Indonesia sebagai sebuah negara yang
baru merdeka, perlu memperoleh pengakuan kedaulatan dari dunia luar, termasuk
dari sekutu dan Belanda. Pada saat yang bersamaan, Belanda masih saja
menganggap Indonesia sebagai daerah jajahannya. Berbagai upaya terus dilakukan
oleh Belanda untuk menguasai Indonesia sehingga menimbulkan perlawanan fisik di
daerah-daerah. Di sisi lain, pemerintah melakukan berbagai usaha agar Indonesia
diakui oleh negara-negara lain, salah satunya dalam bentuk diplomasi, terutama
dengan perwakilan negeri Belanda.
Perundingan Linggarjati
Langkah awal yang dilakukan pemerintah
adalah mengeluarkan Maklumat 1 November 1945 yang isinya bahwa pemerintah
bersedia membayar semua utang yang dibuat Belanda sebelum PD II, mengembalikan
milik asing atau member ganti rugi atas milik asing yang sudah dikuasai
pemerintah. Kemudian, Maklumat 3 November 1945, memberi kesempatan kepada
rakyat untuk membentuk partai-partai politik. Langkah ini diikuti dengan
berubahnya system pemerintahan presidensial menjadi parlementer. Perubahan ini
dilengkapi dengan pergantian pimpinan dari Presiden Soekarno ke kabinet
ministerial dibawah PM. Sutan Syahrir. Kabinet ini segera mengadakan kontak
diplomatik dengan pihak Belanda.[1]
Pada masa
kepemimpinan Sutan Syahrir (Kabinet Syahrir), ia berusaha melakukan hubungan
diplomasi dengan Belanda. Suatu cara yang pada saat itu ditentang oleh banyak
tokoh nasionalis yang lebih mengutamakan perjuangan fisik. Salah satu cara
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mendapatkan pengakuan dari luar negeri
yaitu dengan cara melakukan perundingan, mulanya Pemerintah Inggris yang ingin
secepatnya melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugasnya di Indonesia
mengirimklan Sir A. Clark Kerr, sedangkan pemerintah Belanda diwakili oleh
Wakil Gubjend. Van Mook. Selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggungjawab untuk
menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Oleh sebab itu, Sir
Archibald Clark Kerr, diplomat dari Inggris mengundang Indonesia dan Belanda
untuk berunding di Hoogwe Veluwe dari tanggal 14-25 April 1946, namun
perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui
kedaulatannya atas Jawa, Sumatera, dan Madura, namun Belanda hanya mengakui
Indonesia atas Jawa dan Madura saja. Sehingga dengan gagalnya perundingan di
Hoogwe Veluwe ini, maka kemudian diselenggarakan kembali perundingan di
Linggarjati, Jawa Barat.
Perundingan
Linggarjati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di
Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan status kemerdekaan Indonesia. Bermula
ketika masuknya AFNEI yang datang dengan “memboncengi” NICA ke Indonesia karena
Jepang menetapkan status quo di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara
Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November.
Perundingan
Linggarjati diadakan pada tanggal 11 November samapai 13 November 1946, tetapi
para delegasi sudah berada di Linggarjati pada tanggal 10 November. Akan tetapi, hasil dari perundingan Linggarjati baru
bisa di tandatangani pada bulan
Maret 1947. Dalam senggang waktu tersebut, para delegasi
memperbaiki isi-isi dari perjanjian agar kedua belah pihak menemui titik temu
untuk menyetujui perjanjian Linggarjati. Pada mulanya gedung yang di jadikan
lokasi perundingan di Linggarjati adalah sebuah penginapan, kemudian
berdasarkan keterangan dari Soebadio Sastrosatomo dan Mr. Ali Boediardjo bahwa
mengusulkan Linggarjati sebagai lokasi perundingan kepada Sutan Sjahrir adalah
Ibu Mrs. Maria Ulfah Santoso, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri
Sosial RI.
Kemudian
terpilihnya lokasi di Linggarjati adalah dari pengusulan Ibu Mrs. Maria, lalu
ayahnya pernah menjabat sebagai Bupati Kuningan, sehingga ia mengenal betul
daerah tersebut. Lokasi Linggarjati ini terletak dilereng gunung Ciremai yang
memiliki hawa sejuk dan indah. Selain itu Residen Cirebon Hamdani maupun Bupati
Cirebon Makmun Sumadipradja, kedua pejabat tersebut kebetulan dari partai
Sosialis. Sehingga keamanannya terjamin. Selain faktor-faktor tersebut.
