A.
Perubahan
Struktur Ekonomi Indonesia dari VOC ke Hindia Belanda
Dari segi ekonomi VOC
sama sekali tidak mengubah tatanan agraria di Nusantara kecuali di Maluku.
Diwilayah tersebut lahan, dan kebun-kebun pala milik penduduk kepada orang
Eropa (perkeniers). Untuk menjamin
mutu produksi maka pengawasan dalam rangka pemeliharaan, pemetikan dan
penyerahan ke loji-loji VOC di jalankan dengan ketat oleh VOC, baik di Ambon
maupun di Banda.
Selain di Priangan, VOC
berhasil mengadakan kerjasama dengan para Bupati untuk mengerahkan penduduk
menanam kopi untuk dijual kepada VOC. Untuk mencapai keuntungan yang lebih
besar lagi dari perdagangan kopi, maka VOC membuka perkebunan-perkebunannya
sendiri. Di Nusantara VOC tidak mengadakan intervensi dalam produksi agraria
yang terutama terdiri dari lada. VOC hanya berusaha memperoleh hak pembelian
dan penjualan tunggal (monopoli) saja. Itupun tidak seluruh wilayah produksi
lada bisa dikuasai VOC, karena terutama kerajaan Aceh berhasil menghindari
sistem monopoli itu.
Keadaan yang
berlangsung dalam abad ke 17 dan abad ke 18 tersebut di atas mulai berubah
secara mendasar dalam abad ke 19 dan bermula di Jawa. Bermula dengan suatu
sistem perkebunan yang mirip dengan apa yang telah diselenggarakan di kepulauan
Ambon maupun di Priangan, yaitu “culturstelsel”.
Kemudian dalam paruh abad ke 19 meluas menjadi perkebunan swasta. Selain di
Jawa, culturstelsel juga dilaksanakan di Minangkabau, dan di Minahasa.
Kedua-duanya sama-sama sistem pembudidayaan kopi.
Perkembangan kapitalis
dalam tatanan agraria Indonesia itulah yang akan dikemukakan. Pertama,
pembangunan ekonomi Indonesia sesungguhnya sudah mulai berlangsung di abad ke
19.
Kedua, pembangunan
ekonomi sejak abad ke 19 itu adalah ekonomi kolonial, dimana Indonesia hanya
menjadi wilayah produksi bahan baku, sedangkan industri yang mengelolanya ada
di Eropa (Belanda).
Ketiga, sistem ekonomi
kolonial itu adalah ekonomi pulau per pulau karena hubungan struktural di
seluruh Nusantara, kecuali sistem perhubungannya, tidak ada.
Keempat, pembangunan
ekonomi berdasarkan sistem kapitalisme ini membawa dampak negatif maupun
positif dalam kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia.
B.
Merkantilisme:
Negara sebagai Pedagang
Perdagangan swasta
biasa di daerah pedalaman rupanya telah umum, terutama di pasar-pasar, walaupun
tidak terdapat di semua tempat. Pedagangan itu sebagian besar terdiri dari
perdagangan-pertukaran (ruilhandel, barter). Di Priangan, misalnya, kopi
dipertukarkan dengan garam, candu atau barang-barang dagangan, dan selanjutnya
beras dengan garam, kapas, belao, atau buah-buahan dan jarang sekali
dipergunakan uang.
Perdagangan di Priangan
tidak berada di tangan orang-orang Tionghoa, karena di sini mereka dihalangi
(orang-orang Tionghoa dilarang oleh Kompeni memasuki daerah Priangan), tapi
berada di tangan pegawai-pegawai Kompeni dan kepala-kepala. Tuan Kuasa dari
Kompeni di Priangan mendatangkan garam, candu, kapas, dan tembakau ke Priangan
dan mengeluarkan kerbau, dengan mempergunakan bantuan daripada opsiner-opsiner
Eropa dan kepala-kepala. Residen Cirebon berdagang dalam candu, garam, beras,
gula, kacang, besi, paku, baja, dan logam-logam lain, barang-barang kayu, dan
sebagainya. Perdagangan Priangan dengan daerah pantai mempergunakan alat-alat
pengangkut kopi. Pada perjalanan kembali ternak pengangkut (kerbau dan kuda)
itu dimuati dengan bermacam-macam barang, diantaranya garam yang terpenting.
Pusat-pusat dari lalu lintas perdagangan yang masih sedikit itu ialah
gudang-gudang kopi yang dilingkungi oleh beberapa warung kepunyaan orang-orang
dari pantai.
