Rabu, 12 Juli 2017

Perundingan LinggarJati

Indonesia sebagai sebuah negara yang baru merdeka, perlu memperoleh pengakuan kedaulatan dari dunia luar, termasuk dari sekutu dan Belanda. Pada saat yang bersamaan, Belanda masih saja menganggap Indonesia sebagai daerah jajahannya. Berbagai upaya terus dilakukan oleh Belanda untuk menguasai Indonesia sehingga menimbulkan perlawanan fisik di daerah-daerah. Di sisi lain, pemerintah melakukan berbagai usaha agar Indonesia diakui oleh negara-negara lain, salah satunya dalam bentuk diplomasi, terutama dengan perwakilan negeri Belanda.
Perundingan Linggarjati
Langkah awal yang dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan Maklumat 1 November 1945 yang isinya bahwa pemerintah bersedia membayar semua utang yang dibuat Belanda sebelum PD II, mengembalikan milik asing atau member ganti rugi atas milik asing yang sudah dikuasai pemerintah. Kemudian, Maklumat 3 November 1945, memberi kesempatan kepada rakyat untuk membentuk partai-partai politik. Langkah ini diikuti dengan berubahnya system pemerintahan presidensial menjadi parlementer. Perubahan ini dilengkapi dengan pergantian pimpinan dari Presiden Soekarno ke kabinet ministerial dibawah PM. Sutan Syahrir. Kabinet ini segera mengadakan kontak diplomatik dengan pihak Belanda.[1]
Pada masa kepemimpinan Sutan Syahrir (Kabinet Syahrir), ia berusaha melakukan hubungan diplomasi dengan Belanda. Suatu cara yang pada saat itu ditentang oleh banyak tokoh nasionalis yang lebih mengutamakan perjuangan fisik. Salah satu cara mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mendapatkan pengakuan dari luar negeri yaitu dengan cara melakukan perundingan, mulanya Pemerintah Inggris yang ingin secepatnya melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugasnya di Indonesia mengirimklan Sir A. Clark Kerr, sedangkan pemerintah Belanda diwakili oleh Wakil Gubjend. Van Mook. Selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggungjawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat dari Inggris mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hoogwe Veluwe dari tanggal 14-25 April 1946, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera, dan Madura, namun Belanda hanya mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja. Sehingga dengan gagalnya perundingan di Hoogwe Veluwe ini, maka kemudian diselenggarakan kembali perundingan di Linggarjati, Jawa Barat.
Perundingan Linggarjati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan status kemerdekaan Indonesia. Bermula ketika masuknya AFNEI yang datang dengan “memboncengi” NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November.
Perundingan Linggarjati diadakan pada tanggal 11 November samapai 13 November 1946, tetapi para delegasi sudah berada di Linggarjati pada tanggal 10 November. Akan tetapi, hasil dari perundingan Linggarjati baru bisa di tandatangani pada bulan Maret 1947. Dalam senggang waktu tersebut, para delegasi memperbaiki isi-isi dari perjanjian agar kedua belah pihak menemui titik temu untuk menyetujui perjanjian Linggarjati. Pada mulanya gedung yang di jadikan lokasi perundingan di Linggarjati adalah sebuah penginapan, kemudian berdasarkan keterangan dari Soebadio Sastrosatomo dan Mr. Ali Boediardjo bahwa mengusulkan Linggarjati sebagai lokasi perundingan kepada Sutan Sjahrir adalah Ibu Mrs. Maria Ulfah Santoso, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Sosial RI.
Kemudian terpilihnya lokasi di Linggarjati adalah dari pengusulan Ibu Mrs. Maria, lalu ayahnya pernah menjabat sebagai Bupati Kuningan, sehingga ia mengenal betul daerah tersebut. Lokasi Linggarjati ini terletak dilereng gunung Ciremai yang memiliki hawa sejuk dan indah. Selain itu Residen Cirebon Hamdani maupun Bupati Cirebon Makmun Sumadipradja, kedua pejabat tersebut kebetulan dari partai Sosialis. Sehingga keamanannya terjamin. Selain faktor-faktor tersebut. Dipilihnya Linggarjati sebgai lokasi perundingan adalah pada saat itu menghindari pengaruh dari Belanda di Jakarta, dan lokasi Ibu Kota negara dipindahkan ke Yogjakarta, sehingga dipilihnya Linggarjati adalah dilihat dari lokasi Linggarjati terletak di tengah-tengah antara Jakarta dan Yogjakarta. Selain itu faktor alam yang ketika itu daerah Linggarjati masih sepi, sekitar 10 rumah yang berada di sekitar gedung tempat perundingan, sehingga lingkungan sekitar juga mempengaruhi perundingan Linggarjati.
Delegasi-delegasi Belanda dan Indonesia dalam rapat pada saat itu telah mendapatkan kata sepakat tentang persetujuan di bawah ini, hal mana terbukti dari pemarapan naskah tersebut dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Pemerintah Belanda, dalam hal ini berwakilkan Komisi Jenderal, dan Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini berwakilkan Delegasi Indonesia, atas dasar keinginan yang ikhlas hendak menetapkan perhubungan yang baik antara kedua bangsa, Belanda dan Indonesia. Dengan mengadakan cara dan bentuk-bangun yang baru, bagi kerja-sama dengan sukarela, yang merupakan jaminan sebaik-baiknya bagi kemajuan yang baik, serta dengan kukuh-teguhnya dari pada kedua negeri itu, di dalam masa datang, dan yang membukakan jalan kepada kedua bangsa itu untuk mendasarkan perhubungan antara kedua belah pihak atas dasar-dasar yang baru, menetapkan mufakat seperti berikut, dengan ketentuan akan menganjurkan persetujuan ini selekas-lekasnya untuk memperoleh kebenaran dari pada majelis-majelis perwakilan rakyatnya masing-masing.
Adapun tokoh yang terlibat dalam perundingan Linggarjati adalah:
1.         Tokoh yang berasal dari Indonesia: Sutan Sjahrir sebagai ketua delegasi Indonesia, Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A. K. Gani, Mr. Mohammad Roem. Adapun tokoh lainnya dari Indonesia yang berperan penting dalam perundingan Linggarjati ini adalah Dr. Leimena, Dr. Soedarsono, Mr. Amir Syarifuddin (menteri pertahanan), Mr. Ali Boediardjo (sekretaris). Semuanya merupakan notulen sekaligus para saksi dari Indonesia dalam perjanjian ini.
2.         Tokoh yang berasal dari Belanda yaitu Prof. Mr. Schermerhorn sebagai ketua delegasi Belanda, Dr. Van Mook, Mr. Van Pool, dan Dr. F. De Boer.
3.         Lord Killearn; merupakan seorang tokoh yang berasal dari Inggris. Ia merupakan pemimpin perundingan sekaligus penengah atau mediator dalam perundingan Linggarjati. Secara tegas perundingan Linggarjati berada dibawah pengawasan Killearn. Killearn merupakan commissioner khusus Inggris untuk Asia Tenggara.

