, Yamin menyampaikan pidato
dengan judul De Maleische Taal in het
verleden, haden en ini de toekomst (Bahasa Melayu di Masa Lampau, Sekarang
dan Masa Datang). Pada lustrum I JSB tersebut, sebagai suatu peringatan,
dibuatlah medali yang melukiskan nyiur melambai dan kembang melati yang
merupakan perlambangan ke Indonesia-an. Selain itu, diresmikan pula panji
perhimpunan JSB yang bergambar pelita menyala dnegan moto, “pelita bangsa
senantiasa”. Moto ini mengandung pengertian bahwa pemuda adalah pelita yang
akan selalu menerangi bangsanya.[7]
Tokoh-tokoh nasional
dari Sumatra yang pernah menjadi anggota Jong Sumatranen Bond ialah Moh. Hatta,
Moh. Yamin, Bahder Djohan, Abu Hanifah, M.A. Hanafiah, dan lain-lain. Moh.
Hatta di samping pernah masuk menjadi anggota Jong Sumatranen Bond, beliau juga
pernah menjadi anggota Perhimpunan Indonesia, bahkan menjadi ketua pada waktu
di negeri Belanda.[8]
- Jong
Minahasa
Minahasa adalah nama
suku bangsa yang berdiam diri di daerah Sulawesi Utara, terutama di daerah
Manado. Di daerah ini sudah banyak didirikan sekolah-sekolah sejak zaman
Belanda. Oleh karena itu, memungkinkan untuk berdirinya organisasi pemuda
kedaerahan. Jong Minahasa, berdiri pada tanggal 5 Januari 1918 di Manado, yang
didirikan oleh A.J.H.W. Kawilarang (menjadi ketua) dan V. Adam (menjadi
sekretaris).
Jong Minahasa membatasi
pergerakan kegiatannya yakni dalam bidang sosial dan kebudayaan. Organisasi ini
belum berani untuk melangkah ke dalam pergerakan politik. Untuk mencari dana
organisasi, tidak hanya mengandalkan dari iuran anggota, tetapi juga aktif
mengadakan berbagai kegiatan yang dapat mendatangkan pendapatan untuk
organisasi. Seperti penyelenggaraan pertandingan sepak bola antar daerah di
Sulawesi Utara, khususnya Manado. Juga menyelenggarakan malam kesenian daerah,
dengan tujuan sekedar untuk mendapatkan uang untuk kepentingan organisasi.
Setelah dikumpulkan dengan jumlah yang agak banyak, dana tersebut dapat
digunakan untuk membantu para pemuda yang tidak mampu membiayai sekolahnya.
Tokoh-tokoh yang
terkenal dari Jong Minahasa adalah A.J.H.W. Kawilarang, Sam Ratulangi, G.R.
Pantaouw, dan lainnya. Dari anggota organisasi ini, juga ada ikut aktif dalam
Kongres Pemuda I dan II di Jakarta.[9]
- Jong Celebes
Adapun kegiatan pemuda
Jong Celebes ialah masih terbatas pada kegiatan dalam bidang sosial dan
kebudayaan. Masih belum berani untuk ke arah politik. Dalam melakukan
kegiatannya, Jong Celebes juga hati-hati dalam melakukan kegiatan, sehingga
dapat hidup terus tidak dicurigai oleh pemerintah. Tokoh-tokoh Jong Celebes
yang terkenal ialah Arnol Mononutu, Waworuntu, Magdalena Mokoginta (terkenal
Ibu Sukamto, karena Bapak Sukamto sebagai Kapolri), H.W. Makaliwe, dan
lain-lain.[10]
- Jong Ambon
Pada tanggal 1 Juni
1923 Jong Ambon berdiri di Jakarta, yang kegiatannya tidak jauh berbeda dengan
organisasi pemuda kedaerahan yang lainnya, yaitu bergerak dalam bidang sosial
dan kebudayaan. Pemuda Ambon tersebut sangat rajin untuk mengadakan kegiatan
malam kesenian, dengan tujuan mencari dana, untuk membantu anggota-anggota yang
tidak mampu membiayai sekolahnya. Dibanding dengan organisasi pemuda yang
lainnya, pemuda Ambon mudah berhasil dalam menjalin hubungan persaudaraan antar
pemuda sedaerahnya. Itulah yang menyebabkan Jong Ambon cepat berkembang dan
memiliki anggota cukup besar. Tetapi tidak banyak cabang-cabang Jong Ambon di
kota-kota lain, kecuali Kota Ambon itu sendiri. Tokohnya yang terkenal ialah L.
