Jumat, 30 Juni 2017

DINAMIKA EKONOMI KOLONIAL

A.    Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia dari VOC ke Hindia Belanda
Dari segi ekonomi VOC sama sekali tidak mengubah tatanan agraria di Nusantara kecuali di Maluku. Diwilayah tersebut lahan, dan kebun-kebun pala milik penduduk kepada orang Eropa (perkeniers). Untuk menjamin mutu produksi maka pengawasan dalam rangka pemeliharaan, pemetikan dan penyerahan ke loji-loji VOC di jalankan dengan ketat oleh VOC, baik di Ambon maupun di Banda.
Selain di Priangan, VOC berhasil mengadakan kerjasama dengan para Bupati untuk mengerahkan penduduk menanam kopi untuk dijual kepada VOC. Untuk mencapai keuntungan yang lebih besar lagi dari perdagangan kopi, maka VOC membuka perkebunan-perkebunannya sendiri. Di Nusantara VOC tidak mengadakan intervensi dalam produksi agraria yang terutama terdiri dari lada. VOC hanya berusaha memperoleh hak pembelian dan penjualan tunggal (monopoli) saja. Itupun tidak seluruh wilayah produksi lada bisa dikuasai VOC, karena terutama kerajaan Aceh berhasil menghindari sistem monopoli itu.
Keadaan yang berlangsung dalam abad ke 17 dan abad ke 18 tersebut di atas mulai berubah secara mendasar dalam abad ke 19 dan bermula di Jawa. Bermula dengan suatu sistem perkebunan yang mirip dengan apa yang telah diselenggarakan di kepulauan Ambon maupun di Priangan, yaitu “culturstelsel”. Kemudian dalam paruh abad ke 19 meluas menjadi perkebunan swasta. Selain di Jawa, culturstelsel juga dilaksanakan di Minangkabau, dan di Minahasa. Kedua-duanya sama-sama sistem pembudidayaan kopi.
Perkembangan kapitalis dalam tatanan agraria Indonesia itulah yang akan dikemukakan. Pertama, pembangunan ekonomi Indonesia sesungguhnya sudah mulai berlangsung di abad ke 19.
Kedua, pembangunan ekonomi sejak abad ke 19 itu adalah ekonomi kolonial, dimana Indonesia hanya menjadi wilayah produksi bahan baku, sedangkan industri yang mengelolanya ada di Eropa (Belanda).
Ketiga, sistem ekonomi kolonial itu adalah ekonomi pulau per pulau karena hubungan struktural di seluruh Nusantara, kecuali sistem perhubungannya, tidak ada.
Keempat, pembangunan ekonomi berdasarkan sistem kapitalisme ini membawa dampak negatif maupun positif dalam kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia.

B.     Merkantilisme: Negara sebagai Pedagang
Perdagangan swasta biasa di daerah pedalaman rupanya telah umum, terutama di pasar-pasar, walaupun tidak terdapat di semua tempat. Pedagangan itu sebagian besar terdiri dari perdagangan-pertukaran (ruilhandel, barter). Di Priangan, misalnya, kopi dipertukarkan dengan garam, candu atau barang-barang dagangan, dan selanjutnya beras dengan garam, kapas, belao, atau buah-buahan dan jarang sekali dipergunakan uang.
Perdagangan di Priangan tidak berada di tangan orang-orang Tionghoa, karena di sini mereka dihalangi (orang-orang Tionghoa dilarang oleh Kompeni memasuki daerah Priangan), tapi berada di tangan pegawai-pegawai Kompeni dan kepala-kepala. Tuan Kuasa dari Kompeni di Priangan mendatangkan garam, candu, kapas, dan tembakau ke Priangan dan mengeluarkan kerbau, dengan mempergunakan bantuan daripada opsiner-opsiner Eropa dan kepala-kepala. Residen Cirebon berdagang dalam candu, garam, beras, gula, kacang, besi, paku, baja, dan logam-logam lain, barang-barang kayu, dan sebagainya. Perdagangan Priangan dengan daerah pantai mempergunakan alat-alat pengangkut kopi. Pada perjalanan kembali ternak pengangkut (kerbau dan kuda) itu dimuati dengan bermacam-macam barang, diantaranya garam yang terpenting. Pusat-pusat dari lalu lintas perdagangan yang masih sedikit itu ialah gudang-gudang kopi yang dilingkungi oleh beberapa warung kepunyaan orang-orang dari pantai.
Jadi, perdagangan  atau penyebaran dari barang-barang konsumsi, terikat kepada pola pergaulan hidup masyarakat pada waktu itu, baik karena perdagangan yang sebagian besar berada di tangan pemegang-pemegang kekuasaan maupun karena cara-cara barang itu diperoleh dan didistribusikan. Dapat dikatakanlah bahwa perdagangan dalam negeri mempunyai kepala feodal atau ekor feodal atau kedua-duanya. Distribusi barang-barang konsumsi hanya sebagian yang mempunyai sifat perdagangan yang diorganisir secara kontrak komersial.

