Setelah peristiwa
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 terjadi protes dari dalam maupun dari luar
negeri yang ingin memebatalkan berdirinya Republik Indonesia dan mengubah Dasar
Negara (Pancasila). Kedatangan pihak Sekutu Inggris yang memboncengi Belanda,
menimbulkan perlawanan rakyat di berbagai daerah dalam mempertahankan
kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Adapun berbagai
pertempuran fisik dan diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia
adalah sebagai berikut:
1.
Pertempuran Surabaya
Pada tanggal 25 Oktober 1945, brigade 49
di bawah pimpinan A.W.S Mallaby mendarat di Surabaya. Brigade ini merupakan
bagian dari Devisi ke-23 di bawah pimpinan Jendral D.C. Howthorn. Mereka
ditugaskan oleh Panglima AFNEI untuk melucuti senjata Jepang dan menyelamatkan
para interniran sekutu. Kedatangan mereka pada awalnya enggan diterima oleh
pemerintah Jawa Timur yang dipimpin oleh Gubernur R.M.T.A Surjo.[1] Namun setelah diadakan
perundingan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan Brigadier A.W.S. Mallaby
maka tercapailah suatu kesepakatan, yang berisi sebagai berikut:
1.
Inggris
berjanji bahwa di antara tentara mereka tidak terdapat Angakatan Perang Belanda
2.
Kedua
belah pihak akan bekerja sama untuk menjamin keamanan dan ketentraman
3.
Akan
segera dibentuk “ Kontact Bureau” (Kontak Biro) agar kerjasama terlaksana
sebaik-baiknya
4.
Inggris
hanya akan melucuti senjata Jepang
Berdasarkan kesepakatan
di atas akhirnya pihak RI mengizinkan tentara Inggris memasuki kota Surabaya, dengan
syarat hanya objek-objek tertentu yang boleh di duduki oleh tentara Inggris,
seperti kamp-kamp tawanan. Sehari setelah terjadinya kesepakatan, ternyata
pihak Inggris mengingkari janjinya. Pada tanggal 26 Oktober 1945 malam satu
pleton dari Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw, melakukan
penyergapan ke penjara Kalisosok untuk membebaskan Kolonel Huiyer, seorang
Kolonel Angkatan Laut Belanda dan kawan-kawannya. Tindakan Inggris ini
dilanjutkan dengan menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar,
Gedung Internatio, dan objek vital lainnya pada keesokakan harinya. Pada
tanggal 27 Oktober 1945 pukul 11.00, pesawat terbang Inggris menyebarkan pamlet
yang berisi perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan
senjata-senjata yang dirampas dari Jepang. Pemerintah RI mengkonfirmasi perihal
pamlet tersebut kepada Mallaby. Tetapi Malllaby mengaku tidak mengetahui perihal
pamlet tersebut, tetapi ia mengatakan akan tetap melaksanakan isi pamlet
tersebut sekalipun telah ada kesepakatan dengan pemerintah RI sebelumnya. Sikap
Mallaby ini menghilangkan kepercayaan pemerintah RI terhadapnyanya.
Pemuda dan rakyat
menganggap pelepasan Huyer ada hubungannya dengan penyebaran pamlet.[2] Karena itu kecurigaan
terhadap Inggris sebagai kaki tangan NICA semakin menjadi-jadi. Keadaan menjadi semakin tegang dengan adanya
plakat-plakat yang isinya senada dengan selebaran. Pemuda dan rakyat Surabaya
sudah bertekad memepertahankan diri: “Sadumuk
bathuk senyari bumi tohi pati” (lebih baik mati terhormat dari pada hidup
menanggung malu). Arek arek Surabaya menganggap kemerdekaan dalam bahaya,
karena itu mereka sesuai dengan nama kota asal harus : “sura ing baya” (berani menhadapi bahaya). Mallaby dengan 6000
pasukannya terkurung oleh 120.000 pemuda dan rakyat dengan berbagai senjata. Hal
ini jelas menyulitkan pihak Inggris. Kesulitan lain: mereka belum mengenal medan
pertempuran. Bantuan dari tempat lain tidak dapat juga diharapkan karena
pertempuran berkobar ditiap daerah. Jika keadaan ini dibiarkan terus berlangsung
maka kehancuran di pihak Inggris tidak dapat di hindari kecuali ada seseorang
yang dapat meredakan kemarahan rakyat. Maka Jendral Howthorn meminta bantuan
Soekarno untuk meredakan kemarahan rakyat yang jika di biarkan dapat
menghancurkan pasukan Inggris dengan sangat mudah.
