Senin, 03 Juli 2017

Perkembangan Masyarakat Minangkabau Sejak Era Pra Aksara Hingga Periode Hindu-Budha

A.  Pra Sejarah Minangkabau
1.    Zaman Batu Tua (Paleoliticum)
     Pada 300.000 tahun yang lalu Sumatera masih kosong.
2.    Zaman Batu Tengah (Mesoliticum)
Pada 5000 – 100.000 tahun yang lalu ada bukit-bukit kerang di pantai pulau Sumatera, pertanda sudah ada penghuni (penduduk). Pusat kebudayaannya di Torikui (Madelaini Colani, ahli sejarah Prancis).
3.    Zaman Batu Baru (Neoliticum)
Campuran manusia masa ini dengan rasa melayu, sisanya orang kubu, orang sakai, talang mamak, dan orang rupit. Di utara Minangkabau pada masa dahulunya pernah berdiam suatu kaum pengelana di hutan, dikaitkan dengan kalimat dalam tambo, “urang nan bajawikan ruso, baatokan sikai, badindiangkan baniak kayu”.
Gelombang kedatangan pertama yang memasuki wilayah Minangkabau sekarang adalah 2500 sebelum Masehi. Gelombang kedua sekitar 500 sebelum masehi, mereka berlayar dengan perahu bercadik masuk melalui kuala sungai di pantai timur Sumatera Tengah. Gelombang ketiga adalah pasca kekuasaan Iskandar Zulkarnain tahun 356 – 323 sebelum masehi. Anak raja Philip ini ingin menguasai India, Mesir, dan Babilonia.
Salah seorang pegawai Iskandar Zulkarnain telah melihat kapal orang Sumatera berlalu lintas di antara Sumatera dan bandar perdagangan di India. Catatan lain mengungkapkan bahwa seorang utusan yang diterima menghadap Claudius pada pertengahan abad pertama masehi adalah orang Minangkabau. Kalau hal ini dikaitkan dengan Tambo, maka jelaslah yang datang ke Pariangan yaitu Maharajo Dirgo, Indojati, Cati, Anjiang Mualim, Kambing Hutan, merupakan kiasan terhadap unsur penguasa, pedagang dan masyarakat. Kedatangan itu bertahap sejak 323 sebelum masehi sampai berdirinya kerajaan Sriwijaya.
Bukti-bukti zaman prasejarah adalah kaba-kaba yang secara tersirat menggambarkan kekuasaan Minangkabau (Swarnabhumi) pada masa lampau. Secara fisik dijumpainya menhir diluhak Limopuluah Koto sebagai indikasi daerah Minangkabau dulunya yang pernah di pengaruhi oleh kebudayaan yang datang dari Indocina. Seperti Kerajaan Funan, misalnya, yang sangat memungkinkan mempengaruhi kebudayaan suku Minangkabau.

B.  Minangkabau Pada Periode Hindu-Buddha
       Digolongkan kepada masa setelah adanya tulisan pada benda-benda peninggalan sejarah seperti patung, candi, dan sebagainya. Akhir zaman pra sejarah adalah dimulainya zaman tulisan. Menurut catatan sejarah (Abdul Kiram dan Yeyen Kiram: Raja-Raja Minangkabau Dalam Lintasan Sejarah. 2003) menyatakan bahwa rombongan panglima Iskandar Zulkarnain yang datang ke Minangkabau itu adalah rombongan Antagonos, rombongan ini bertemu dengan rombongan dari Mongolia yang telah datang lebih awal di kawasan tersebut (diduga suku-suku Jambak, Pitopang, Melayu, dan Bendang). Rombongan Antagonos ini masuk melalui selat Malaka terus ke Kampar Sungai Siak, yang ke Sungai Kampar bertahan di hulunya (kemudian disebut pintu rajo India) dan melanjutkan ke Batang Mahek (Mahat, diambil dari nama negeri yang mereka tinggalkan di India Selatan).
       Sebahagian rombongan menduduki batang Indragiri hilir sampai ke Baserah (nama negeri di Irak), maka diyakini rombongan inilah yang membawa peninggalan neolitik yang banyak dijumpai di kabupaten Limapuluh Kota. Zaman sejarah di Minangkabau sudah dimulai sebelum tahun 400 masehi, hal itu dibuktikan dengan beberapa situs-situs seperti yang terdapat di daerah Guguk, Balubuih, Koto Tinggi di Mahek. Pengaruh India, Cina, dan Parsi ikut mempengaruhi kedatangan nenek moyang orang Minangkabau.
       Pada zaman sejarah dalam era 400 – 683 diperkirakan munculnya kedatukan Pariangan yang dipimpin oleh Dt. Sori Dirajo sebagai penggagas. Dilanjutkan dengan Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Marajo Basa (Pariangan Padang Panjang).
       Antara awal abad ke 6 tahun 500 M dan abad 14, terdapat fase-fase perkembangan agama, yaitu:
  1. Agama Budha (Hinayana) 500 - 600 M
  2. Agama Islam (Suriah) 670 - 730 M
  3. Agama Budha (Mahayana) 780 - 1000 M
  4. Agama Islam Syiah 1150 - 1350 M
       Itsing, seorang pendeta Budha dari Cina yang menulis dalam buku berita perjalanannya ke India tahun 674 M, singgah di Minangkabau bahagian timur, dan menceritakan tentang hari yang sama panjanganya antara siang dan malam, serta tanahnya yang subur, lalu masyarakatnya yang telah beradat.
       Islam Suriah pada abad ke 7 dan 8 masuk ke daerah bandar Sriwijaya Muaro Sabak/Jambi dan mengislamkan Maharaja Indrawarman. Dua kekuatan dagang yang berpengaruh saat itu adalah Khalifah Umayya di Arab dan Dinasti Tang di Cina. Dinasti Tang adalah penyebar agama Budha Mahayana, akibat kuatnya kekuasaan Dinasti Tang dan Sriwijaya, maka armada Islam yang dikembangkan Umayyah di Minangkabau timur lumpuh.
       Setelah Sriwijaya lumpuh, maka Islam Syiah bangkit kembali di daerah Kuntu, buktinya banyak kuburan-kuburan hilang dijumpai di Kuntu dan bertahun 1008 – 1350 M.             Di Minangkabau pada saat tahun 683-1008 M telah terjadi pengembangan Pariangan ke lima kaum dan ke sungai tarab, sudah terbentuk tiga sistem keselarasan yaitu lareh nan panjang (pimpinan Dt. Bandaro Kayo), lareh nan gadang (Koto piliang) pimpinan Dt. Bandaro Putiah di sungai tarab, dan lareh nan bunta disusun limo kaum pimpinan Dt. Bandaro Putiah.


C.  Kerajaan-Kerajaan di Minangkabau

1.      Kerajaan Melayu Minangkabau
            Kerajaan Melayu Minangkabau merupakan sebuah kerajaan yang berpusat pada beberapa tempat, salah satunya berpusat di Pagaruyung, Luhak Tanah Datar, Minangkabau. Istana Kerajaan berada di Nagari Pagaruyung, yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan raja-raja Melayu Minangkabau. Oleh beberapa penulis sejarah disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau.
            Kerajaan Melayu Minangkabau didirikan oleh Adityawarman dan mencapai puncaknya sekitar abad ke 14 dan 15, ketika Adityawarman masih berkuasa. Adityawarman merupakan putra dari Dara Jingga dari Tanah Melayu, cucu Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, yang dibesarkan di Majapahit. Faktor itu pula yang menyebabkan ketika Adityawarman memerintah, pengaruh Kerajaan Majapahit sangat jelas. Bahkan pada masa pemerintahan Adityawarman, organisasi pemerintahan kerajaan disusun menurut sistem organisasi yang berlaku di Majapahit. Begitu juga dengan sistem pemerintahan, tampaknya pola kerajaan Majapahit dipakai pula oleh Kerajaan Melayu Minangkabau. Pada dasarnya sistem pemerintahannya di wilayah kerajaan terdiri atas dua pola, di Majapahit terdiri dari wilayah bawahan, dengan pimpinan raja bawahan, umumnya anggota raja di pusat pemerintahan, dan wilayah mancanegara, yaitu daerah taklukan yang dipimpin oleh raja wilayah itu sendiri. Sedangkan pola di Minangkabau ialah wilayah rantau, yaitu kerajaan yang dipimpin oleh raja kecil sebagai wakil raja di Pagaruyung, dan wilayah Luhak, yang dipimpin oleh penghulu.
            Sepeninggal Adityawarman raja-raja Pagaruyung tetap di hormati rakyat sebagai tokoh yang menjaga keseimbangan dan keutuhan serta sebagai pemungut pajak (uang adat) yang menjadi ikatan politik. Raja mempunyai basis kekuasaan berupa pemungut paja di kawasan rantau seperti pajak pelabuhan, pajak perdagangan, dan berbagai bentuk uang adat. Demikian juga halnya ada pajak untuk mendirikan rumah, bangunan-bangunan balai adat, dan lain-lain.
            Raja Minangkabau, yang berkedudukan di Pagaruyung selalu menerima pajak atau upeti dari raja di rantau, seperti Siak, Indragiri, Air Bangis, Sungai Pagu, Batang Hari, bahkan dari Batak. Pemungutan pajak dirantau kadang kala juga diserahkan kepada raja atau utusannya yang datang ke rantau untuk menjemput uang adat yang terkumpul.
  1. Kerajaan Dharmasraya
            Kerajaan Melayu yang pernah berpusat di sekitar Jambi, di hulu sungai Batanghari dikenal sebagai Dharmasraya. Kerajaan Dharmasraya adalah kerajaan Melayu Tua beragama Hindu, yang terletak di Minangkabau Timur. Kerajaan ini pernah disinggahi oleh I-Tsing pada abad ke 7 selama dua bulan dalam perjalanannya dari Cina ke India via Palembang. Kerajaan Melayu Tua berpusat di Sungai Langsat, Siguntur di daerah Pulau Punjung (sekarang bagian dari Propinsi Sumatera Barat).
            Dharmasraya disebut juga Malayapura atau Melayu, yang berpusat di Siguntur, daerah pinggir Sungai Batanghari. Kerajaan Dharmasraya merupakan babakan sejarah baru bagian Tengah Pulau Sumatera, sebab kerajaan ini merupakan cikal bakal perkembangan kerajaan yang berpusat di Pagaruyung pada akhir abad ke 13.




SUMBER:

  • Dr. Alis Marajo. Dkk. Sejarah dan Tambo Minangkabau. PDF
  • Jurnal Dr. Mhd. Nur, M.S. Raja Pagaruyung di Minangkabau dalam Perspektif Sejarah. Analisis Sejarah, Volume 5, No. I, 2014. Labor Sejarah, Universitas Andalas. 

0 komentar:

Posting Komentar