C.     Pertanian: Praktek Sistem Tanam Paksa di Jawa dan Luar Jawa (Perkembangan di Minangkabau)
a)      Jawa
Pembangunan ekonomi yang dilakukan pihak Belanda antara 1830 hingga pertengahan abad ke 19 itu dinamakan “culturstelsel”. Dalam historiografi Indonesia yang tradisional istilah itu diganti menjadi “tanam paksa” yang menonjolkan aspek normatif dari sistem itu, yaitu penderitaan rakyat. Cultur stelsel di Jawa dimulai pada 1836 atas inisiatif seseorang yang berpengalaman dalam hal ini, yaitu van den Bosch yang telah mempunyai pengalaman dalam pengelolaan perkebunan di wilayah kekuasaan Belanda di kepulauan Karibia. Tujuan van den Bosch dengan sistem ini ialah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya dipasar dunia. Untuk mencapai tujuan itu, ia menganjurkan pembudidayaan berbagai produk seperti gula, kopi, indigo (nila), tembakau, teh, lada, kayu manis, dan sebagainya. Persamaan dari semua produksi itu ialah bahwa petani dipaksakan oleh pemerintah untuk memproduksinya dan sebab itu tidak dilakukan secara “voluntary” atau sukarela.
Menurut penelitian Prof. Fasseur dari Universitas Leiden, pada 1840 sekitar 15,5% dari penduduk Jawa dikerahkan dalam culturstelsel. Penduduk di keresidenan Batavia dan kesultanan di Jawa Tengah atau vortsenlanden tidak mengambil bagian dalam sistem ini. Pada tahun 1850 umpamanya jumlah itu menurun menjadi 46%, tetapi pada 1860 naik lagi menjadi 54,5%. Prof. Fasseur berhasil membuat kalkulasi mengenai berbagai komoditi yang ditanam 1830 dan membawa hasil sekitar 1840. Dalam waktu 10 tahun (1830-1840) semua keresidenan (18 buah) di Jawa telah terserap dalam sistem ini (kecuali Batavia). Kopi diusahakan mulai dari Banten hingga keresidenan Besuki di Jawa Timur, tetapi produksi kopi terbesar berasal dari keresidenan-keresidenan Priangan (Jawa Barat), kedua Jawa Tengah, Pasuruan dan Besuki (Jawa Timur).
Dalam jangka waktu yang sama gula telah berhasil diusahakan di 13 keresidenan. Pusatnya terutama di Jawa Timur, yaitu keresidenan Surabaya, Pasuruan, dan Besuki (1840 produksi dari wilayah ini hampir mencapai 65%). Selain itu terdapat pula di keresidenan Jepara, Semarang, Pekalongan, dan Tegal (Jawa Tengah) dan Cirebon (Jawa Barat). Dalam jangka waktu yang sama pula indigo (nila) berhasil di usahakan di 11 keresidenan, tetapi produksi utama berasal dari dua keresidenan di Jawa Tengah (Begelen dan Banyumas) yang hasil produksinya mencapai 51%. Juga di Cirebon dan Pekalongan diusahakan sedikit indigo.
Tembakau juga diusahakan melalui culturstelsel dilakukan di keresidenan Rembang dan sekitar Pacitan (Jawa Tengah). Sedangkan kayu manis di selenggarakan di keresidenan Karawang (Jawa Barat).
Antara tahun 1840-1849 saja mereka memperoleh sekitar 65 juta gulden dari penjualan komoditi yang paling banyak diproduksi di Priangan itu. Sedangkan dalam jangka waktu yang sama indigo hanya membawa keuntungan sebesar 15 juta gulden. Menurut Fasseur, keuntungan yang demikian besar dari kopi disebabkan harga jualnya memang tinggi tetapi harga belinya sangat rendah. Kemudian gulanya menjadi komoditi ekspor yang besar setelah kopi. Tetapi gula baru menjadi primadona setelah tahun berdasarkan Undang-Undang Gula (1870) modal swasta diperkenankan memasuki perkebunan tebu. Indigo atau nila yang dalam masa culturstelsel tidak terlalu jauh berbeda dari gula itu, kemudian mengalami kemerosotan sehingga tidak berarti. Demikian dengan komoditi-komoditi lainnya terdesak sama sekali setelah 1870.