Isi Perundingan Linggarjati
            Sebagai kelanjutan perundingan sebelumnya, sejak tanggal 10 November 1946 di Linggajati diadakan perundingan yang menghasilkan pokok-pokok sebagai berikut:
1.    Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus meninggalkan daerah tersebut paling lambat 1 Januari 1949.
2.    Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
3.    Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1981:119).
Adapun isi dari Perundingan Linggarjati secara lengkap terdiri dari 17 Pasal dan 1 Pasal Penutup.

Kendala dalam Pembuatan Perundingan
Pada akhirnya Persetujuan Linggarjati kemudian diparaf oleh Schermerhorn dan Sutan Sjahrir di kediaman Sjahrir di Jakarta pada tanggal 15 November 1946. KNIP sendiri kemudian meratifikasi perjanjian tersebut pada bulan Februari 1947, setelah memperbanyak jumlah anggotanya dari 200 menjadi 514 orang[2], karena sebagian besar anggota KNIP yang lama menolak isi persetujuan tersebut.
Ditambah atas campur tangan Soekarno-Hatta yang akan meletakan jabatan jika persetujuan Linggarjati tidak disetujui. Dan akhirnya Persetujuan Linggarjati ditandatangani dengan khidmat di Istana Rijswijk (kini Istana Negara) pada tanggal 25 Maret 1947.
Secara umum dikalangan Republik, baik politisi maupun pejuang kemerdekaan, persetujuan Linggarjati ditolak karena dianggap terlalu menguntungkan pihak Belanda. Penolakan diantaranya datang dari kalangan nasionalis seperti dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Rakyat dan laskar-laskar rakyat. Bahkan di suatu majalah laskar rakyat bernama “Godam Jelata” ada sebuah puisi dengan kalimat tertulis “Anti Linggarjati sampai mati”. Persetujuan Linggarjati hanya didukung secara nyata oleh partainya Sjahrir, Partai Sosialis yang tergabung dalam sayap kiri, dan oleh Soekarno-Hatta.
Dalam pelaksanaan persetujuan Linggarjati bulan Mei 1947, Komisi Jenderal mengultimatum Pemerintah Indonesia untuk mengakui kedaulatan Kerajaan Belanda atas Indonesia secara “de jure” sebelum tanggal 1 Januari 1949 dan sebelum itu Indonesia di bawah suatu pemerintahan sementara (interim) dimana Raja/Ratu Belanda sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemerintahan sementara ini secara prinsip diterima oleh Sjahrir pada tanggal 8 Juni 1947 dan disetujui dalam rapat kabinet tanggal 20 Juni 1947.
Rupanya hal ini membawa dampak kurang baik bagi Sjahrir. Ia dianggap terlalu banyak memberikan konsensi kepada Belanda terutama oleh anggota partainya sendiri. Pada akhirnya sebagian besar anggota Partai Sosialis di kabinet dan KNIP pun menarik dukungan terhadap Sjahrir pada tanggal 26 Juni 1947.