Jadi, perdagangan atau penyebaran dari barang-barang konsumsi,
terikat kepada pola pergaulan hidup masyarakat pada waktu itu, baik karena
perdagangan yang sebagian besar berada di tangan pemegang-pemegang kekuasaan
maupun karena cara-cara barang itu diperoleh dan didistribusikan. Dapat
dikatakanlah bahwa perdagangan dalam negeri mempunyai kepala feodal atau ekor
feodal atau kedua-duanya. Distribusi barang-barang konsumsi hanya sebagian yang
mempunyai sifat perdagangan yang diorganisir secara kontrak komersial.
C.
Pertanian:
Praktek Sistem Tanam Paksa di Jawa dan Luar Jawa (Perkembangan di Minangkabau)
a)
Jawa
Pembangunan ekonomi
yang dilakukan pihak Belanda antara 1830 hingga pertengahan abad ke 19 itu
dinamakan “culturstelsel”. Dalam
historiografi Indonesia yang tradisional istilah itu diganti menjadi “tanam
paksa” yang menonjolkan aspek normatif dari sistem itu, yaitu penderitaan
rakyat. Cultur stelsel di Jawa dimulai pada 1836 atas inisiatif seseorang yang
berpengalaman dalam hal ini, yaitu van den Bosch yang telah mempunyai
pengalaman dalam pengelolaan perkebunan di wilayah kekuasaan Belanda di
kepulauan Karibia. Tujuan van den Bosch dengan sistem ini ialah untuk
memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya dipasar dunia. Untuk
mencapai tujuan itu, ia menganjurkan pembudidayaan berbagai produk seperti
gula, kopi, indigo (nila), tembakau, teh, lada, kayu manis, dan sebagainya.
Persamaan dari semua produksi itu ialah bahwa petani dipaksakan oleh pemerintah
untuk memproduksinya dan sebab itu tidak dilakukan secara “voluntary” atau sukarela.
Menurut penelitian
Prof. Fasseur dari Universitas Leiden, pada 1840 sekitar 15,5% dari penduduk
Jawa dikerahkan dalam culturstelsel. Penduduk di keresidenan Batavia dan
kesultanan di Jawa Tengah atau vortsenlanden tidak mengambil bagian dalam
sistem ini. Pada tahun 1850 umpamanya jumlah itu menurun menjadi 46%, tetapi
pada 1860 naik lagi menjadi 54,5%. Prof. Fasseur berhasil membuat kalkulasi
mengenai berbagai komoditi yang ditanam 1830 dan membawa hasil sekitar 1840.
Dalam waktu 10 tahun (1830-1840) semua keresidenan (18 buah) di Jawa telah
terserap dalam sistem ini (kecuali Batavia). Kopi diusahakan mulai dari Banten
hingga keresidenan Besuki di Jawa Timur, tetapi produksi kopi terbesar berasal
dari keresidenan-keresidenan Priangan (Jawa Barat), kedua Jawa Tengah, Pasuruan
dan Besuki (Jawa Timur).
Dalam jangka waktu yang
sama gula telah berhasil diusahakan di 13 keresidenan. Pusatnya terutama di
Jawa Timur, yaitu keresidenan Surabaya, Pasuruan, dan Besuki (1840 produksi
dari wilayah ini hampir mencapai 65%). Selain itu terdapat pula di keresidenan
Jepara, Semarang, Pekalongan, dan Tegal (Jawa Tengah) dan Cirebon (Jawa Barat).
Dalam jangka waktu yang sama pula indigo (nila) berhasil di usahakan di 11
keresidenan, tetapi produksi utama berasal dari dua keresidenan di Jawa Tengah
(Begelen dan Banyumas) yang hasil produksinya mencapai 51%. Juga di Cirebon dan
Pekalongan diusahakan sedikit indigo.
Tembakau juga
diusahakan melalui culturstelsel dilakukan di keresidenan Rembang dan sekitar
Pacitan (Jawa Tengah). Sedangkan kayu manis di selenggarakan di keresidenan
Karawang (Jawa Barat).