Dipilihnya Linggarjati sebgai lokasi perundingan adalah pada saat itu
menghindari pengaruh dari Belanda di Jakarta, dan lokasi Ibu Kota negara dipindahkan
ke Yogjakarta, sehingga dipilihnya Linggarjati adalah dilihat dari lokasi
Linggarjati terletak di tengah-tengah antara Jakarta dan Yogjakarta. Selain itu
faktor alam yang ketika itu daerah Linggarjati masih sepi, sekitar 10 rumah
yang berada di sekitar gedung tempat perundingan, sehingga lingkungan sekitar
juga mempengaruhi perundingan Linggarjati.
Delegasi-delegasi
Belanda dan Indonesia dalam rapat pada saat itu telah mendapatkan kata sepakat
tentang persetujuan di bawah ini, hal mana terbukti dari pemarapan naskah
tersebut dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Pemerintah Belanda, dalam
hal ini berwakilkan Komisi Jenderal, dan Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini berwakilkan
Delegasi Indonesia, atas dasar keinginan yang ikhlas hendak menetapkan
perhubungan yang baik antara kedua bangsa, Belanda dan Indonesia. Dengan
mengadakan cara dan bentuk-bangun yang baru, bagi kerja-sama dengan sukarela,
yang merupakan jaminan sebaik-baiknya bagi kemajuan yang baik, serta dengan
kukuh-teguhnya dari pada kedua negeri itu, di dalam masa datang, dan yang
membukakan jalan kepada kedua bangsa itu untuk mendasarkan perhubungan antara
kedua belah pihak atas dasar-dasar yang baru, menetapkan mufakat seperti
berikut, dengan ketentuan akan menganjurkan persetujuan ini selekas-lekasnya
untuk memperoleh kebenaran dari pada majelis-majelis perwakilan rakyatnya
masing-masing.
Adapun
tokoh yang terlibat dalam perundingan Linggarjati adalah:
1.
Tokoh yang berasal dari Indonesia: Sutan Sjahrir sebagai
ketua delegasi Indonesia, Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A. K. Gani, Mr.
Mohammad Roem. Adapun tokoh lainnya dari Indonesia yang berperan penting dalam
perundingan Linggarjati ini adalah Dr. Leimena, Dr. Soedarsono, Mr. Amir
Syarifuddin (menteri pertahanan), Mr. Ali Boediardjo (sekretaris). Semuanya
merupakan notulen sekaligus para saksi dari Indonesia dalam perjanjian ini.
2.
Tokoh yang berasal dari Belanda yaitu Prof. Mr. Schermerhorn
sebagai ketua delegasi Belanda, Dr. Van Mook, Mr. Van Pool, dan Dr. F. De Boer.
3.
Lord Killearn; merupakan seorang tokoh yang berasal dari
Inggris. Ia merupakan pemimpin perundingan sekaligus penengah atau mediator
dalam perundingan Linggarjati. Secara tegas perundingan Linggarjati berada
dibawah pengawasan Killearn. Killearn merupakan commissioner khusus Inggris untuk Asia Tenggara.
Isi Perundingan Linggarjati
Sebagai kelanjutan perundingan
sebelumnya, sejak tanggal 10 November 1946 di Linggajati diadakan perundingan
yang menghasilkan pokok-pokok sebagai berikut:
1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan
wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus
meninggalkan daerah tersebut paling lambat 1 Januari 1949.
2. Republik Indonesia dan Belanda akan
bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik
Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
3. Republik Indonesia Serikat dan
Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai
ketuanya (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1981:119).
Adapun isi dari Perundingan Linggarjati secara lengkap
terdiri dari 17 Pasal dan 1 Pasal Penutup.
Kendala dalam Pembuatan Perundingan
Pada akhirnya Persetujuan Linggarjati kemudian diparaf oleh
Schermerhorn dan Sutan Sjahrir di kediaman Sjahrir di Jakarta pada tanggal 15
November 1946. KNIP sendiri kemudian meratifikasi perjanjian tersebut pada
bulan Februari 1947, setelah memperbanyak jumlah anggotanya dari 200 menjadi
514 orang[2],
karena sebagian besar anggota KNIP yang lama menolak isi persetujuan tersebut.
Ditambah atas campur tangan Soekarno-Hatta yang akan
meletakan jabatan jika persetujuan Linggarjati tidak disetujui. Dan akhirnya
Persetujuan Linggarjati ditandatangani dengan khidmat di Istana Rijswijk (kini
Istana Negara) pada tanggal 25 Maret 1947.
Secara umum dikalangan Republik, baik politisi maupun
pejuang kemerdekaan, persetujuan Linggarjati ditolak karena dianggap terlalu
menguntungkan pihak Belanda. Penolakan diantaranya datang dari kalangan
nasionalis seperti dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Rakyat
dan laskar-laskar rakyat. Bahkan di suatu majalah laskar rakyat bernama “Godam
Jelata” ada sebuah puisi dengan kalimat tertulis “Anti Linggarjati sampai
mati”. Persetujuan Linggarjati hanya didukung secara nyata oleh partainya
Sjahrir, Partai Sosialis yang tergabung dalam sayap kiri, dan oleh
Soekarno-Hatta.