Maka atas prakarsa Soekarno –Hatta
dapatlah tercapai suatu persetujuan antara pihak Inggris yang diwakili Mallaby dan Hawthorn dengan
pemuda dan rakyat Surabaya yang diwakili oleh Sudirman, Suryo, Mustopo,
Sungkono dan Sutomo.
Isi
Persetujuan
1.
Sekutu
akan menarik diri ke Tanjung Perak dan Darmo
2.
Sekutu
diizinkan daerah lain yang dikuasai oleh pemuda dan rakyat Indonesia (Republik)
hanya untuk mengangku interniran dari kamp ke pelabuhan
3.
Pertukaran
tawanan
4.
Komisi
Kontak yang dibentuk waktu pendaratan Mallaby diaktifkan kembali dan ditaati
5.
Patrol
bersama akan diadakan di daerah-daerah yang peka
6.
Pamphlet
Hawthorn dibatalkan, pemuda dan rakyat Indonesia berhak mempersanjai diri.
Tetapi pada sore harinya pertempuran
berkobar lagi. Menurut Nasution pertempuran berkobar lagi karena pasukan
Inggris tidak mau menarik diri segera kedalam daerah yang telah disediakan
untuk mereka.[3]Dalam
pertempuran ini Mallaby terbunuh. Kematiannya menimbulkan kemarahan Jendral
Christison Panglima AFNEI. Dalam suatu maklumat pada tanggal 31 Oktober, ia
memerintahkan kaum pejuang untuk menyerah kepada Inggris. Kalaw tidak, ia akan
mengerahkan seluruh pasukannya baik darat, laut, maupun udara yang dilengkapi
dengan senjata modren untuk menghancurkan para pejuang. Pada saat yang sama pasukan Mansergh (Divisi
5) akan segera tiba di Surabaya.
Untuk menentukan sikap terhadap
ultimatum ini para pemimpin di Surabaya mengadakan pertemuan. Mereka berusaha menghubungi
Presiden Soekarno untuk meminta intruksi mengenai tindakan yang akan diambil,
yaitu menerima atau menolak ultimatum. Namun, mereka hanya berhasil menghubungi
Mentri Luar Negeri Mr. Ahmad Subarjo. Mentri Luar Negeri mengatakan untuk
menolak ultimatum tersebut kepada rakyat Surabaya. Karena ultimatum tersebut tidak
diindahkan oleh rakyat Surabaya. Pada tanggal 10 November 1945 terjadilah pertempuran
yang sangat dahsyat. Rakyat bertekad untuk mempertahankan kemerdekaan secara
mati-matian. Peristiwa 10 November ini diperingati setiap tahun sebagai Hari
Pahlawan oleh bangsa Indonesia untuk mengenang keberanian rakyat Surabaya.
2.