Antara tahun 1840-1849
saja mereka memperoleh sekitar 65 juta gulden dari penjualan komoditi yang
paling banyak diproduksi di Priangan itu. Sedangkan dalam jangka waktu yang
sama indigo hanya membawa keuntungan sebesar 15 juta gulden. Menurut Fasseur,
keuntungan yang demikian besar dari kopi disebabkan harga jualnya memang tinggi
tetapi harga belinya sangat rendah. Kemudian gulanya menjadi komoditi ekspor
yang besar setelah kopi. Tetapi gula baru menjadi primadona setelah tahun
berdasarkan Undang-Undang Gula (1870) modal swasta diperkenankan memasuki
perkebunan tebu. Indigo atau nila yang dalam masa culturstelsel tidak terlalu
jauh berbeda dari gula itu, kemudian mengalami kemerosotan sehingga tidak
berarti. Demikian dengan komoditi-komoditi lainnya terdesak sama sekali setelah
1870.
b)
Luar Jawa
Di Minangkabau, kopi
telah diusahakan secara perorangan antara 1820 hingga 1840-an sebelum
diberlakukannya culturstelsel. Budidaya kopi di sini dilakukan di daerah
pegunungan seperti halnya di Minahasa. Lahan yang digunakan pun termasuk yang
tidak bisa digunakan untuk pertanian lain. Sebagian besar terdapat di sekitar
kampung-kampung dalam wilayah hutan sehingga disebut juga “kopi hutan”. Di sini
penduduk juga membuka prasarana jalan dan jembatan untuk pengangkutan kopi dari
pegunungan ke Padang tanpa diberi imbalan apapun. Para penghulu bertugas
mengerankan penduduk untuk berbagai tugas tersebut di sana.
Dalam penelitiannya
tersebut di atas, Prof. Kenneth Young menyimpulkan beberapa faktor yang
menyebabkan pembudidayaan kopi di Minangkabau bisa berhasil. Pertama adalah
kebijaksanaan upah yang tidak membingungkan petani. Harga per pikul diterapkan
f20 (sekitar 32 sen per kg), dan setelah dipotong berbagai ongkos petani
menerima f4 per pikul atau 5 sen per kg. Kedua adalah tersedianya tenaga kerja
yang banyak yang bisa dikerahkan untuk pekerjaan itu. Ketiga adalah tradisi
dagang yang telah lama tertanam di Minangkabau yang menyebabkan orang terdorong
untuk mencari uang.
Kalau di Jawa produksi
kopi terus meningkat selama abad ke 19 dan bagian pertama abad ke 20, keadaan
di Minangkabau justru menurun sejak 1886. Minahasa keadaannya berfluktuasi
dengan beberapa puncak pada 1865 (sekitar 35.000 pikul) dan 1889 (sekitar
37.500 pikul), kemudian sejak 1879 (35.000 pikul), dan sejak itu menurun dalam
bentuk fluktuasi hingga pernah mencapai titik terendah pada tahun 1890 (100
pikul), dan saat penghapusan (1899) hanya mencapai sekitar 6000 pikul.
D.
Perkebunan dan
Pertambangan
a)
Perkebunan
1)
Perkebunan
Swasta di Jawa
Perkebunan
swasta telah dimulai sejak tahun 1816 di daerah kesultanan (vorstenlanden) yang kemudian tidak
dikenalkan culturstelsel itu. Para entrepeneur Barat maupun Cina menyewa
tanah-tanah dari kaum bangsawan dan mengusahakan perkebunan kopi, gula,
tembakau, indigo, dan lain-lain. Selain itu juga di tanah-tanah partikelir di
sepanjang pantai utara Jawa (dibeli oleh orang Cina sejak masa VOC).
Selama periode
antara 1870 hingga 1942 perkembangan modal swasta dalam sektor perkebunan
mendominasi perekonomian Indonesia. Beberapa komoditi yang penting di Jawa
adalah gula, kopi, tembakau, teh, karet, kina, dan kelapa. Di luar Jawa, karet,
kelapa, sawit, dan tembakau merupakan produk utama. Dalam periode ini gula
telah menggantikan kopi sebagai primadona di Jawa. Daerah-daerah utama
penghasil gula adalah pantai utara pulau Jawa yang memiliki sistem pengairan
sawah yang sangat baik, yaitu keresidenan antara Cirebon sampai Semarang,
kemudian daerah selatan Gunung Muria hingga Juwana. Kemudian daerah kesultanan
(vorstenlanden) termasuk produsen gula yang baik pula, menyusul
keresidenan-keresidenan Madiun, Kediri, dan Besuki di Jawa Timur. Selain di
wilayah Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan daerah-daerah Surabaya hingga
Jombang di pantai utara juga termasuk produsen utama gula.
Perkebunan tebu
merupakan tahapan pertama dari industri gula. Untuk menjadikannya gula yang
dapat diperjual belikan dan digunakan oleh konsumen diperlukan penggilingan
tebu (pabrik tebu). Seperti yang dikemukakan, pabrik-pabrik tebuu di Jawa
dikelola oleh swasta. Pada masa culturstelsel pihak swasta dapat mengajukan
permintaan izin pada pemerintah (zuikercontracten).