b)      Luar Jawa
Di Minangkabau, kopi telah diusahakan secara perorangan antara 1820 hingga 1840-an sebelum diberlakukannya culturstelsel. Budidaya kopi di sini dilakukan di daerah pegunungan seperti halnya di Minahasa. Lahan yang digunakan pun termasuk yang tidak bisa digunakan untuk pertanian lain. Sebagian besar terdapat di sekitar kampung-kampung dalam wilayah hutan sehingga disebut juga “kopi hutan”. Di sini penduduk juga membuka prasarana jalan dan jembatan untuk pengangkutan kopi dari pegunungan ke Padang tanpa diberi imbalan apapun. Para penghulu bertugas mengerankan penduduk untuk berbagai tugas tersebut di sana.
Dalam penelitiannya tersebut di atas, Prof. Kenneth Young menyimpulkan beberapa faktor yang menyebabkan pembudidayaan kopi di Minangkabau bisa berhasil. Pertama adalah kebijaksanaan upah yang tidak membingungkan petani. Harga per pikul diterapkan f20 (sekitar 32 sen per kg), dan setelah dipotong berbagai ongkos petani menerima f4 per pikul atau 5 sen per kg. Kedua adalah tersedianya tenaga kerja yang banyak yang bisa dikerahkan untuk pekerjaan itu. Ketiga adalah tradisi dagang yang telah lama tertanam di Minangkabau yang menyebabkan orang terdorong untuk mencari uang.
Kalau di Jawa produksi kopi terus meningkat selama abad ke 19 dan bagian pertama abad ke 20, keadaan di Minangkabau justru menurun sejak 1886. Minahasa keadaannya berfluktuasi dengan beberapa puncak pada 1865 (sekitar 35.000 pikul) dan 1889 (sekitar 37.500 pikul), kemudian sejak 1879 (35.000 pikul), dan sejak itu menurun dalam bentuk fluktuasi hingga pernah mencapai titik terendah pada tahun 1890 (100 pikul), dan saat penghapusan (1899) hanya mencapai sekitar 6000 pikul.
D.    Perkebunan dan Pertambangan
a)      Perkebunan
1)      Perkebunan Swasta di Jawa
Perkebunan swasta telah dimulai sejak tahun 1816 di daerah kesultanan (vorstenlanden) yang kemudian tidak dikenalkan culturstelsel itu. Para entrepeneur Barat maupun Cina menyewa tanah-tanah dari kaum bangsawan dan mengusahakan perkebunan kopi, gula, tembakau, indigo, dan lain-lain. Selain itu juga di tanah-tanah partikelir di sepanjang pantai utara Jawa (dibeli oleh orang Cina sejak masa VOC).
Selama periode antara 1870 hingga 1942 perkembangan modal swasta dalam sektor perkebunan mendominasi perekonomian Indonesia. Beberapa komoditi yang penting di Jawa adalah gula, kopi, tembakau, teh, karet, kina, dan kelapa. Di luar Jawa, karet, kelapa, sawit, dan tembakau merupakan produk utama. Dalam periode ini gula telah menggantikan kopi sebagai primadona di Jawa. Daerah-daerah utama penghasil gula adalah pantai utara pulau Jawa yang memiliki sistem pengairan sawah yang sangat baik, yaitu keresidenan antara Cirebon sampai Semarang, kemudian daerah selatan Gunung Muria hingga Juwana. Kemudian daerah kesultanan (vorstenlanden) termasuk produsen gula yang baik pula, menyusul keresidenan-keresidenan Madiun, Kediri, dan Besuki di Jawa Timur. Selain di wilayah Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan daerah-daerah Surabaya hingga Jombang di pantai utara juga termasuk produsen utama gula.