Pertempuran Ambarawa
Pertempuran Ambarawa terjadi,
pada bulan November hingga pertengahan Desember. Pertempuran diawali ketika
pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara sekutu dibawah pimpinan Brigadir Jendral
Bethel mendarat di Semarang.[4] Tentara sekutu pada waktu
itu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan rakyat Indonesia, tetapi hanya
mengurus tawanan perang. Pada awalnya keberadaan tentara Jepang yang ada di
Jawa Tengah di sambut baik oleh rakyat Semarang. Tetapi kebaikan rakyat
Semarang tidak dibalas setimpal oleh tentara sekutu. Karena mereka membebaskan
secara sepihak para interniran Belanda
di Magelang. Akibatnya timbul insiden bersenjata di Magelang, yang meluas
menjadi pertempuran antara Sekutu dan NICA dengan pasukan Indonesia. Maka
dilakukan perundingan antara Presiden Soekarno dan Brigadir Jendral Bethel
sebagai penyelesaiannya. Setelah perundingan selesai dilakukan secara diam-diam
tentara sekutu pergi meninggalkan Magelang dan Mundur ke Ambara.
Gerakan mundur mereka,
berhasil ditahan oleh pasukan AM di bawah pimpinan Sastrodiharjo yang
memperkuat pasukan Ambara, Suruh dan Surakarta. Begitu pula ketika mundur ke
Desa Ngipik, tentara sekutu kembali dihadang oleh Bataliyon Satu Surjosumpeno.
Pada saat pengunduran ini tentara sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar
Ambarawa, yang menewaskan Komandan Resimen Banyumas, Letnan Kolonel Isdiman,
ketika sedang berusaha membebaskan kedua desa tersebut.
Sementara itu di saat
terjadi pertempuran di desa sekitar Ambarawa, di Ambara terjadi insiden bersenjata
antara rakyat dan tentara sekutu. Insiden ini meluas menjadi pertempuran di
sepanjang rel kereta api yang membelah kota Ambarawa. Dalam pertempuran ini
pasukan Indonesia membentuk jajaran pertahanan
sepanjang rel sebelah utara, sedangkan tentara sekutu bertahan di tangsi-tangsi
militer sebelah selatan rel. pada tanggal 23 November 1945 mulai berlangsung
tembak menembak antara kedua pasukan. Tentara sekutu bertahan di komplek gereja
dan perkuburan Belanda di jalan Marga Agung. Mereka mengarahkan tawanan
–tawanan Jepang yang berusaha menyusup ke wilayah yang diduduki pasukan
Indonesia, karena itu pasukan Indonesia meninggalkan kedudukannya yang disana
dan pindah ke Bedono. Pada tanggal 12 Desember 1945, pasukan Indonesia kembali
melancarkan serangan secara serentak. Pertempuran berakhir pada tanggal 16
Desember 1945 setelah pasukan sekutu berhasil dihalau mundur ke Semarang.
3.
Pertempuran Medan Area
Pertempuran ini terjadi pada tanggal 13
oktober 1945 dikota Medan. Pertempuran ini merupakan pertempuran pertama yang
terjadi di Medan antara pemuda yang ingin mempertahankan kedaulatan RI melawan
pasukan Belanda yang membonceng tentara sekutu.[5] Setelah berita proklamasi
sampai di Medan, pada tanggal 27 Agustus 1945, para pemuda yang di pelopori
oleh seorang tentara sukarela pada zaman pendudukan Jepang, Ahmad Tahir segera
membentuk Barisan Pemuda Indonesia pada tanggal 13 September 1945. Mereka melakukan
pengambil alihan gedung-gedung pemerintah dan merebut senjata-senjata dari
tangan Jepang pada tanggal 4 Oktober 1945. di tengah kegiatan perebutan senjata
dari tangan Jepang, pada tanggal 9 Oktober 1945 di bawah pimpinan Brigadir
Jendral T.E.D Kelly, tentara NICA yang membonceng tentara sekutu mendarat di
kota Medan. Sebelum itu, di bawah pimpinan Westerling Belanda telah mendaratkan
suatu kelompok komando yang kemudian melakukan ke kacauan di Medan.