Tetapi setelah itu pabrik gula dapat diusahakan oleh swasta tanpa mengajukan
izin. Pemodal utama pada masa culturstelsel berasal dari dalam negeri yaitu,
dari para pensiunan pegawai, dari perusahaan-perusahaan ekspor-impor, ataupun
dalam penggilingannya.
2)
Perkebunan
Swasta di Luar Jawa
Perkembangan
modal swasta baru muncul secara kontinu sejak awal abad ke 20, kecuali di
Sumatera Timur (sudah sejak 1860-an). Selain itu tidak seluruh wilayah Luar
Jawa mengalami pertumbuhan. Ada wilayah-wilayah yang menunjukkan pertumbuhan
ekonomi, tetapi ada pula yang tertinggal sama sekali. Daerah-daerah yang
mengalami pertumbuhan ialah Sumatera Timur (tembakau, karet, kelapa sawit,
minyak, dan lain-lain), Palembang (karet), Riau (timah, minyak), Kalimantan Tenggara
(karet), Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan (kelapa). Wilayah-wilayah yang
tertinggal adalah Maluku, Lampung, Bengkulu, sebagian dari Sumatera, sebagian
dari Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Irian.
Indikasi
pertumbuhan ekonomi di Luar Jawa terutama berasal dari angka-angka ekspor dari
wilayah-wilayah yang mengalami pertumbuhan. Di antara wilayah-wilayah itu pulau
Sumatera menunjukkan tingginya variasi komoditi ekspor. Pulau ini sampai 1870
berada di luar kekuasaan Belanda sesuai dengan perjanjian dengan Inggri pada
1842 (Perjanjian London). Tetapi perkembangan modal swasta yang demikian pesat,
baik di Sumatera maupun di semenanjung menyebabkan Inggris dan Belanda terpaksa
mengubah kesepakatan itu pada 1870 (Traktat Sumatera). Sejak itu Inggris
diperkenankan memasuki semenanjung dan Belanda diperkenankan memasuki Sumatera.
Sumatera Timur
merupakan wilayan pertama yang mengalami pertumbuhan sejak Nienhuis membuka
perkebunan tembakau di sana pada 1864. Tembakau Deli menjadi terkenal di
pasaran Eropa sehingga berbagai pengusaha lainnya menyusul. Karena penduduk
lokal tidak bersedia bekerja di perkebunan maka pada mulanya diusahakan tenaga
kerja dari Cina. Tetapi kemudian tenaga kerja diperoleh dari Jawa.
Sejak 1872
jumlah perkebunan kopi terus meningkat (ekspansi) hingga krisis pada 1891.
Setelah itu jumlahnya terus menurun, dan menurun drastis sejak depresi ekonomi
dunia 1930. Sudah sejak krisis harga tembakau pada 1891 para pengusaha mencari
alternatif lain, maka muncullah perkebunan-perkebunan baru dengan komoditi baru
seperti kelapa sawit, kopi, teh, serat manila (abaka), dan karet. Kemudian
menyusul pula minyak.
b)
Pertambangan
Pertumbuhan di Luar
Jawa terutama juga disebabkan oleh berkembangnya pertambangan yang padat modal
itu. Tiga jenis pertambangan yang paling penting adalah timah, batu-bara, dan
minyak bumi.
Timah di Kepulauan
(Kep. Riau, Bangka, Belitung, dan Singkep) telah dikenal mulai ditambang oleh
orang-orang Cina dan Melayu sejak awal abad ke 18. Orang-orang Cina dari
semenanjung membantuk satuan-satuan kerja yang dinamakan kongsi masing-masing
dengan pemimpinnya untuk menambang dan memasarkan timah ke India dan Hongkong.
Kemudian oleh VOC tambangan ini, juga dijadikan monopoli dan perdagangkan di
Asia pula. Setelah Belanda secara sah menguasai wilayah ini berdasarkan
perjanjian London, maka pertamangan timah pun mulai mendapat perhatian. Dengan
modal swasta dibentuklah dua perusahaan untuk menggarap timah oleh Biliton Maatschappij.
Sejak tahun 1885 sistem
kongsi mengalami perubahan di pulau Belitung. Setiap anggota kongsi mendapat
upah sesuai jumlah timah yang telah ditentukan yang diserahkan pada perusahaan
(sistem kuantitas). Kelebihannya dibayar pula oleh perusahaan. Sistem kongsi
sama sekali dihilangkan ketika perusahaan mulai menggunakan teknologi canggih.
