A. Pra Sejarah Minangkabau
1.
Zaman Batu Tua
(Paleoliticum)
Pada 300.000 tahun yang lalu Sumatera
masih kosong.
2.
Zaman Batu
Tengah (Mesoliticum)
Pada 5000 – 100.000 tahun yang lalu ada
bukit-bukit kerang di pantai pulau Sumatera, pertanda sudah ada penghuni
(penduduk). Pusat kebudayaannya di Torikui (Madelaini Colani, ahli sejarah
Prancis).
3.
Zaman Batu Baru
(Neoliticum)
Campuran
manusia masa ini dengan rasa melayu, sisanya orang kubu, orang sakai, talang
mamak, dan orang rupit. Di utara Minangkabau pada masa dahulunya pernah berdiam
suatu kaum pengelana di hutan, dikaitkan dengan kalimat dalam tambo, “urang nan bajawikan ruso, baatokan sikai,
badindiangkan baniak kayu”.
Gelombang kedatangan pertama yang memasuki wilayah
Minangkabau sekarang adalah 2500 sebelum Masehi. Gelombang kedua sekitar 500
sebelum masehi, mereka berlayar dengan perahu bercadik masuk melalui kuala
sungai di pantai timur Sumatera Tengah. Gelombang ketiga adalah pasca kekuasaan
Iskandar Zulkarnain tahun 356 – 323 sebelum masehi. Anak raja Philip ini ingin
menguasai India, Mesir, dan Babilonia.
Salah seorang pegawai Iskandar Zulkarnain telah
melihat kapal orang Sumatera berlalu lintas di antara Sumatera dan bandar
perdagangan di India. Catatan lain mengungkapkan bahwa seorang utusan yang
diterima menghadap Claudius pada pertengahan abad pertama masehi adalah orang
Minangkabau. Kalau hal ini dikaitkan dengan Tambo, maka jelaslah yang datang ke
Pariangan yaitu Maharajo Dirgo, Indojati, Cati, Anjiang Mualim, Kambing Hutan,
merupakan kiasan terhadap unsur penguasa, pedagang dan masyarakat. Kedatangan
itu bertahap sejak 323 sebelum masehi sampai berdirinya kerajaan Sriwijaya.
Bukti-bukti zaman prasejarah adalah kaba-kaba yang
secara tersirat menggambarkan kekuasaan Minangkabau (Swarnabhumi) pada masa
lampau. Secara fisik dijumpainya menhir diluhak Limopuluah Koto sebagai
indikasi daerah Minangkabau dulunya yang pernah di pengaruhi oleh kebudayaan
yang datang dari Indocina. Seperti Kerajaan Funan, misalnya, yang sangat
memungkinkan mempengaruhi kebudayaan suku Minangkabau.
B. Minangkabau Pada Periode Hindu-Buddha
Digolongkan kepada masa setelah adanya
tulisan pada benda-benda peninggalan sejarah seperti patung, candi, dan
sebagainya. Akhir zaman pra sejarah adalah dimulainya zaman tulisan. Menurut
catatan sejarah (Abdul Kiram dan Yeyen Kiram: Raja-Raja Minangkabau Dalam
Lintasan Sejarah. 2003) menyatakan bahwa rombongan panglima Iskandar Zulkarnain
yang datang ke Minangkabau itu adalah rombongan Antagonos, rombongan ini
bertemu dengan rombongan dari Mongolia yang telah datang lebih awal di kawasan
tersebut (diduga suku-suku Jambak, Pitopang, Melayu, dan Bendang). Rombongan
Antagonos ini masuk melalui selat Malaka terus ke Kampar Sungai Siak, yang ke
Sungai Kampar bertahan di hulunya (kemudian disebut pintu rajo India) dan
melanjutkan ke Batang Mahek (Mahat, diambil dari nama negeri yang mereka
tinggalkan di India Selatan).
Sebahagian rombongan menduduki batang
Indragiri hilir sampai ke Baserah (nama negeri di Irak), maka diyakini
rombongan inilah yang membawa peninggalan neolitik yang banyak dijumpai di
kabupaten Limapuluh Kota. Zaman sejarah di Minangkabau sudah dimulai sebelum
tahun 400 masehi, hal itu dibuktikan dengan beberapa situs-situs seperti yang
terdapat di daerah Guguk, Balubuih, Koto Tinggi di Mahek. Pengaruh India, Cina,
dan Parsi ikut mempengaruhi kedatangan nenek moyang orang Minangkabau.
Pada zaman sejarah dalam era 400 – 683
diperkirakan munculnya kedatukan Pariangan yang dipimpin oleh Dt. Sori Dirajo
sebagai penggagas. Dilanjutkan dengan Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Marajo Basa
(Pariangan Padang Panjang).
Antara awal abad ke 6 tahun 500 M dan
abad 14, terdapat fase-fase perkembangan agama, yaitu:
- Agama
Budha (Hinayana) 500 - 600 M
- Agama
Islam (Suriah) 670 - 730 M
- Agama
Budha (Mahayana) 780 - 1000 M
- Agama
Islam Syiah 1150 - 1350 M
Itsing, seorang pendeta Budha dari Cina yang menulis dalam
buku berita perjalanannya ke India tahun 674 M, singgah di Minangkabau bahagian
timur, dan menceritakan tentang hari yang sama panjanganya antara siang dan
malam, serta tanahnya yang subur, lalu masyarakatnya yang telah beradat.