Dalam menghadapi kedatangan Belanda,
para pemuda segera membentuk Devisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di kota
Medan. Pada tanggal 13 Oktober 1945 pecah pertempuran pertama antara para
pemuda dengan pasukan Belanda yang dikenal sebagai “Pertempuran Medan Area”.
Diawali pertempuran antara pemuda dengan pasukan Belanda yang menjalar ke
seluruh kota Medan. Dalam perkembangan selanjutnya tentara sekutu di Medan mengeluarkan
maklumat yang berisi larangan rakyat untuk membawa senjata dan menyerukan agar
semua senjata yang ada diserahkan kepada tentara sekutu pada tanggal 18 Oktober
1945. Tetapi malumat itu tidak diindahkan rakyat Medan. Akhirnya tetara sekutu melancarkan
serangan militer besar-besaran terhadap kota Medan pada tanggal 10 Desember
1945. Hampir seluruh kota Medan menjadi sasaran sekutu yang menelan banyak
korban dari kedua belah pihak.
4.
Pertempuran Padang dan Sekitarnya
Pada tanggal 13 Oktober 1945, pasukan
Inggris di bawah pimpinan Brigadier Hutchinson mendarat di Teluk Bayur. Hutchinson
mengadakan pertemuan dengan pemerintah RI di Sumatra Barat, ia mengatakan bahwa
pasukannya hanya bertugas menjalankan tugas-tugas sekutu, mereka tidak akan
mencampuri urusan pemerintahan dan akan berkonsultasi dengan pemerintahan RI sebelum
melakukan tindakan. Kesepakatan yang telah dicapai dalam pertemuan tersebut
tidak seluruhnya ditaati Inggris. Mereka menggeledah rumah-rumah penduduk untuk
mencari senjata, mengobrak-abrik kantor Balai Penerangan Pemuda Indonesia
(BPPI) yang mereka curigai sebagai pusat kegiatan pemuda. Orang- orang Belanda
yang baru dibebaskan dari kamp tahanan, mereka persenjatai. Dengan perlindungan
Inggris, bekas tawanan ini menduduki secara paksa gedung sekolah Teknik di
simpang Haru, bahkan memukuli kepala sekolahnya.
Tindakan orang-orang Belanda ini dibalas
oleh TKR dan para pemuda melakukan serangan pada tangggal 17 November 1945. Sebagai
balasan terhadap serangan itu, Inggris menggeledah rumah-rumah di sekitar
Simpang Haru, bahkan ada yang dibakar. Beberapa orang pemuda mereka tangkap dan dimasukkan ke penjara. Insiden yang
berdampak semakin luas terjadi pada tanggal 5 Desember 1945. Seorang perwira
Inggris, Mayor Anderson dan seorang anggota Palang Merah Sekutu, Miss
Allingham, ditemukan terbunuh di dekat pemandian Sungai Barameh, kira-kira
sebelas kilometer di selatan kota Padang. Inggris melakukan pembalasan yang
tidak kepalang tanggung, membakar tiga kampung dekat terjadinya peristiwa itu,
menyerbu pos TKR yang meyebabkan beberapa TKR tewas, dan membunuh 12 orang
penduduk.
Pertempuran yang cukup besar antara
pasukan Inggris dan pasukan Indonesia terjadi pada tanggal 21 Februari 1946 di
Rimbo Kaluang. Pasuakan TRI di bawah pimpinan Ahmad Husein, dengan bantuan
laskar, berhasil menghacurkan beberapa pos pertahanan Inggris dan membongkar
gudang senjata. Sesudah itu terjadi lagi beberapa serangan malam sehingga
Inggris menarik pasukannya dari Rimbo Bujang. Serangan ini dilancarkan dari
Kuranji sehingga Inggris menyebut pasukan ini dengan istilah The Tiger of
Kuranji (Harimau Kuranji).