Sejak itu perusahaan memperkerjakan para pekerja Cina secara pribadi. Keadaan
di pulau Bangka berbda dengan di Belitung. Kalau di Belitung para pekerja
diupah setahun sekali, maka di Bangka mereka menerima upah setiap bulan.
Batu bara pertama
kalinya ditambang di Martadipura (Kalimantan) pada 1846 dan 1849 oleh dua
perusahaan milik pemerintah, de Hoop dan Oranje-Nassau. Hanya perusahaan kedua
yang dapat bertahan lama. Hasilnya dibeli oleh Angkatan Laut Belanda. tetapi
perusahaan kedua itu pun akhirnya gulung tikar karena musibah kebakaran 1884. Perusahaan
pertambangan batubara yang ternyata berhasil adalah di Umbilin (Sumatera) yang
dibuka pada 1868. Keberhasilan itu menarik para investor untuk membuka
perusahaan pertambangan di Labuan (Kalimantan) sejak 1889. Selain itu telah
dibuka juga perusahaan di Sadong (1873) dan Muara (1882). Tenaga kerja di
Kalimantan terutama adalah orang Cina. Persaingan dengan perusahaan-perusahaan
Inggris di Serawak cukup kuat, tetapi perusahaan-perusahaan tersebut dapat
bertahan.
E.
Pajak dan
Pertumbuhan Ekonomi Bumiputera
Sebagai akibat dari
penarikan pajak tanah dalam uang, maka hasil rakyat Jawa yang terutama yaitu
beras, berangsur-angsur masuk dalam lalu lintas secara kontrak. Berhubungn
dengan diubahnya penyerahan wajib beras menjadi pajak tanah, maka timbullah dua
hal baru dari peredaran uang, yaitu penjualan barang-barang hasil garapan tanah
ke pasar dan pajak dalam bentuk uang. Dengan demikian penduduk terpaksa
mengadakan suatu langkah pertama yang besar menuju “rumah tangga uang”. Rupanya
pajak tanah dengan cepat menyebabkan diperbesarnya produksi, karena penduduk
memperluas penanaman palawija yang pendapatannya dipergunakan untuk membayar
pajak.
Dalam suatu lalu lintas
pertukaran yang sudah maju, maka tiap-tiap orang akan memperhatikan nilai tukar
yang objektif, yang dinyatakan dengan harga-harga pasar. Seorang produsen
penjual memperhitungkan kemungkinan bahwa nilai tukar semacam itu lebih besar
dari pada nilai pakainya. Sedangkan seorang konsumen pembeli berusaha supaya
memperoleh kelebihan nilai pakai di atas nilai tukar objektif yang lebih kecil.
Tetapi rakyat desa tidak biasa menjual hasil buminya, selain memikirkan nilai
pakai tidak pula lazim memperhitungkan nilai tukar, bahkan mengetahui pun tentang
adanya nilai-nilai barang tersebut belum tentu. Karena pendidikannya lebih
ditekankan kepada nilai-nilai susila daripada nilai-nilai ekonomi. Itulah
sebabnya, maka mereka mempunyai kecenderungan memberi nilai terlalu rendah pada
barang-barang yang mereka jual dan terlalu tinggi kepada yang mereka beli.
Perdagangan tukar menukar mula-mula banyak, sehingga bahaya orang desa
dirugikan mengancam dari dua pihak.
Kedudukan rakyat petani
yang tidak memuaskan dalam lalu lintas pertukaran ini hanya bisa diperbaiki
dengan memperbanyak persaingan dan dengan menambah pengalaman komersil rakyat
dalam penjualan hasil buminya. Hubungan baru antara produsen Indonesia dengan
pembeli asung penuh dengan kecurangan dari kedua belah pihak. Hal ini seperti
ternyata di atas mengenai pembelian kopi, gula, dan nila, dan terjadi pula
dalam perdagangan beras. Orang-orang asing berusaha mengambil keuntungan dari
ketidak adanya pengalaman petani dan seringkali mereka berusaha untuk
memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur.
SUMBER:
R.Z. Leirissa, G.A.
Ohorella, Yuda B. Tangkilisan. 2012. Sejarah
Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Prajudi Atmosudirdjo. 1984. Sejarah Ekonomi Indonesia: Dari Segi Sosiologis. D.H. Burger
(Terjemahan). Jakarta: PT Pradnya Paramita.
0 komentar:
Posting Komentar