Tamaela, J.J. Tupamahu, D. Souisa, J.S. Lisapaly, J. Leimena, dan lain-lain.[11]
- Jong
Islamieten Bond
Organisasi pemuda
bernafaskan agama islam ini didirikan pada tanggal 1 Januari 1925. Sebagian
dari anggota organisasi ini ialah dari Jong Java yang merasa dikecewakan oleh
kebijakan di dalam Jong Java sendiri, hingga akhirnya memilih keluar dari Jong
Java dan ikut mendirikan Jong Islamieten Bond. Pada tahun 1925 itu, organisasi
ini memiliki sekitar 1.000 anggota di tujuh cabang/kota, yaitu Batavia,
Yogyakarta, Solo, Madiun, Bandung, Magelang, dan Surabaya. Sampai tahun 1928,
jumlah anggotanya naik menjadi 2.000 dari 20 kota/cabang.
Sebagian dari anggota
Jong Islamieten Bond ialah bekas anggota Jong Java yang merasa tidak puas akan
kebijakan perkumpulan Jong Java, sebagian lagi adalah siswa dan pelajar yang
sebelumnya belum pernah menjadi anggota perhimpunan. Dalam kongres JIB pada
Desember 1925 di Yogyakarta, Agus Salim tidak keberatan dengan digunakannya
kain pemisah antara lelaki dan perempuan. JIB lebih merupakan ambisi Agus Salim
untuk melawan nasionalisme sekuler.
Meskipun JIB
mendasarkan pada Islam, tetapi JIB memperjuangkan persatuan nasional. Pada
24-26 Desember 1930, JIB mengadakan kongres ke 6 di Jakarta. Dalam kongres itu
diadakan pidato-pidato tentang cinta tanah air dan bangsa di dalam Islam. Pidato
ini disampaikan oleh Agus Salim sebagai penasihat JIB. Sebagai buah dari usaha
JIB yang menghasilkan keputusan untuk mendirikan satu federasi yang mewadahi
perkumpulan-perkumpulan pemuda Islam.[12]
Pernah di dalam kongres
ketiga, di Yogyakarta, pada 23-27 Desember 1927, dibicarakan masalah Islam dan
Kebangsaan. Dirumuskan pula pengertian nasionalisme dalam Islam, yaitu harus
mencintai tanah air, bangsa dan agama. Akan tetapi harus diikuti dengan
ditumbuhkannya kesadaran cinta terhadap saudara seagama di luar negeri dan
mencintai sesama manusia.[13]
- Jong Bataks
Bond
Organisasi Jong Bataks
Bond berdiri tahun 1926 dengan tokoh-tokohnya yang terkenal yaitu Amir
Syarifuddin dan Sutan Todung Gunung Mulia. Kegiatan Jong Bataks Bond tidak
bergerak dalam bidang politik, melainkan masih bergerak dalam bidang sosial dan
kebudayaan.[14]
Terjadi masalah di
kalangan pemuda Batak pada 1925 akibat ketidakpuasan kalangan pelajar Batak
dalam JSB. Hal ini lah yang menyebabkan berdirinya Jong Bataks Bond. Menurut
para pendirinya, yaitu para pelajar Batak di Batavia seperti Amir Syarifuddin,
nasionalisme Batak yang tersendiri jelas memiliki hak hidup. Pelajar Batak
merasakan kebutuhan yang sangat untuk mempertanggungjawabnkan perjuangannya
dalam hubungan nasionalisme Indonesia mendatang. Mereka menginginkan persatuan
Indonesia. Pada 1926 kemudian diselenggarakan propaganda di Tanah Batak dengan
daya tarik klub sepakbola pemuda Batak. Pemuda Batak berhasil mendirikan cabang
di Tapanuli, Kotaraja (Aceh), Fort de Kock (Bukittinggi), dan Padang. Pada Juli
1928, ada sembilan cabang, yaitu lima di Sumatera dan empat di Jawa, yaitu
Batavia, Buitenzorg (Bogor), Bandung, dan Surabaya.[15]
Banyaknya kegiatan
dilakukan untuk mengumpulkan dana, dalam rangka membiayai organisasinya. Antara
lain dengan membentuk grup-grup kesenian Batak dan kesebelasan sepak bola.
