Rabu, 12 Juli 2017

Plagan-Plagan ( Pertempuran ) Penting di Indonesia

Setelah peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia pada  tanggal 17 Agustus 1945 terjadi protes dari dalam maupun dari luar negeri yang ingin memebatalkan berdirinya Republik Indonesia dan mengubah Dasar Negara (Pancasila). Kedatangan pihak Sekutu Inggris yang memboncengi Belanda, menimbulkan perlawanan rakyat di berbagai daerah dalam mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Adapun berbagai pertempuran fisik dan diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Pertempuran Surabaya

Pada tanggal 25 Oktober 1945, brigade 49 di bawah pimpinan A.W.S Mallaby mendarat di Surabaya. Brigade ini merupakan bagian dari Devisi ke-23 di bawah pimpinan Jendral D.C. Howthorn. Mereka ditugaskan oleh Panglima AFNEI untuk melucuti senjata Jepang dan menyelamatkan para interniran sekutu. Kedatangan mereka pada awalnya enggan diterima oleh pemerintah Jawa Timur yang dipimpin oleh Gubernur R.M.T.A Surjo.[1] Namun setelah diadakan perundingan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan Brigadier A.W.S. Mallaby maka tercapailah suatu kesepakatan, yang berisi sebagai berikut:
1.      Inggris berjanji bahwa di antara tentara mereka tidak terdapat Angakatan Perang Belanda
2.      Kedua belah pihak akan bekerja sama untuk menjamin keamanan dan ketentraman
3.      Akan segera dibentuk “ Kontact Bureau” (Kontak Biro) agar kerjasama terlaksana sebaik-baiknya
4.      Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang
Berdasarkan kesepakatan di atas akhirnya pihak RI mengizinkan tentara Inggris memasuki kota Surabaya, dengan syarat hanya objek-objek tertentu yang boleh di duduki oleh tentara Inggris, seperti kamp-kamp tawanan. Sehari setelah terjadinya kesepakatan, ternyata pihak Inggris mengingkari janjinya. Pada tanggal 26 Oktober 1945 malam satu pleton dari Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw, melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok untuk membebaskan Kolonel Huiyer, seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda dan kawan-kawannya. Tindakan Inggris ini dilanjutkan dengan menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan objek vital lainnya pada keesokakan harinya. Pada tanggal 27 Oktober 1945 pukul 11.00, pesawat terbang Inggris menyebarkan pamlet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata-senjata yang dirampas dari Jepang. Pemerintah RI mengkonfirmasi perihal pamlet tersebut kepada Mallaby. Tetapi Malllaby mengaku tidak mengetahui perihal pamlet tersebut, tetapi ia mengatakan akan tetap melaksanakan isi pamlet tersebut sekalipun telah ada kesepakatan dengan pemerintah RI sebelumnya. Sikap Mallaby ini menghilangkan kepercayaan pemerintah RI terhadapnyanya.
Pemuda dan rakyat menganggap pelepasan Huyer ada hubungannya dengan penyebaran pamlet.[2] Karena itu kecurigaan terhadap Inggris sebagai kaki tangan NICA semakin menjadi-jadi.  Keadaan menjadi semakin tegang dengan adanya plakat-plakat yang isinya senada dengan selebaran. Pemuda dan rakyat Surabaya sudah bertekad memepertahankan diri: “Sadumuk bathuk senyari bumi tohi pati” (lebih baik mati terhormat dari pada hidup menanggung malu). Arek arek Surabaya menganggap kemerdekaan dalam bahaya, karena itu mereka sesuai dengan nama kota asal harus : “sura ing baya” (berani menhadapi bahaya). Mallaby dengan 6000 pasukannya terkurung oleh 120.000 pemuda dan rakyat dengan berbagai senjata. Hal ini jelas menyulitkan pihak Inggris. Kesulitan lain: mereka belum mengenal medan pertempuran. Bantuan dari tempat lain tidak dapat juga diharapkan karena pertempuran berkobar ditiap daerah. Jika keadaan ini dibiarkan terus berlangsung maka kehancuran di pihak Inggris tidak dapat di hindari kecuali ada seseorang yang dapat meredakan kemarahan rakyat. Maka Jendral Howthorn meminta bantuan Soekarno untuk meredakan kemarahan rakyat yang jika di biarkan dapat menghancurkan pasukan Inggris dengan sangat mudah.
Maka atas prakarsa Soekarno –Hatta dapatlah tercapai suatu persetujuan antara pihak Inggris  yang diwakili Mallaby dan Hawthorn dengan pemuda dan rakyat Surabaya yang diwakili oleh Sudirman, Suryo, Mustopo, Sungkono dan Sutomo.
Isi Persetujuan
1.      Sekutu akan menarik diri ke Tanjung Perak dan Darmo
2.      Sekutu diizinkan daerah lain yang dikuasai oleh pemuda dan rakyat Indonesia (Republik) hanya untuk mengangku interniran dari kamp ke pelabuhan
3.      Pertukaran tawanan
4.      Komisi Kontak yang dibentuk waktu pendaratan Mallaby diaktifkan kembali dan ditaati
5.      Patrol bersama akan diadakan di daerah-daerah yang peka
6.      Pamphlet Hawthorn dibatalkan, pemuda dan rakyat Indonesia berhak mempersanjai diri.
Tetapi pada sore harinya pertempuran berkobar lagi. Menurut Nasution pertempuran berkobar lagi karena pasukan Inggris tidak mau menarik diri segera kedalam daerah yang telah disediakan untuk mereka.[3]Dalam pertempuran ini Mallaby terbunuh. Kematiannya menimbulkan kemarahan Jendral Christison Panglima AFNEI. Dalam suatu maklumat pada tanggal 31 Oktober, ia memerintahkan kaum pejuang untuk menyerah kepada Inggris. Kalaw tidak, ia akan mengerahkan seluruh pasukannya baik darat, laut, maupun udara yang dilengkapi dengan senjata modren untuk menghancurkan para pejuang.  Pada saat yang sama pasukan Mansergh (Divisi 5) akan segera tiba di Surabaya.
Untuk menentukan sikap terhadap ultimatum ini para pemimpin di Surabaya mengadakan pertemuan. Mereka berusaha menghubungi Presiden Soekarno untuk meminta intruksi mengenai tindakan yang akan diambil, yaitu menerima atau menolak ultimatum. Namun, mereka hanya berhasil menghubungi Mentri Luar Negeri Mr. Ahmad Subarjo. Mentri Luar Negeri mengatakan untuk menolak ultimatum tersebut kepada rakyat Surabaya. Karena ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh rakyat Surabaya. Pada tanggal 10 November 1945 terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat. Rakyat bertekad untuk mempertahankan kemerdekaan secara mati-matian. Peristiwa 10 November ini diperingati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan oleh bangsa Indonesia untuk mengenang keberanian rakyat Surabaya.
2.      Pertempuran Ambarawa
Pertempuran Ambarawa terjadi, pada bulan November hingga pertengahan Desember. Pertempuran diawali ketika pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara sekutu dibawah pimpinan Brigadir Jendral Bethel mendarat di Semarang.[4] Tentara sekutu pada waktu itu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan rakyat Indonesia, tetapi hanya mengurus tawanan perang. Pada awalnya keberadaan tentara Jepang yang ada di Jawa Tengah di sambut baik oleh rakyat Semarang. Tetapi kebaikan rakyat Semarang tidak dibalas setimpal oleh tentara sekutu. Karena mereka membebaskan secara sepihak  para interniran Belanda di Magelang. Akibatnya timbul insiden bersenjata di Magelang, yang meluas menjadi pertempuran antara Sekutu dan NICA dengan pasukan Indonesia. Maka dilakukan perundingan antara Presiden Soekarno dan Brigadir Jendral Bethel sebagai penyelesaiannya. Setelah perundingan selesai dilakukan secara diam-diam tentara sekutu pergi meninggalkan Magelang dan Mundur ke Ambara.
Gerakan mundur mereka, berhasil ditahan oleh pasukan AM di bawah pimpinan Sastrodiharjo yang memperkuat pasukan Ambara, Suruh dan Surakarta. Begitu pula ketika mundur ke Desa Ngipik, tentara sekutu kembali dihadang oleh Bataliyon Satu Surjosumpeno. Pada saat pengunduran ini tentara sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa, yang menewaskan Komandan Resimen Banyumas, Letnan Kolonel Isdiman, ketika sedang berusaha membebaskan kedua desa tersebut.
Sementara itu di saat terjadi pertempuran di desa sekitar Ambarawa, di Ambara terjadi insiden bersenjata antara rakyat dan tentara sekutu. Insiden ini meluas menjadi pertempuran di sepanjang rel kereta api yang membelah kota Ambarawa. Dalam pertempuran ini pasukan Indonesia  membentuk jajaran pertahanan sepanjang rel sebelah utara, sedangkan tentara sekutu bertahan di tangsi-tangsi militer sebelah selatan rel. pada tanggal 23 November 1945 mulai berlangsung tembak menembak antara kedua pasukan. Tentara sekutu bertahan di komplek gereja dan perkuburan Belanda di jalan Marga Agung. Mereka mengarahkan tawanan –tawanan Jepang yang berusaha menyusup ke wilayah yang diduduki pasukan Indonesia, karena itu pasukan Indonesia meninggalkan kedudukannya yang disana dan pindah ke Bedono. Pada tanggal 12 Desember 1945, pasukan Indonesia kembali melancarkan serangan secara serentak. Pertempuran berakhir pada tanggal 16 Desember 1945 setelah pasukan sekutu berhasil dihalau mundur ke  Semarang.  
3.      Pertempuran Medan Area
Pertempuran ini terjadi pada tanggal 13 oktober 1945 dikota Medan. Pertempuran ini merupakan pertempuran pertama yang terjadi di Medan antara pemuda yang ingin mempertahankan kedaulatan RI melawan pasukan Belanda yang membonceng tentara sekutu.[5] Setelah berita proklamasi sampai di Medan, pada tanggal 27 Agustus 1945, para pemuda yang di pelopori oleh seorang tentara sukarela pada zaman pendudukan Jepang, Ahmad Tahir segera membentuk Barisan Pemuda Indonesia pada tanggal 13 September 1945. Mereka melakukan pengambil alihan gedung-gedung pemerintah dan merebut senjata-senjata dari tangan Jepang pada tanggal 4 Oktober 1945. di tengah kegiatan perebutan senjata dari tangan Jepang, pada tanggal 9 Oktober 1945 di bawah pimpinan Brigadir Jendral T.E.D Kelly, tentara NICA yang membonceng tentara sekutu mendarat di kota Medan. Sebelum itu, di bawah pimpinan Westerling Belanda telah mendaratkan suatu kelompok komando yang kemudian melakukan ke kacauan di Medan.
Dalam menghadapi kedatangan Belanda, para pemuda segera membentuk Devisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di kota Medan. Pada tanggal 13 Oktober 1945 pecah pertempuran pertama antara para pemuda dengan pasukan Belanda yang dikenal sebagai “Pertempuran Medan Area”. Diawali pertempuran antara pemuda dengan pasukan Belanda yang menjalar ke seluruh kota Medan. Dalam perkembangan selanjutnya tentara sekutu di Medan mengeluarkan maklumat yang berisi larangan rakyat untuk membawa senjata dan menyerukan agar semua senjata yang ada diserahkan kepada tentara sekutu pada tanggal 18 Oktober 1945. Tetapi malumat itu tidak diindahkan rakyat Medan. Akhirnya tetara sekutu melancarkan serangan militer besar-besaran terhadap kota Medan pada tanggal 10 Desember 1945. Hampir seluruh kota Medan menjadi sasaran sekutu yang menelan banyak korban dari kedua belah pihak.

4.      Pertempuran Padang dan Sekitarnya
Pada tanggal 13 Oktober 1945, pasukan Inggris di bawah pimpinan Brigadier Hutchinson mendarat di Teluk Bayur. Hutchinson mengadakan pertemuan dengan pemerintah RI di Sumatra Barat, ia mengatakan bahwa pasukannya hanya bertugas menjalankan tugas-tugas sekutu, mereka tidak akan mencampuri urusan pemerintahan dan akan berkonsultasi dengan pemerintahan RI sebelum melakukan tindakan. Kesepakatan yang telah dicapai dalam pertemuan tersebut tidak seluruhnya ditaati Inggris. Mereka menggeledah rumah-rumah penduduk untuk mencari senjata, mengobrak-abrik kantor Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) yang mereka curigai sebagai pusat kegiatan pemuda. Orang- orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tahanan, mereka persenjatai. Dengan perlindungan Inggris, bekas tawanan ini menduduki secara paksa gedung sekolah Teknik di simpang Haru, bahkan memukuli kepala sekolahnya.
Tindakan orang-orang Belanda ini dibalas oleh TKR dan para pemuda melakukan serangan pada tangggal 17 November 1945. Sebagai balasan terhadap serangan itu, Inggris menggeledah rumah-rumah di sekitar Simpang Haru, bahkan ada yang dibakar. Beberapa orang pemuda mereka tangkap  dan dimasukkan ke penjara. Insiden yang berdampak semakin luas terjadi pada tanggal 5 Desember 1945. Seorang perwira Inggris, Mayor Anderson dan seorang anggota Palang Merah Sekutu, Miss Allingham, ditemukan terbunuh di dekat pemandian Sungai Barameh, kira-kira sebelas kilometer di selatan kota Padang. Inggris melakukan pembalasan yang tidak kepalang tanggung, membakar tiga kampung dekat terjadinya peristiwa itu, menyerbu pos TKR yang meyebabkan beberapa TKR tewas, dan membunuh 12 orang penduduk.
Pertempuran yang cukup besar antara pasukan Inggris dan pasukan Indonesia terjadi pada tanggal 21 Februari 1946 di Rimbo Kaluang. Pasuakan TRI di bawah pimpinan Ahmad Husein, dengan bantuan laskar, berhasil menghacurkan beberapa pos pertahanan Inggris dan membongkar gudang senjata. Sesudah itu terjadi lagi beberapa serangan malam sehingga Inggris menarik pasukannya dari Rimbo Bujang. Serangan ini dilancarkan dari Kuranji sehingga Inggris menyebut pasukan ini dengan istilah The Tiger of Kuranji (Harimau Kuranji).
Pada tanggal 14 Juni 1946 pasukan Inggris menyerang Batu Busuak untuk membebaskan kaki tangan mereka yang di tangkap oleh pasukan TRI. Pihak TRI yang sudah mengetahui serangan tersebut, mengatur siasat dengan dengan membiarkan pasukan Inggris memasuki Batu Busuak. Dalam pertempuran ini 13 anggota TRI gugur dan puluhan orang mengalami luka-luka.
Daerah-daerah di sekitar Simpang Haru merupakan medan yang cukup panas. Selama tiga hari dari tanggal 7 sampai 9 Juli 1946 pasukan TRI dan laskar melancarkan serangan terhadap kedudukan Inggris di tempat ini. Pada mulanya pasukan Indonesia hanya melancarkan serangan malam dan paginya mereka mundur ke basis mereka. Pada hari ketiga terjadi pertempuran jarak dekat. Akhirnya Simpang Haru ditinggalkan Inggris dengan korban beberapa serdadunya tewas dan sejumlah senjata ringan jatuh ke tangan TRI.
Tugas Inggris untuk melucuti senjata Jepang, membebaskan tawanan, dan memulangkan orang Jepang ke negeri mereka, sudah selesai pada bulan Juni 1946. Namun, mereka tetap bertahan di Padang menunggu kesiapan pasukan Belanda untuk mengambil alaih kedudukan mereka.

5.       Pertempuran Bandung
Pasukan sekutu Inggris memasuki kota Bandung pada pertengahan Oktober 1945. Sama halnya dengan kota-kota lain, di Bandung pasukan-pasukan Inggris dan NICA melakukan teror terhadap rakyat sehingga terjadi pertemburan.
Pada bulan November 1945, pasukan NICA semakin merajalela di Bandung. Setelah masuknya tentara sekutu (Inggris dan Gurkha), NICA memanfaatkan situasi ini untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Tetapi semangat juang rakyat, para pemuda yang tergabung dalam TKR, laskar-laskar dan badan-badan perjuangan semakin berkobar. Pertempuran demi pertempuran terus terjadi di Bandung. Selain dari pertempuran, kota Bandung juga terkena bencana banjir besar. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 25 November 1945, dan mengakibatkan kota Bandung di belah menjadi dua, yaitu pasukan sekutu menduduki daerah Bandung Utara dan bagian Selatan merupakan daerah Republik.
Sesuai dengan garis politik diplomasi, pihak Republik mengosongkan daerah Bandung Utara. Tetapi karena sekutu menuntut pengosongan sejauh sebelas kilometer dari Bandung Selatan, maka meletuslah pertempuran dan aksi bumi hangus di segenap penjuru kota. Kota Bandung terbakar hebat dari batas timur Cicadas sampai batas barat Andir. Sebanyak satu juta jiwa penduduknya menyingkir keluar kota, pengungsian besar-besaran memadati jalan. Pada tanggal 23 dan 24 maret 1946 mereka meninggalkan Bandung yang telah menjadi lautan api. Peristiwa ini kemudian diabadikan dalam lagu “Halo-halo Bandung”. Lagu ini menyatakan Bandung sebagai kota yang telah membuktikan kepahlawanan para pemuda dan pejuang membela kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.



[1] Djoened, Marwati & Nugroho Notosusanto. 2008. SNI VI. Jakarta : Balai Pustaka hlm.187
[2] Moerdjanto, G. 1992. INDONESIA ABAD KE-20 ( Hari Kebangkitan Nasional sampai Linggarjati ). Yogyakarta : Penerbit Kanisius hlm.115
[3] Ibid., hlm 116
[4]  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Terminologi Sejarah Indonesia. Jakarta : Depdikbud hlm. 79
[5] Ibid., hlm. 87 

0 komentar:

Posting Komentar