Dalam pelaksanaan persetujuan Linggarjati bulan Mei 1947,
Komisi Jenderal mengultimatum Pemerintah Indonesia untuk mengakui kedaulatan
Kerajaan Belanda atas Indonesia secara “de jure” sebelum tanggal 1 Januari 1949
dan sebelum itu Indonesia di bawah suatu pemerintahan sementara (interim)
dimana Raja/Ratu Belanda sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemerintahan
sementara ini secara prinsip diterima oleh Sjahrir pada tanggal 8 Juni 1947 dan
disetujui dalam rapat kabinet tanggal 20 Juni 1947.
Rupanya hal ini membawa dampak kurang baik bagi Sjahrir. Ia
dianggap terlalu banyak memberikan konsensi kepada Belanda terutama oleh
anggota partainya sendiri. Pada akhirnya sebagian besar anggota Partai Sosialis
di kabinet dan KNIP pun menarik dukungan terhadap Sjahrir pada tanggal 26 Juni
1947.
Dampak Perundingan terhadap Asing
Dampak perundingan terhadap asing,
dalam hal ini adalah Belanda, hasil perundingan ini tetap memberikan kesempatan
untuk Belanda membangun kembali kekuatannya di Indonesia. Pada dasarnya
pihak Belanda terpaksa untuk mengakui kedaulatan wilayah Indonesia. Belanda mengharapkan bahwa adanya
pelanggaran yang dilakukan Indonesia, sebagai dalih atau kesempatan untuk bisa
membangun kekuatan Belanda di Indonesia lagi.
Dampak Perundingan terhadap
Indonesia
Secara langsung, perundingan
Linggarjati berisikan tentang pemindahan kekuasaan dari daerah yang diduduki
oleh tentara sekutu dan Belanda secara berangsur-angsur. Namun hasil yang
paling diingat dari perundingan ini adalah adanya pengakuan oleh Belanda secara
de facto terhadap kekuasaan pemerintah RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera.
Karena ini merupakan titik tolak eksistensi Indonesia dalam pandangan asing.
Kesepakatan pembentukan RIS yang membuat Indonesia harus
menjadi bagian pesemakmuran kerajaan Belanda, tetap memberikan angin segar
kepada Indonesia yang menginginkan kedaulatan. Perundingan Linggarjati ini
membuat Indonesia terhindar dari banyaknya korban jiwa yang jatuh. Dimana
dengan adanya perundingan tersebut dimaksudkan untuk mencegah peperangan.
Perundingan Linggarjati yang diketuai Sjahrir ini didasari keyakinan bahwa
bagaimanapun juga jalan damai untuk mencapai tujuan adalah yang paling baik dan
paling aman bagi Indonesia karena kelemahannya di bidang militer (Moedjanto,
1988:183).
Selain dampak positif, terdapat pula
dampak negatif yaitu adanya gejolak dalam tubuh pemerintahan Indonesia. Hal
tersebut dikarenakan KNIP tidak secepatnya mengesahkan perjanjian linggarjati
karena dianggap terlalu menguntungkan pihak Hindia belanda ketimbang pihak
Indonesia sendiri yang dimana Indonesia menghendaki kemerdekaan sepenuhnya.
Beberapa partai seperti Masyumi, PNI dan pengikut Tan Malaka begitu keras
menentang perjanjian Linggarjati. Kelompok yang berseberangan menilai apa yang
dilakukan Sjahrir adalah demi memperoleh kekuasaan. Namun pada dasarnya
keberadaan Sjahrir bukanlah sebagai pengganti, akan tetapi pelengkap dan vital
bagi Soekarno-Hatta. Pimpinan revolusi kemerdekaan Indonesiapun ada dalam
tangan ketiga pimpinan yang saling mendukung dan sering disebut triumvirat de
facto, Soekarno-Hatta-Sjahrir (Loebis, 1992: 314-316). Walaupun pada akhirnya
KNIP mengesahkan perjanjian linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 setelah
Hatta mengancam Soekarno dan ia akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
presiden dan wakil presiden Indonesia.
Dampak yang lebih terasa lagi,
adanya Agresi Militer Belanda I terhadap Indonesia. Hal ini diakibatkan karena
Belanda menganggap Indonesia tidak patuh terhadap perjanjian linggarjati.
Dikarenakan Indonesia mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain,
padahal itu bukan wewenangnya. Pada tanggal 20 Juli 1947 Belanda menyatakan
tidak terikat lagi dengan perjanjian Linggarjati. Agresi pun dilakukan keesokan
harinya pada tanggal 21 Juli 1947 dimana Belanda melancarkan serangan ke daerah
Jawa dan Sumatera dengan pesawat terbang melakukan pemboman dan penculikan
petinggi negara Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar