Rabu, 05 Juli 2017

Sekitar Peristiwa Proklamasi (12 s.d. 17 Agustus 1945)

A.    Peristiwa Jakarta-Dalat-Jakarta
Pada 8 Agustus 1945, Soekarno, Hatta, dan Radjiman dipanggil oleh Jenderal Terauchi ke Dalat di Indochina.[1] Tepat sehari setelah pengumuman pembentukan PPKI, Gunseikan memberitahukan kepada ketiga tokoh (Soekarno, Hatta, dan Radjiman) untuk menghadap ke markas besar di Dalath, Saigon. Bung Karno menanyakan apa agenda pemanggilan mereka bertiga tapi, Gunseikan tidak mau menjawabnya dengan alasan undangan itu penting dan bersifat rahasia. Bung Karno bahkan dilarang untuk memberitahukan masalah keberangkatan ini, bahkan pada keluarganya sekalipun.[2] Ketiga tokoh nasional tersebut berada di Dalat tanggal 11 Agustus – 14 Agustus 1945.[3] Pihak Jepang sengaja memanggil ketiga tokoh nasional tersebut ke Dalat agar tidak mendengar berita kekalahan Jepang. Tampaknya berita mengenai deklarasi perang Soviet Rusia terhadap Jepang belum sampai di Indonesia, atau memang sengaja di sembunyikan oleh pihak Jepang di Jakarta.
Pada 11 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menjanjikan kepada mereka bahwa kemerdekaan akan diberikan kepada Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Sidang perundang-undangan akan diadakan pada 19 Agustus 1945. Minggu menjelang kemerdekaan dijanjikan akan digunakan untuk mengedarkan dan meratifikasi Undang-Undang Dasar yang sebelumnya telah disusun oleh PPKI.[4] Terauchi Hisaichi menjanjikan kemerdekaan bagi seluruh bekas wilayah Hindia Timur Belanda, tetapi memveto penggabungan Malaya dan wilayah-wilayah Inggris di Kalimantan. Soekarno ditunjuk sebagai Ketua Panitia Persiapan dan Hatta sebagai Wakil Ketua.[5]
Soekarno, Hatta, dan Radjiman kembali ke Indonesia pada 14 Agustus 1945 dan mendapati bahwa gerilyawan Indonesia menentang kemerdekaan dalam bentuk apa saja apabila itu merupakan anugerah dari Jepang. Mereka juga bertekad kuat untuk merebut kemerdekaan tanpa syarat dari Jepang melalui jalan kekerasan. Gerakan-gerakan bawah tanah di Jawa dan beberapa di Sumatera bersumpah dan mengatur pemberontakan melawan Jepang yang akan dilaksanakan bersamaan dengan serangan Sekutu ke Jawa dan Sumatera sebagaimana yang diharapkan. Beberapa hari setelah kepulangan ke Indonesia, Soekarno, Hatta dan Radjiman mendapati bahwa pemerintah militer Jepang sudah menyerah kepada Sekutu diwajibkan untuk mempertahankan status quo perpolitikan Indonesia.[6]