Grup-grup ini seringkali mengadakan malam kesenian yang menampilkan kesenian
Batak. Pemuda pelajar Batak sering mengadakan lomba-lomba koor lagu-lagu Batak,
lagu-lagu berbahasa Belanda dan bahasa asing lainnya. Hasil dari
penyelenggaraan lomba tersebut diserahkan kepada organisasi, yang selanjutnya
digunakan untuk membantu anggota-anggota Jong Bataks yang masih sekolah, dan
yang tidak mampu membiayai sekolahnya.
Tokoh-tokoh yang
menjadi anggota organisasi ini ialah F.L. Tobing, Amir Syarifuddin, S.T.G.
Mulia, R. Pirngadie, Abd. Moenir, dan sebagainya.[16]
- Sekar Rukun
Di pulau Jawa merupakan
daerah yang paling banyak pelajar dari berbagai daerah. Untuk masyarakat pulau
Jawa, ternyata sudah dibagi menjadi 3 budaya yang sangat dominan, yaitu budaya
Jawa yang wilayah pemilik dan pelakunya meliputi masyarakat Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Kedua adalah budaya Sunda, yang wilayah pemilik dan pelakunya
meliputi masyarakat di Jawa Barat. Ketiga, yaitu budaya Betawi yang meliputi
hanya Kota Jakarta. Oleh karena itu, akhirnya para pemuda di Jawa mendirikan
organisasi pemuda kedaerahan yang terdiri dari tiga macam budaya tersebut.
Lahirlah nama “Sekar
Rukun”. Sekar dimaksudkan adalah Kembang (bunga) yang melambangkan pemuda. Dan
lebih sering disebut dengan Sekar Rukun. Pengertian rukun ialah bersatu.
Berarti Sekar Rukun berarti persatuan pemuda atau organisasi kerukunan pemuda
dari Pesundan.
Tujuan Sekar Rukun,
tidak berbeda dengan tujuan organisasi pemuda kedaerahan lainnya, yaitu
menjalin persatuan dan mempererat tali persaudaraan pemuda-pemuda di daerah
Pesundan, Jawa Barat. Kegiatannya juga masih terbatas pada bidang sosial dan
kebudayaan. Olah raga dan kesenian, yang paling mudah dilaksanakan, karena
dalam bidang inilah yang dapat dijadikan sebagai alat mempersatukan pemuda. Tokoh-tokoh
pemuda Pasundan yang menjadi anggota Sekar Rukun ialah R. Makmun Al Rasyid
Kusumadilaga, Moh. Salim, dan Basoeki.
- Pemuda Kaum
Betawi
Organisasi ini
didirikan pada tahun 1927. Para pemuda Betawi ini sudah memiliki rasa
nasionalisme, namun belum berani secara terang-terangan bergerak dalam bidang
politik. Tanda-tanda dari nasionalisme tersebut tampak pada tidak mau
menggunakan nama Belanda pada nama organisasi. Pemuda Kaum Betawi. Ada kata
“pemuda” pengganti dari Jong (bahasa Belanda), kemudian “kaum” yang berarti
masyarakat atau golongan. Jadi lebih tampak pada pencarian identitas (jati
diri) budaya Betawi.
Mengenai kegiatannya
sudah mengikuti perkembangan menuju ke arah perjuangan politik, namun belum
berani tegas, bahkan menggunakan langkah perjuangan bersikap “kooperasi”. Hal
ini ditempuh karena pada tahun tersebut pihak pemerintah kolonial Belanda,
sudah mulai berbuat keras, terutama ditujukan kepada kaum pergerakan nasional
yang berjuang menempuh sikap non-kooperasi. Adapun tokoh-tokoh yang terkenal
dari Pemuda Kaum Betawi ialah Rohjani, Moh. Husni Thamrin, dan lain-lain.[17]
- Perhimpunan
Indonesia
Sejak awal abad ke 20,
mulai banyak pemuda Indonesia yang pergi ke Belanda untuk melanjutkan studi di
perguruan tinggi di Leiden, Amsterdam, Rotterdam, ataupun Wereningen. Timbullah
kebutuhan di kalangan mahasiswa untuk mendirikan perkumpulan. Para mahasiswa di
Belanda mulai mendirikan organisasi mahasiswa sejak 1908 dengan nama Indische
Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang kemudiann berubah nama menjadi
“Perhimpunan Indonesia”. Organisasi ini memasuki periode baru dalam
perkembangannya semenjak kedatangan tokoh tiga serangkai (Douwes Dekker, Tjipto
Mangunkusumo, dan Soewardi) di Belanda karena di buang oleh Gubernur Jenderal
Idenburg pada tahun 1913.
Indische Vereeniging resmi menjadi sebuah organisasi politik yang
radikal pada Januari 1925. Dalam rapat yang diselenggarakan pada 3 Februari
1925, baru nama Perhimpunan Indonesia resmi dipakai. Cara yang dipakai para
pemimpin Perhimpunan Indonesia dalam menjalankan tugasnya ialah mengembangkan
suatu ideologi nasionalis yang baru dan khas di Indonesia; bebas dari batasan
Islam atau komunisme yang akan lebih memecah bangsa Indonesia. Selama berdiri,
Perhimpunan Indonesia memegang posisi penting dalam gerakan kebangsaan
Indonesia. Pada 1926, jumlah anggotanya Perhimpunan Indonesia hanya 38 orang.
Perhimpunan ini adalah katalisator yang mengarahkan putra-putra golongan elit
Indonesia agar membuang rasa rendah diri yang dipaksakan oleh penguasa kolonial
dan untuk pertama kalinya menuntut kemerdekaan. Sumbangan Perhimpunan Indonesia
terbesar ialah usahanya mengembangkan ideologi sekulernya yang menjadi dasar
dari arus utama gerakan kebangsaan setelah tahun 1927.[18]
[1] Drs. Sudiyo. 2003. Arus Perjuangan Pemuda dari Masa ke Masa.
Jakarta: PT Bina Adiaksara dan Rineka Cipta. Hlm 23-26
[2] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 31-33
[3] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 34-35
[4] Adrian B. Lapian, DKK. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 5; Masa Pergerakan Kebangsaan.
Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Hlm 354
[5] Ibid, Adrian B. Lapian. Hlm 356
[6] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 38-39
[7] Ibid, Adrian B. Lapian. Hlm 356
[8] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 40
[9] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 40-41
[10] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 43
[11] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 46-47
[12] Ibid, Adrian B. Lapian. Hlm 355
[13] Ahmad Mansur Suryanegara. 2009. Api Sejarah. Bandung: Penerbit
Salamandani. Hlm 508
[14] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 47
[15] Ibid, Adrian B. Lapian. Hlm 357
[16] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 48
[17] Ibid, Drs. Sudiyo. Hlm 48-53
[18] Ibid, Adrian B. Lapian. Hlm 357-359
0 komentar:
Posting Komentar