Islam Suriah pada abad ke 7 dan 8 masuk ke daerah bandar
Sriwijaya Muaro Sabak/Jambi dan mengislamkan Maharaja Indrawarman. Dua kekuatan
dagang yang berpengaruh saat itu adalah Khalifah Umayya di Arab dan Dinasti
Tang di Cina. Dinasti Tang adalah penyebar agama Budha Mahayana, akibat kuatnya
kekuasaan Dinasti Tang dan Sriwijaya, maka armada Islam yang dikembangkan
Umayyah di Minangkabau timur lumpuh.
Setelah Sriwijaya lumpuh, maka Islam Syiah bangkit kembali di
daerah Kuntu, buktinya banyak kuburan-kuburan hilang dijumpai di Kuntu dan
bertahun 1008 – 1350 M. Di
Minangkabau pada saat tahun 683-1008 M telah terjadi pengembangan Pariangan ke
lima kaum dan ke sungai tarab, sudah terbentuk tiga sistem keselarasan yaitu
lareh nan panjang (pimpinan Dt. Bandaro Kayo), lareh nan gadang (Koto piliang)
pimpinan Dt. Bandaro Putiah di sungai tarab, dan lareh nan bunta disusun limo
kaum pimpinan Dt. Bandaro Putiah.
C. Kerajaan-Kerajaan di Minangkabau
1.
Kerajaan Melayu
Minangkabau
Kerajaan Melayu Minangkabau merupakan sebuah kerajaan
yang berpusat pada beberapa tempat, salah satunya berpusat di Pagaruyung, Luhak
Tanah Datar, Minangkabau. Istana Kerajaan berada di Nagari Pagaruyung, yang
berfungsi sebagai pusat pemerintahan raja-raja Melayu Minangkabau. Oleh
beberapa penulis sejarah disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau.
Kerajaan Melayu Minangkabau didirikan oleh Adityawarman
dan mencapai puncaknya sekitar abad ke 14 dan 15, ketika Adityawarman masih
berkuasa. Adityawarman merupakan putra dari Dara Jingga dari Tanah Melayu, cucu
Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, yang dibesarkan di Majapahit. Faktor itu pula
yang menyebabkan ketika Adityawarman memerintah, pengaruh Kerajaan Majapahit
sangat jelas. Bahkan pada masa pemerintahan Adityawarman, organisasi
pemerintahan kerajaan disusun menurut sistem organisasi yang berlaku di
Majapahit. Begitu juga dengan sistem pemerintahan, tampaknya pola kerajaan
Majapahit dipakai pula oleh Kerajaan Melayu Minangkabau. Pada dasarnya sistem
pemerintahannya di wilayah kerajaan terdiri atas dua pola, di Majapahit terdiri
dari wilayah bawahan, dengan pimpinan
raja bawahan, umumnya anggota raja di pusat pemerintahan, dan wilayah mancanegara, yaitu daerah
taklukan yang dipimpin oleh raja wilayah itu sendiri. Sedangkan pola di
Minangkabau ialah wilayah rantau,
yaitu kerajaan yang dipimpin oleh raja kecil sebagai wakil raja di Pagaruyung,
dan wilayah Luhak, yang dipimpin oleh penghulu.
Sepeninggal Adityawarman raja-raja Pagaruyung tetap di
hormati rakyat sebagai tokoh yang menjaga keseimbangan dan keutuhan serta
sebagai pemungut pajak (uang adat) yang menjadi ikatan politik. Raja mempunyai
basis kekuasaan berupa pemungut paja di kawasan rantau seperti pajak pelabuhan,
pajak perdagangan, dan berbagai bentuk uang adat. Demikian juga halnya ada
pajak untuk mendirikan rumah, bangunan-bangunan balai adat, dan lain-lain.
Raja
Minangkabau, yang berkedudukan di Pagaruyung selalu menerima pajak atau upeti
dari raja di rantau, seperti Siak, Indragiri, Air Bangis, Sungai Pagu, Batang
Hari, bahkan dari Batak. Pemungutan pajak dirantau kadang kala juga diserahkan
kepada raja atau utusannya yang datang ke rantau untuk menjemput uang adat yang
terkumpul.
- Kerajaan
Dharmasraya
Kerajaan Melayu yang pernah berpusat di sekitar Jambi, di
hulu sungai Batanghari dikenal sebagai Dharmasraya. Kerajaan Dharmasraya adalah
kerajaan Melayu Tua beragama Hindu, yang terletak di Minangkabau Timur.
Kerajaan ini pernah disinggahi oleh I-Tsing pada abad ke 7 selama dua bulan
dalam perjalanannya dari Cina ke India via Palembang. Kerajaan Melayu Tua
berpusat di Sungai Langsat, Siguntur di daerah Pulau Punjung (sekarang bagian
dari Propinsi Sumatera Barat).
Dharmasraya disebut juga Malayapura atau Melayu, yang
berpusat di Siguntur, daerah pinggir Sungai Batanghari. Kerajaan Dharmasraya
merupakan babakan sejarah baru bagian Tengah Pulau Sumatera, sebab kerajaan ini
merupakan cikal bakal perkembangan kerajaan yang berpusat di Pagaruyung pada
akhir abad ke 13.
SUMBER:
- Dr. Alis
Marajo. Dkk. Sejarah dan Tambo
Minangkabau. PDF
- Jurnal Dr.
Mhd. Nur, M.S. Raja Pagaruyung di
Minangkabau dalam Perspektif Sejarah. Analisis Sejarah, Volume 5, No.
I, 2014. Labor Sejarah, Universitas Andalas.
0 komentar:
Posting Komentar