Pada tanggal 14 Juni 1946 pasukan
Inggris menyerang Batu Busuak untuk membebaskan kaki tangan mereka yang di tangkap
oleh pasukan TRI. Pihak TRI yang sudah mengetahui serangan tersebut, mengatur siasat
dengan dengan membiarkan pasukan Inggris memasuki Batu Busuak. Dalam
pertempuran ini 13 anggota TRI gugur dan puluhan orang mengalami luka-luka.
Daerah-daerah di sekitar Simpang Haru
merupakan medan yang cukup panas. Selama tiga hari dari tanggal 7 sampai 9 Juli
1946 pasukan TRI dan laskar melancarkan serangan terhadap kedudukan Inggris di
tempat ini. Pada mulanya pasukan Indonesia hanya melancarkan serangan malam dan
paginya mereka mundur ke basis mereka. Pada hari ketiga terjadi pertempuran
jarak dekat. Akhirnya Simpang Haru ditinggalkan Inggris dengan korban beberapa
serdadunya tewas dan sejumlah senjata ringan jatuh ke tangan TRI.
Tugas Inggris untuk melucuti senjata
Jepang, membebaskan tawanan, dan memulangkan orang Jepang ke negeri mereka,
sudah selesai pada bulan Juni 1946. Namun, mereka tetap bertahan di Padang
menunggu kesiapan pasukan Belanda untuk mengambil alaih kedudukan mereka.
5.
Pertempuran
Bandung
Pasukan sekutu Inggris memasuki kota
Bandung pada pertengahan Oktober 1945. Sama halnya dengan kota-kota lain, di
Bandung pasukan-pasukan Inggris dan NICA melakukan teror terhadap rakyat
sehingga terjadi pertemburan.
Pada bulan November 1945, pasukan NICA
semakin merajalela di Bandung. Setelah masuknya tentara sekutu (Inggris dan
Gurkha), NICA memanfaatkan situasi ini untuk mengembalikan kekuasaan
kolonialnya di Indonesia. Tetapi semangat juang rakyat, para pemuda yang
tergabung dalam TKR, laskar-laskar dan badan-badan perjuangan semakin berkobar.
Pertempuran demi pertempuran terus terjadi di Bandung. Selain dari pertempuran,
kota Bandung juga terkena bencana banjir besar. Peristiwa ini terjadi pada
tanggal 25 November 1945, dan mengakibatkan kota Bandung di belah menjadi dua,
yaitu pasukan sekutu menduduki daerah Bandung Utara dan bagian Selatan merupakan
daerah Republik.
Sesuai dengan garis politik diplomasi,
pihak Republik mengosongkan daerah Bandung Utara. Tetapi karena sekutu menuntut
pengosongan sejauh sebelas kilometer dari Bandung Selatan, maka meletuslah
pertempuran dan aksi bumi hangus di segenap penjuru kota. Kota Bandung terbakar
hebat dari batas timur Cicadas sampai batas barat Andir. Sebanyak satu juta
jiwa penduduknya menyingkir keluar kota, pengungsian besar-besaran memadati jalan.
Pada tanggal 23 dan 24 maret 1946 mereka meninggalkan Bandung yang telah
menjadi lautan api. Peristiwa ini kemudian diabadikan dalam lagu “Halo-halo
Bandung”. Lagu ini menyatakan Bandung sebagai kota yang telah membuktikan
kepahlawanan para pemuda dan pejuang membela kemerdekaan yang diproklamasikan
pada tanggal 17 Agustus 1945.
[1] Djoened, Marwati
& Nugroho Notosusanto. 2008. SNI VI. Jakarta : Balai Pustaka hlm.187
[2] Moerdjanto, G. 1992.
INDONESIA ABAD KE-20 ( Hari Kebangkitan Nasional sampai Linggarjati ). Yogyakarta
: Penerbit Kanisius hlm.115
[3] Ibid., hlm 116
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Terminologi
Sejarah Indonesia. Jakarta : Depdikbud hlm. 79
[5] Ibid., hlm. 87
0 komentar:
Posting Komentar