Perkebunan tebu merupakan tahapan pertama dari industri gula. Untuk menjadikannya gula yang dapat diperjual belikan dan digunakan oleh konsumen diperlukan penggilingan tebu (pabrik tebu). Seperti yang dikemukakan, pabrik-pabrik tebuu di Jawa dikelola oleh swasta. Pada masa culturstelsel pihak swasta dapat mengajukan permintaan izin pada pemerintah (zuikercontracten). Tetapi setelah itu pabrik gula dapat diusahakan oleh swasta tanpa mengajukan izin. Pemodal utama pada masa culturstelsel berasal dari dalam negeri yaitu, dari para pensiunan pegawai, dari perusahaan-perusahaan ekspor-impor, ataupun dalam penggilingannya.
2)      Perkebunan Swasta di Luar Jawa
Perkembangan modal swasta baru muncul secara kontinu sejak awal abad ke 20, kecuali di Sumatera Timur (sudah sejak 1860-an). Selain itu tidak seluruh wilayah Luar Jawa mengalami pertumbuhan. Ada wilayah-wilayah yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi, tetapi ada pula yang tertinggal sama sekali. Daerah-daerah yang mengalami pertumbuhan ialah Sumatera Timur (tembakau, karet, kelapa sawit, minyak, dan lain-lain), Palembang (karet), Riau (timah, minyak), Kalimantan Tenggara (karet), Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan (kelapa). Wilayah-wilayah yang tertinggal adalah Maluku, Lampung, Bengkulu, sebagian dari Sumatera, sebagian dari Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Irian.
Indikasi pertumbuhan ekonomi di Luar Jawa terutama berasal dari angka-angka ekspor dari wilayah-wilayah yang mengalami pertumbuhan. Di antara wilayah-wilayah itu pulau Sumatera menunjukkan tingginya variasi komoditi ekspor. Pulau ini sampai 1870 berada di luar kekuasaan Belanda sesuai dengan perjanjian dengan Inggri pada 1842 (Perjanjian London). Tetapi perkembangan modal swasta yang demikian pesat, baik di Sumatera maupun di semenanjung menyebabkan Inggris dan Belanda terpaksa mengubah kesepakatan itu pada 1870 (Traktat Sumatera). Sejak itu Inggris diperkenankan memasuki semenanjung dan Belanda diperkenankan memasuki Sumatera.
Sumatera Timur merupakan wilayan pertama yang mengalami pertumbuhan sejak Nienhuis membuka perkebunan tembakau di sana pada 1864. Tembakau Deli menjadi terkenal di pasaran Eropa sehingga berbagai pengusaha lainnya menyusul. Karena penduduk lokal tidak bersedia bekerja di perkebunan maka pada mulanya diusahakan tenaga kerja dari Cina. Tetapi kemudian tenaga kerja diperoleh dari Jawa.
Sejak 1872 jumlah perkebunan kopi terus meningkat (ekspansi) hingga krisis pada 1891. Setelah itu jumlahnya terus menurun, dan menurun drastis sejak depresi ekonomi dunia 1930. Sudah sejak krisis harga tembakau pada 1891 para pengusaha mencari alternatif lain, maka muncullah perkebunan-perkebunan baru dengan komoditi baru seperti kelapa sawit, kopi, teh, serat manila (abaka), dan karet. Kemudian menyusul pula minyak.
b)      Pertambangan
Pertumbuhan di Luar Jawa terutama juga disebabkan oleh berkembangnya pertambangan yang padat modal itu. Tiga jenis pertambangan yang paling penting adalah timah, batu-bara, dan minyak bumi.
Timah di Kepulauan (Kep. Riau, Bangka, Belitung, dan Singkep) telah dikenal mulai ditambang oleh orang-orang Cina dan Melayu sejak awal abad ke 18. Orang-orang Cina dari semenanjung membantuk satuan-satuan kerja yang dinamakan kongsi masing-masing dengan pemimpinnya untuk menambang dan memasarkan timah ke India dan Hongkong. Kemudian oleh VOC tambangan ini, juga dijadikan monopoli dan perdagangkan di Asia pula. Setelah Belanda secara sah menguasai wilayah ini berdasarkan perjanjian London, maka pertamangan timah pun mulai mendapat perhatian. Dengan modal swasta dibentuklah dua perusahaan untuk menggarap timah oleh Biliton Maatschappij.
Sejak tahun 1885 sistem kongsi mengalami perubahan di pulau Belitung. Setiap anggota kongsi mendapat upah sesuai jumlah timah yang telah ditentukan yang diserahkan pada perusahaan (sistem kuantitas). Kelebihannya dibayar pula oleh perusahaan. Sistem kongsi sama sekali dihilangkan ketika perusahaan mulai menggunakan teknologi canggih. Sejak itu perusahaan memperkerjakan para pekerja Cina secara pribadi. Keadaan di pulau Bangka berbda dengan di Belitung. Kalau di Belitung para pekerja diupah setahun sekali, maka di Bangka mereka menerima upah setiap bulan.
Batu bara pertama kalinya ditambang di Martadipura (Kalimantan) pada 1846 dan 1849 oleh dua perusahaan milik pemerintah, de Hoop dan Oranje-Nassau. Hanya perusahaan kedua yang dapat bertahan lama. Hasilnya dibeli oleh Angkatan Laut Belanda. tetapi perusahaan kedua itu pun akhirnya gulung tikar karena musibah kebakaran 1884. Perusahaan pertambangan batubara yang ternyata berhasil adalah di Umbilin (Sumatera) yang dibuka pada 1868. Keberhasilan itu menarik para investor untuk membuka perusahaan pertambangan di Labuan (Kalimantan) sejak 1889. Selain itu telah dibuka juga perusahaan di Sadong (1873) dan Muara (1882). Tenaga kerja di Kalimantan terutama adalah orang Cina. Persaingan dengan perusahaan-perusahaan Inggris di Serawak cukup kuat, tetapi perusahaan-perusahaan tersebut dapat bertahan.