B.     Peristiwa Rengasdengklok
Soekarno dan Hatta masih ingin menghindari pertumpahan darah, sedangkan kelompok-kelompok bawah tanah mengikuti tuntutatn Sjahrir agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan dalam kata-kata yang sangat anti-Jepang sampai-sampai seluruh rakyat Indonesia bersedia menggulingkan Jepang secara bersama-sama. Sementara itu, kelompok bawah tanah pimpinan Sukarni yang didukung oleh sejumlah kelompok Persatuan Mahasiswa telah kehilangan kesabaran.[7] Disepakati bahwa Bung Karno dan Bung Hatta harus dipisahkan dari Jepang dan kelompok-kelompok orang tua. Untuk itu Bung Karno dan Bung Hatta harus dibawa menyingkir ke luar kota, tempat dimana rakyat dan tentara PETA sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang timbul pada saat kemerdekaan diproklamasikan. Pertimbangan para pemuda adalah jika Bung Karno dan Hatta masih berada di Jakarta, ada kemungkinan mereka bisa dipakai Jepang untuk menindas atau menghalangi pernyataan kemerdekaan.[8]
Pada tanggal 16 Agustus 1945 pagi, Soekarno dan Hatta tidak dapat ditemukan di Jakarta. Mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda pada malam harinya ke garnisun PETA di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak ke arah utara dari jalan raya Jakarta-Cirebon, dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus suatu pemberontakan PETA dan Heiho.[9] Ada beberapa alasan kenapa Rengasdengklok dipilih oleh para pemuda, yaitu:
1.      Letak Rengasdengklok relatif terpencil, yaitu 15 km dari Kedung Gede, Karawang. Dengan demikian pengawasan dapat dilakukan dengan mudah terhadap setiap pergerakan tentara Jepang yang hendak datang ke Rengasdengklok, baik datang dari Jakarta maupun yang menuju ke Bandung, Jawa Tengah, atau sebaliknya. Hal ini disebabkan pergerakan mereka pasti melalui Kedung Gede, dimana pasukan pengaman telah bersiap-siap menolongnya.
2.      Para Bundanco di Daidan Purwakarta pernah mendapat latihan dari Shodanco Singgih, sehingga mereka merupakan orang-orang terdekat Singgih. Shodanco Umar Bahsan di Rengasdengklok merupakan orang kepercayaan Singgih.
3.      Sukarni sudah lama akrab dengan Shodanco Subeno yang menjadi salah satu komandan di sana.
4.      Para pamong praja dan pemuda Rengasdengklok yang tergabung dalam Kaibodan dan Seinendan sudah bersatu dengan PETA.[10]
Kurang lebih pukul 06.30 (tanggal 16 Agustus 1945), rombongan dari Jakarta tiba di Tangsi PETA Rengasdengklok. Para petugas keamanan sudah menentukan tempat untuk menerima para tamu tersebut. Setelah para tamu istirahat sebentar, maka terus idbawa ke ruangan lain, di mana Sukarni, Yusuf Kunto, dr. Sucipto, Umar Bachsan, dan lain-lain sudah menunggunya. (menurut keterangan dari Budanco Ngadam Suradji dan Shodanco Suharyana, kedua-duanya anggota PETA Rengasdengklok, bahwa tempat pertemuan adalah rumah dinas kediaman Komandan PETA Rengasdengklok, yaitu Shodanco Subeno). Di ruangan ini bukan rapat, tetapi hanya pertanyaan dari Sukarni kepada Bung Karno dan Hatta, untuk segera menyatakan kesediannya Proklamasi Kemerdekaan. Di samping itu Sukarni juga meyakinkan bahwa Jepang sudah kalah dan menyerah kepada Sekutu. Namun, Bung Karno tidak bersedia proklamasi di Rengasdengklok dan belum percaya bahwa Jepang sudah menyerah.[11]
Sementara itu, Jepang sudah mengetahui perihal penculikan Sukarno dan Hatta. Achmad Subardjo yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok Sukarni, pergi ke Rengasdengklok (dengan sepengetahuan Laksamada Maeda, atau setidaknya para pejabat Militer Jepang) yang mana untuk membujuk Sukarni maupun para mahasiswa untuk kembali ke Jakarta bersama dengan Soekarno dan Hatta.[12]

C.     Penyusunan Teks Proklamasi
Begitu kembali ke Jakarta pada 16 Agustus 1945 tengah malam, Hatta segera menghubungi tangan-kanan Panglima Angkatan Perang Jepang di Jawa. pejabat tersebut memberi tahu Hatta bahwa yang dimaksud dengan “Jepang menyerah” adalah Jepang “hanya menjadi agen sekutu” dan berarti Jepang tidak akan menyetujui proklamasi kemerdekaan oleh orang Indonesia. Setelah Soekarno, dan Hatta pulang sebentar untuk istirahat, maka dilanjutkan menuju ke rumah Laksamada Muda Maeda, tetapi sempat melakukan kontak dengan Mayor Jenderal Nishimura, untuk minta keterangan keadaan perang yang sebenarnya. Bahwa Jepang sudah menyerah, maka Bung Karno dan Hatta baru sepenuhnya memproses proklamasi sesuai dengan yang dikehendaki oleh para pemuda.
Atas hubungan baik antara Achmad Subardjo dengan Laksamada Muda Maeda (Komandan Kaigun di Jakarta), maka untuk memproses Proklamasi dapat menggunakan rumah kediamannya, yaitu Oranye Nassauboulevard, Myakoodoori (sekarang disebut Jl. Imam Bonjol No. 1 Jakarta, dan dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi). Di sinilah para anggota PPKI dan para pemuda sudah berkumpul, menunggu kedatangan Bung Karno dan Hatta dari Rengasdengklok.[13] 
Jam sudah melewati angka 12.00 malam, berarti hari sudah berganti menjadi Jum’at. Tanggal juga sudah berubah menjadi 17 Agustus 1945. Ketegangan masih terasa di rumah Laksamada Maeda dimana Bung Karno, Hatta, Subardjo, dan Sukarni masih berada di dalamnya. Kenpeitai bersiaga di seluruh Jakarta. Walaupun revolusi tidak jadi digerakkan malam ini pemuda-pemuda tetap berkumpul dalam markasnya masing-masing. Walaupun tidak ada pertempuran malam itu, bukan berarti revolusioner melemah dalam hal tuntutan proklamasi kemerdekaan secepatnya. Ultimatum sudah diajukan, paling lambat 17 Agustus 1945 jam 12.00, kemerdekaan sudah harus diproklamasikan.[14]
Rapat dirumah Laksamada Maeda itu kurang lebih pukul 02.00 – 04.00. adapaun peserta yang rapat secara keseluruhan (golongan tua dan muda) kurang lebih ada 33 orang. Yang mendapat tugas menyusun konsep teks naskah proklamasi, terdiri dari panitia kecil, yaitu: Bung Karno, Hatta, Achmad Subardjo, Sukarni, dan Sayuti Melik. Mula-mula dipersilahkan Bung Hatta menyusun teks ringkas, karena dianggap yang terbaik bahasannya. Semua setuju kalau kalimat pertama diambil dari akhir alinea ketiga Rencana Pembukaan UUD yang mengenai proklamasi (sekarang disebut UUD 1945). Kalimat pertama berbunyi: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. kemudian untuk menunjukkan cara penyelenggaraan yang bersifat revolusi nasional, Bung Hatta mendiktekan kalimat berikutnya: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.[15]
Untuk pemberian tanda tangan, sempat terjadi perdebatan. Menurut Bung Karno, naskah proklamasi ini ditandatangani dengan bersama-sama, dan juga disetujui oleh Bung Hatta, akan tetapi Chaerul Saleh dan Sukarni menolaknya. Pemuda ini menganggap karena sebagian dari orang-orang tua itu adalah pejabat kolonial, bahkan masih ada yang belum jelas posisinya di pihak Indonesia. Pada akhirnya sebagian dari pemuda mengusulkan untuk menyantumkan dua nama saja, yakni Soekarno dan Hatta.  Kemudian konsep naskah proklamasi itu yang mulanya masih tulisan tangan, diserahkan kepada Sayuti Melik oleh Bung Karno untuk diketik. Bung Karno menugaskan B.M. Diah (wartawan Domei) agar Proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat disebarluaskan sampai ke pelosok tanah air, kalau perlu ke seluruh dunia.

D.    Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi, Soekarno membacakan pernyataan kemerdekaan tersebut di hadapan sekelompok orang yang relatif sedikit jumlahnya di luar rumahnya sendiri,[16] di Jalan Pengangsaan Timur No. 56.

Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun ‘05
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno – Hatta

 Setelah pembacaan proklamasi, Bung Karno bersalaman dengan Bung Hatta, dan kemudian menuruni tangga teras depan sebanyak dua anak tangga, dan berhenti di anak tangga terakhir, kurang lebih dua meter dari tiang bendera. Sementara para hadirin yang sebelumnya berada di ruang depan di belakang Bung Karno pindah ke halaman depat dekat tiang bendera. Selanjutnya seorang gadis berjalan bersama Suhud dari halaman belakang membawa nampan berisi bendera jahitan Bu Fatmawati. Suhud memberikan bendera dari nampan kepada Latief. Lalu Latief mengikatkan bendera itu di tali tiang bambu yang kasar itu dibantu oleh pemuda bernama Suharsono, untuk kemudian mengibarkan bendera itu di ujung bambu. Latief juga menggerek bendera dengan dibantu oleh seorang mahasiswa Ika Daigaku, bernama Suraryo. Sedangkan ujung bendera di pegang oleh seorang gadis yang berdiri di samping kanan S.K. Trimurti. Setelah bendera siap dikerek, secara spontan semua hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[17]



[1] George McTurnan Kahin. 2013. Nasionalisme & Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu. Hlm 181
[2] Osa Kurniawan Ilham. 2013. Proklamasi: Sebuah Rekonstruksi. Yogyakarta: Mata Padi Presindo. Hlm 115
[3] Sudiyo. 2003. Arus Perjuangan Pemuda Dari Masa Ke Masa. Jakarta: PT Bina Adiaksara. Hlm 129
[4] Ibid, George McTurnan Kahin. Hlm 181
[5] M.C. Ricklef. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. Hlm 443
[6] Ibid, George McTurnan Kahin. Hlm 181-182
[7] Ibid, George McTurnan Kahin. Hlm 196
[8] Ibid, Osa Kurniawan Ilham. Hlm 185
[9] Ibid, M.C. Ricklefs. Hlm 444
[10] Ibid, Osa Kurniawan Ilham. Hlm 186
[11] Ibid, Sudiyo. Hlm 136-137
[12] Ibid, George McTurnan Kahin. Hlm 197
[13] Ibid, Sudiyo. Hlm 140
[14] Ibid, Osa Kurniawan Ilham. 237-238
[15] Ibid, Sudiyo. Hlm 144
[16] Ibid, M.C. Ricklefs. Hlm 444
[17] Ibid, Osa Kurniawan Ilham. Hlm 278-281

0 komentar:

Posting Komentar