Rabu, 05 Juli 2017

KEUNTUNGAN TANAM PAKSA DAN AWAL DAERAH PEMBAHARUAN

A.    Lahirnya RR. 1854
            Menurut Konstitusi 1815 (Belanda) pengawasan terhadap daerah jajahan berada sepenuhnya ditangan raja tanpa campur tangan parlemen, begitu juga halnya ketika konstitusi direvisi pada tahun 1840 m. Pengetahuan Menteri Jajahan pun mengenai daerah jajahan sangat terbatas, kecuali van den Bosch tentunya, karena laporan mengenai daerah jajahan disensor Gouvernour.Generaal, sedangkan kebebasan pers serta perjalanan individu dibatasi.
            Yang mereka ketahui dan dipandang sudah seharusnya adalah bahwa negeri jajahan harus memberikan hasil lebih (Sartono IV, hal. 91–97) untuk negeri induk. Antara tahun 1831–1877 keuntungan yang didapat dari cultuur stelsel berjumlah ± FL 813 juta dan antara tahun 1840–1874 berjumlah FL 781 juta. Uang yang masuk ke kas Belanda itu digunakan untuk melunasi hutang, mengurangi pajak rakyat Belanda, membangun bendungan, kanal, kereta api, dan Amsterdam kembali menjadi pusat perdagangan hasil daerah tropis.
            Dilihat dari segi keberhasilan cultuur stelsel, maka dari hasil yang didapat antara tahun 1840–1874 itu 4/5 nya berasal dari kopi. Gula menghasilkan $115 juta dan sisanya dari tanaman lain. Keuntungan dari kopi karena kenaikan harga di Eropah (hal diatas memperlihatkan bahwa sebagai suatu sistem tanam paksa sebenarnya tidak berhasil).
            Sistem tanam paksa yang walaupun hanya meliputi 1/18 dari luas tanah yang diolah di Jawa, telah mendatangkan kemelaratan dan penderitaan di daerah yang terkena. Penderitaan dilihat dari ditinggalkannya desa–desa mereka oleh penduduk ataupun oleh bahaya kelaparan yang menimpa penduduk desa–desa. Penderitaan tersebut tidak diketahui di Belanda karena tidak adanya laporan–laporan seperti tersebut diatas.
            Karena pengetahuan anggota parlemen terbatas hanya pada informasi mengenai pendapatan dan pengeluaran daerah jajahan, tanpa penjelasan/menyinggung masalah politik kolonial menyebabkan tidak terbentuknya kelompok oposisi terhadap politik tersebut, disamping itu memang parlemen tidak mempunyai wewenang. Barulah setelah konstitusi direvisi pada tahun 1848 m, sebagai salah satu akibat dari revolusi Februari 1848, parlemen menjadi lebih kuat kedudukannya. Hal itu sejalan pula dengan pertumbuhan ekonomi yang makin meningkat serta semakin besarnya pengaruh golongan liberal.
            Masa antara 1850–1870 merupakan periode masa permulaan pertumbuhan industri Belanda. Pabrik-pabrik bertumbuhan dalam berbagai cabang industry, bank–bank didirikan dan pelayaran maju pesat sehingga seperti dikatakan dimuka, Amsterdam kembali memegang peranan penting dibidang perdagangan seperti masa dulu; perdagangan internasional, perdagangan transisto.
            Kemajuan ekonomi Belanda ditambah dengan kecenderungan makin kuatnya pengaruh paham liberal yang menganut politik ekonomi yang bertentangan dengan kaum konservatif, menyebabkan masa 1850–1870 dapat disebut sebagai masa perebutan pengaruh antara dua golongan tersebut. Pertarungan dan kemenangan salah satu golongan mempengaruhi politik ekonomi Belanda di Belanda sendiri dan di daerah jajahan. Kaum liberal menganut prinsip tidak ada campur tangan pemerintah dalam ekonomi. tugas negara adalah untuk memelihara ketertiban umum, menegakkan hukum agar kehidupan ekonomi dapat berjalan lancar. Karena itu apa yang dilakukan pemerintah Belanda selama ini di negeri jajahan harus diganti. Disamping itu, pemerintah harus melindungi kepentingan rakyat agar jangan diekploitasi oleh penguasa. Periode pertarungan tersebut yang kemudian dimenangkan oleh kelompok liberal untuk daerah jajahan masa transisi atau masa permulaan ke periode liberal.
            Lahirnya konstitusi 1848 merupakan langkah permulaan bagi golongan liberal untuk turut campur dalam politik kolonial. Dalam undang–undang 1848, artikel 59 dan 60, dinyatakan bahwa pemerintah jajahan harus diatur berdasarkan undang–undang dan raja harus memberikan laporan tahunan mengenai daerah kolonial. Hal itu melahirkan undang–undang untuk daerah jajahan pada tahun 1854 (RR 1854), berlaku mulai tahun 1856. Dalam RR 1854 itu terdapat perubahan–perubahan penting, antara lain: menghidupkan kembali fungsi Dewan Hindia, yang sebelumnya pada tahun 1836 m telah dikebiri menjadi hanya sebagai dewan penasehat raja oleh van den Bosch.
            Lebih jauh dalam RR 1854 itu dinyatakan antara lain mengenai kebebasan pers yang lebih luas, penghapusan perbudakan, pendidikan bagi rakyat/penduduk pribumi, penyewaan tanah yang tidak dipakai penduduk kepada pengusaha Eropah, aturan yang wajar mengenai kerja rodi dan pajak tanah.
            Selanjutnya terdapat pasal–pasal yang dapat disebut sebagai dasar reformasi bagi tanam paksa. Dinyatakan dalam artikel 56 bahwa dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, GG harus memperhatikan antara lain: tanaman produksi tidak mengganggu tanaman penduduk, pemakaian tanah dan tenaga kerja diatur secara adil dengan menghormati hak yang ada serta adat kebiasaan yang berlaku, pembayaran yang wajar, penghapusan tanam paksa bila sangat menekan penduduk dan kemudian sebuah aturan akan disiapkan, berdasarkan persetujuan sukarela dengan individu dan masyarakat bersangkutan, sebagai transisi ke kondisi dimana intervensi/turut campur pemerintah makin dikurangi.

B.     Hapusnya Tanam Paksa
Berhasilnya landasan pembaharuan sistem tanam paksa dimasukkan dalam RR 1854 sesuai dengan keadaan keanggotaan dalam parlemen yaitu makin banyaknya orang–orang liberal menjadi anggota. Diantaranya Baron van Hoevell, mantan presiden Batavia Society of Arts and Sciences serta pendiri SK Tijdschrifs Van Nederlendach Indie, menjadi anggota tahun 1849–1862. Dia mulai membentuk opini parlemen dan menuntut keterbukaan dan kejujuran pemerintah mengenai hal–hal yang berkaitan dengan daerah jajahan.
Namun, karena dominasi kelompok konservatif dibidang pemerintahan usaha informasi berjalan lamban. Walau bagaimanapun, golongan liberal, golongan konservatif, dan lain–lain sependapat bahwa daerah jajahan harus menyumbang/menguntungkan negeri induk terhadap daerah jajahan.
Cuma dalam hal tertentu seperti pemakaian tenaga kerja dan perbudakan, golongan liberal tidak mau berkompromi dengan golongan konservatif. Kaum liberal menuntut agar tenaga kerja jajahan diberlakukan sama dengan tenaga kerja di Belanda, karenanya perbudakan dilarang mulai Januari tahun 1860.
Pandangan rakyat Belanda baru tergugah mengenai apa yang terjadi di Indonesia (Jawa) setelah terbit buku yang berjudul “Max Havelear” oleh Multatuli nama samaran E. Douwes Dekker, bekas asisten residen Lebak. Dilengkapi oleh tulisan–tulisan Isaac Fransen Van der Putte (menjadi menteri koloni 1863–1866) dan penganjur utama untuk menghapus sistem tanam paksa, kecuali gula dan kopi, mengakhiri monopoli oleh pemerintah dan memajukan perdagangan bebas), yang satu diantaranya berjudul The Regulation of Sugar Contracts in Java, maka tanam paksa menjadi topic hangat di Belanda. Mulailah langkah–langkah ke arah usaha bebas/usaha swasta menjadi nyata.
Mengenai sistem tanam paksa, antara tahun 1860–1870 dihapuslah tanam paksa untuk tumbuhan teh, tembakau, indigo, lada, dan kayu manis, karena ternyata tidak menguntungkan malah merugikan pemerintah. Penduduk disiapkan untuk bekerja bebas dengan menghapus larangan bergerak bebas, hak kontrak kerja dengan penduduk suatu desa dihapus, cultuur prosenten ditiadakan juga kerja paksa di hutan–hutan jati.
Dalam pada itu kemenangan terpenting bagi golongan liberal adalah Undang–undang Audit tahun 1864 (UU. Comptabilitet) dan berlaku mulai tahun 1867, dimana dinyatakan bahwa budget daerah jajahan berada dibawah control parlemen (baca Sartono V, hal. 18–20).

Puncak kemenangan golongan liberal adalah dengan dikeluarkannya dua Undang–undang pada tahun 1870: (1) Undang­–undang gula, dan (2) Undang–undang Agraria. Yang pertama mengenai hapusnya Tanam Paksa gula, secara bertahap sehingga satu–satunya jenis tanaman yang masih dipaksakan adalah kopi yang berlangsung sampai 1 Januari 1917. Undang–undang lainnya adalah mengenai pertanahan yang disebut undang–undang Agraria. Walaupun banyak hal yang tidak jelas, namun dengan keluarnya undang–undang ini, jelas mengenai mana hak milik pribumi dan negara serta aturan untuk pengusaha swasta/tata cara pemilikan/penyewa tanah–tanah untuk berusaha di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Sartono Kartodirdjo .1987.Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 “ Dari Emporium sampai Imperium” jakarta:Ombak
Poesponegoro, Marwati Djoenoed. Sejarah Nasional Indonesiavi ke-VI. Balai Pustaka. Jakarta. 1993 

0 komentar:

Posting Komentar