E.     Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi Bumiputera
Sebagai akibat dari penarikan pajak tanah dalam uang, maka hasil rakyat Jawa yang terutama yaitu beras, berangsur-angsur masuk dalam lalu lintas secara kontrak. Berhubungn dengan diubahnya penyerahan wajib beras menjadi pajak tanah, maka timbullah dua hal baru dari peredaran uang, yaitu penjualan barang-barang hasil garapan tanah ke pasar dan pajak dalam bentuk uang. Dengan demikian penduduk terpaksa mengadakan suatu langkah pertama yang besar menuju “rumah tangga uang”. Rupanya pajak tanah dengan cepat menyebabkan diperbesarnya produksi, karena penduduk memperluas penanaman palawija yang pendapatannya dipergunakan untuk membayar pajak.
Dalam suatu lalu lintas pertukaran yang sudah maju, maka tiap-tiap orang akan memperhatikan nilai tukar yang objektif, yang dinyatakan dengan harga-harga pasar. Seorang produsen penjual memperhitungkan kemungkinan bahwa nilai tukar semacam itu lebih besar dari pada nilai pakainya. Sedangkan seorang konsumen pembeli berusaha supaya memperoleh kelebihan nilai pakai di atas nilai tukar objektif yang lebih kecil. Tetapi rakyat desa tidak biasa menjual hasil buminya, selain memikirkan nilai pakai tidak pula lazim memperhitungkan nilai tukar, bahkan mengetahui pun tentang adanya nilai-nilai barang tersebut belum tentu. Karena pendidikannya lebih ditekankan kepada nilai-nilai susila daripada nilai-nilai ekonomi. Itulah sebabnya, maka mereka mempunyai kecenderungan memberi nilai terlalu rendah pada barang-barang yang mereka jual dan terlalu tinggi kepada yang mereka beli. Perdagangan tukar menukar mula-mula banyak, sehingga bahaya orang desa dirugikan mengancam dari dua pihak.
Kedudukan rakyat petani yang tidak memuaskan dalam lalu lintas pertukaran ini hanya bisa diperbaiki dengan memperbanyak persaingan dan dengan menambah pengalaman komersil rakyat dalam penjualan hasil buminya. Hubungan baru antara produsen Indonesia dengan pembeli asung penuh dengan kecurangan dari kedua belah pihak. Hal ini seperti ternyata di atas mengenai pembelian kopi, gula, dan nila, dan terjadi pula dalam perdagangan beras. Orang-orang asing berusaha mengambil keuntungan dari ketidak adanya pengalaman petani dan seringkali mereka berusaha untuk memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur.



SUMBER:
R.Z. Leirissa, G.A. Ohorella, Yuda B. Tangkilisan. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Prajudi Atmosudirdjo. 1984. Sejarah Ekonomi Indonesia: Dari Segi Sosiologis. D.H. Burger (Terjemahan). Jakarta: PT Pradnya Paramita. 

0 komentar:

Posting Komentar