A.
Lahirnya
RR. 1854
Menurut Konstitusi 1815 (Belanda)
pengawasan terhadap daerah jajahan berada sepenuhnya ditangan raja tanpa campur
tangan parlemen, begitu juga halnya ketika konstitusi direvisi pada tahun 1840
m. Pengetahuan Menteri Jajahan pun mengenai daerah jajahan sangat terbatas,
kecuali van den Bosch tentunya, karena laporan mengenai daerah jajahan disensor
Gouvernour.Generaal, sedangkan kebebasan pers serta perjalanan individu
dibatasi.
Yang mereka ketahui dan dipandang
sudah seharusnya adalah bahwa negeri jajahan harus memberikan hasil lebih (Sartono
IV, hal. 91–97) untuk negeri induk. Antara tahun 1831–1877 keuntungan yang
didapat dari cultuur stelsel berjumlah ± FL 813 juta dan antara tahun 1840–1874
berjumlah FL 781 juta. Uang yang masuk ke kas Belanda itu digunakan untuk
melunasi hutang, mengurangi pajak rakyat Belanda, membangun bendungan, kanal,
kereta api, dan Amsterdam kembali menjadi pusat perdagangan hasil daerah
tropis.
Dilihat dari segi keberhasilan
cultuur stelsel, maka dari hasil yang didapat antara tahun 1840–1874 itu 4/5
nya berasal dari kopi. Gula menghasilkan $115 juta dan sisanya dari tanaman
lain. Keuntungan dari kopi karena kenaikan harga di Eropah (hal diatas
memperlihatkan bahwa sebagai suatu sistem tanam paksa sebenarnya tidak
berhasil).
Sistem tanam paksa yang walaupun
hanya meliputi 1/18 dari luas tanah yang diolah di Jawa, telah mendatangkan
kemelaratan dan penderitaan di daerah yang terkena. Penderitaan dilihat dari
ditinggalkannya desa–desa mereka oleh penduduk ataupun oleh bahaya kelaparan
yang menimpa penduduk desa–desa. Penderitaan tersebut tidak diketahui di
Belanda karena tidak adanya laporan–laporan seperti tersebut diatas.
Karena pengetahuan anggota
parlemen terbatas hanya pada informasi mengenai pendapatan dan pengeluaran
daerah jajahan, tanpa penjelasan/menyinggung masalah politik kolonial
menyebabkan tidak terbentuknya kelompok oposisi terhadap politik tersebut,
disamping itu memang parlemen tidak mempunyai wewenang. Barulah setelah
konstitusi direvisi pada tahun 1848 m, sebagai salah satu akibat dari revolusi
Februari 1848, parlemen menjadi lebih kuat kedudukannya. Hal itu sejalan pula
dengan pertumbuhan ekonomi yang makin meningkat serta semakin besarnya pengaruh
golongan liberal.
Masa antara 1850–1870 merupakan
periode masa permulaan pertumbuhan industri Belanda. Pabrik-pabrik bertumbuhan
dalam berbagai cabang industry, bank–bank didirikan dan pelayaran maju pesat
sehingga seperti dikatakan dimuka, Amsterdam kembali memegang peranan penting
dibidang perdagangan seperti masa dulu; perdagangan internasional, perdagangan
transisto.
Kemajuan ekonomi Belanda ditambah
dengan kecenderungan makin kuatnya pengaruh paham liberal yang menganut politik
ekonomi yang bertentangan dengan kaum konservatif, menyebabkan masa 1850–1870
dapat disebut sebagai masa perebutan pengaruh antara dua golongan tersebut.
Pertarungan dan kemenangan salah satu golongan mempengaruhi politik ekonomi
Belanda di Belanda sendiri dan di daerah jajahan. Kaum liberal menganut prinsip
tidak ada campur tangan pemerintah dalam ekonomi. tugas negara adalah untuk
memelihara ketertiban umum, menegakkan hukum agar kehidupan ekonomi dapat
berjalan lancar. Karena itu apa yang dilakukan pemerintah Belanda selama ini di
negeri jajahan harus diganti. Disamping itu, pemerintah harus melindungi
kepentingan rakyat agar jangan diekploitasi oleh penguasa. Periode pertarungan
tersebut yang kemudian dimenangkan oleh kelompok liberal untuk daerah jajahan
masa transisi atau masa permulaan ke periode liberal.
Lahirnya konstitusi 1848
merupakan langkah permulaan bagi golongan liberal untuk turut campur dalam
politik kolonial. Dalam undang–undang 1848, artikel 59 dan 60, dinyatakan bahwa
pemerintah jajahan harus diatur berdasarkan undang–undang dan raja harus
memberikan laporan tahunan mengenai daerah kolonial. Hal itu melahirkan
undang–undang untuk daerah jajahan pada tahun 1854 (RR 1854), berlaku mulai
tahun 1856. Dalam RR 1854 itu terdapat perubahan–perubahan penting, antara
lain: menghidupkan kembali fungsi Dewan Hindia, yang sebelumnya pada tahun 1836
m telah dikebiri menjadi hanya sebagai dewan penasehat raja oleh van den Bosch.
Lebih jauh dalam RR 1854 itu
dinyatakan antara lain mengenai kebebasan pers yang lebih luas, penghapusan perbudakan,
pendidikan bagi rakyat/penduduk pribumi, penyewaan tanah yang tidak dipakai
penduduk kepada pengusaha Eropah, aturan yang wajar mengenai kerja rodi dan
pajak tanah.
Selanjutnya terdapat pasal–pasal
yang dapat disebut sebagai dasar reformasi bagi tanam paksa. Dinyatakan dalam
artikel 56 bahwa dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, GG harus memperhatikan
antara lain: tanaman produksi tidak mengganggu tanaman penduduk, pemakaian
tanah dan tenaga kerja diatur secara adil dengan menghormati hak yang ada serta
adat kebiasaan yang berlaku, pembayaran yang wajar, penghapusan tanam paksa
bila sangat menekan penduduk dan kemudian sebuah aturan akan disiapkan,
berdasarkan persetujuan sukarela dengan individu dan masyarakat bersangkutan,
sebagai transisi ke kondisi dimana intervensi/turut campur pemerintah makin
dikurangi.
B.
Hapusnya Tanam Paksa
Berhasilnya
landasan pembaharuan sistem tanam paksa dimasukkan dalam RR 1854 sesuai dengan
keadaan keanggotaan dalam parlemen yaitu makin banyaknya orang–orang liberal
menjadi anggota. Diantaranya Baron van Hoevell, mantan presiden Batavia Society
of Arts and Sciences serta pendiri SK Tijdschrifs Van Nederlendach Indie,
menjadi anggota tahun 1849–1862. Dia mulai membentuk opini parlemen dan
menuntut keterbukaan dan kejujuran pemerintah mengenai hal–hal yang berkaitan
dengan daerah jajahan.
Namun,
karena dominasi kelompok konservatif dibidang pemerintahan usaha informasi
berjalan lamban. Walau bagaimanapun, golongan liberal, golongan konservatif,
dan lain–lain sependapat bahwa daerah jajahan harus menyumbang/menguntungkan
negeri induk terhadap daerah jajahan.
Cuma
dalam hal tertentu seperti pemakaian tenaga kerja dan perbudakan, golongan
liberal tidak mau berkompromi dengan golongan konservatif. Kaum liberal
menuntut agar tenaga kerja jajahan diberlakukan sama dengan tenaga kerja di
Belanda, karenanya perbudakan dilarang mulai Januari tahun 1860.
Pandangan
rakyat Belanda baru tergugah mengenai apa yang terjadi di Indonesia (Jawa)
setelah terbit buku yang berjudul “Max Havelear” oleh Multatuli nama samaran E.
Douwes Dekker, bekas asisten residen Lebak. Dilengkapi oleh tulisan–tulisan
Isaac Fransen Van der Putte (menjadi menteri koloni 1863–1866) dan penganjur
utama untuk menghapus sistem tanam paksa, kecuali gula dan kopi, mengakhiri
monopoli oleh pemerintah dan memajukan perdagangan bebas), yang satu
diantaranya berjudul The Regulation of Sugar Contracts in Java, maka tanam
paksa menjadi topic hangat di Belanda. Mulailah langkah–langkah ke arah usaha
bebas/usaha swasta menjadi nyata.
Mengenai
sistem tanam paksa, antara tahun 1860–1870 dihapuslah tanam paksa untuk
tumbuhan teh, tembakau, indigo, lada, dan kayu manis, karena ternyata tidak
menguntungkan malah merugikan pemerintah. Penduduk disiapkan untuk bekerja
bebas dengan menghapus larangan bergerak bebas, hak kontrak kerja dengan
penduduk suatu desa dihapus, cultuur
prosenten ditiadakan juga kerja paksa di hutan–hutan jati.
Dalam
pada itu kemenangan terpenting bagi golongan liberal adalah Undang–undang Audit
tahun 1864 (UU. Comptabilitet) dan berlaku mulai tahun 1867, dimana dinyatakan
bahwa budget daerah jajahan berada dibawah control parlemen (baca Sartono V,
hal. 18–20).
Puncak
kemenangan golongan liberal adalah dengan dikeluarkannya dua Undang–undang pada
tahun 1870: (1) Undang–undang gula, dan (2) Undang–undang Agraria. Yang
pertama mengenai hapusnya Tanam Paksa gula, secara bertahap sehingga
satu–satunya jenis tanaman yang masih dipaksakan adalah kopi yang berlangsung
sampai 1 Januari 1917. Undang–undang lainnya adalah mengenai pertanahan yang
disebut undang–undang Agraria. Walaupun banyak hal yang tidak jelas, namun
dengan keluarnya undang–undang ini, jelas mengenai mana hak milik pribumi dan
negara serta aturan untuk pengusaha swasta/tata cara pemilikan/penyewa
tanah–tanah untuk berusaha di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Sartono Kartodirdjo .1987.Pengantar Sejarah
Indonesia Baru 1500-1900 “ Dari Emporium sampai Imperium” jakarta:Ombak
Poesponegoro, Marwati Djoenoed. Sejarah
Nasional Indonesiavi ke-VI. Balai Pustaka. Jakarta. 1993
0 komentar:
Posting Komentar