Dampak Perundingan terhadap Asing
            Dampak perundingan terhadap asing, dalam hal ini adalah Belanda, hasil perundingan ini tetap memberikan kesempatan untuk Belanda membangun kembali kekuatannya di Indonesia. Pada dasarnya pihak Belanda terpaksa untuk mengakui kedaulatan wilayah Indonesia. Belanda mengharapkan bahwa adanya pelanggaran yang dilakukan Indonesia, sebagai dalih atau kesempatan untuk bisa membangun kekuatan Belanda di Indonesia lagi.

Dampak Perundingan terhadap Indonesia
            Secara langsung, perundingan Linggarjati berisikan tentang pemindahan kekuasaan dari daerah yang diduduki oleh tentara sekutu dan Belanda secara berangsur-angsur. Namun hasil yang paling diingat dari perundingan ini adalah adanya pengakuan oleh Belanda secara de facto terhadap kekuasaan pemerintah RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera. Karena ini merupakan titik tolak eksistensi Indonesia dalam pandangan asing.
Kesepakatan pembentukan RIS yang membuat Indonesia harus menjadi bagian pesemakmuran kerajaan Belanda, tetap memberikan angin segar kepada Indonesia yang menginginkan kedaulatan. Perundingan Linggarjati ini membuat Indonesia terhindar dari banyaknya korban jiwa yang jatuh. Dimana dengan adanya perundingan tersebut dimaksudkan untuk mencegah peperangan. Perundingan Linggarjati yang diketuai Sjahrir ini didasari keyakinan bahwa bagaimanapun juga jalan damai untuk mencapai tujuan adalah yang paling baik dan paling aman bagi Indonesia karena kelemahannya di bidang militer (Moedjanto, 1988:183).
            Selain dampak positif, terdapat pula dampak negatif yaitu adanya gejolak dalam tubuh pemerintahan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan KNIP tidak secepatnya mengesahkan perjanjian linggarjati karena dianggap terlalu menguntungkan pihak Hindia belanda ketimbang pihak Indonesia sendiri yang dimana Indonesia menghendaki kemerdekaan sepenuhnya. Beberapa partai seperti Masyumi, PNI dan pengikut Tan Malaka begitu keras menentang perjanjian Linggarjati. Kelompok yang berseberangan menilai apa yang dilakukan Sjahrir adalah demi memperoleh kekuasaan. Namun pada dasarnya keberadaan Sjahrir bukanlah sebagai pengganti, akan tetapi pelengkap dan vital bagi Soekarno-Hatta. Pimpinan revolusi kemerdekaan Indonesiapun ada dalam tangan ketiga pimpinan yang saling mendukung dan sering disebut triumvirat de facto, Soekarno-Hatta-Sjahrir (Loebis, 1992: 314-316). Walaupun pada akhirnya KNIP mengesahkan perjanjian linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 setelah Hatta mengancam Soekarno dan ia akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia.
            Dampak yang lebih terasa lagi, adanya Agresi Militer Belanda I terhadap Indonesia. Hal ini diakibatkan karena Belanda menganggap Indonesia tidak patuh terhadap perjanjian linggarjati. Dikarenakan Indonesia mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain, padahal itu bukan wewenangnya. Pada tanggal 20 Juli 1947 Belanda menyatakan tidak terikat lagi dengan perjanjian Linggarjati. Agresi pun dilakukan keesokan harinya pada tanggal 21 Juli 1947 dimana Belanda melancarkan serangan ke daerah Jawa dan Sumatera dengan pesawat terbang melakukan pemboman dan penculikan petinggi negara Indonesia.



[1] Sejarah Nasional Indonesia VI, hal. 203.
[2] Ricklefs, 2008: 472

0 komentar:

Posting Komentar