Terjadinya agresi militer Belanda I merupakan akibat dari
perbedaan penafsiran tentang isi perundingan Linggarjati. Sekalipun
persetujuan Linggarjati telah ditandatangani, hubungan Indonesia-Belanda tidak
bertambah baik. Perbedaan tafsir mengenai beberapa pasal Persetujuan
Linggarjati, menjadi pangkal perselisihan. Apalagi, pihak Belanda secara
terang-terangan melanggar gencatan senjata yang telah diumumkan bersama pada
tanggal 12 Februari 1947, seminggu sebelum Persetujuan Linggarjati
ditandatangani. Pada tanggal 27 Mei 1947, Komisi Jenderal menyampaikan nota
kepada pemerintah RI melalui misi Idenburgh. Nota tersebut harus dijawab oleh
pemerintah RI dalam tempo dua minggu.
Sementara itu, terjadi lagi krisis
politik. Pada tanggal 27 Juni 1947 Syahrir mengundurkan diri sebagai Perdana
Menteri. Kabinet baru dibawah pimpinan perdana menteri Amir Syafruddin,
terbentuk pada tanggal 3 Juli 1947. Seperti Syahrir, Amin berusaha mendekati
tuntutan Belanda. Namun, Belanda tidak puas. Pada tanggal 15 Juli mereka
menyampaikan nota yang bersifat ultimatif. Selain mengulang tuntutan untuk
membentuk gendermerie bersama,
Belanda menuntut pula agar paling lambat tanggal 16 Juli RI harus menghentikan
semua bentuk permusuhan dan TNI harus mengundurkan diri sejauh sepuluh
kilometer dari batas daerah yang diduduki Belanda. Pengunduran itu sudah harus
selesai selambat-lambatnya pada tanggal 17 Juli 1947. Nota yang bersifat
ultimatif itu tidak pernah dijawab oleh Kabinet Amir Syarifuddin. Pada tanggal
21 Juli 1947 Belanda melancarkan agresi militer pertama.
Agresi Militer Belanda I menimbulkan
reaksi dari seluruh dunia. Hal tersebut merupakan suatu ancaman terhadap
perdamaian dunia. Kedudukan Republik Indonesia semakin kuat dan dunia luar
mengakui perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejak itu organisasi internasional
tersebut memberikan jasa-jasa baik untuk menyelesaikan sengketa Indonesia
dengan Belanda.
Dalam sidang DK PBB tanggal 1 Agustus
1947 dikeluarkan satu seruan kepada kedua belah pihak yang sedang bermusuhan
(Indonesia-Belanda) untuk segera menghentikan tembak-menembak; menyelesaikan
pertikaian dengan cara perwasitan (arbitrase)
atau dengan cara-cara damai yang lain, dan melaporkan hasil-hasil penyelesaian
itu kepada Dewan Keamanan. Demikianlah, pada tanggal 4 Agustug 1947 berlaku
gencatan senjata dan kemudian meningkat pada perundingan.
Suatu teks resmi keputusan DK PBB yang
disampaikan kepada Republik Indonesia berbunyi ”supaya membuat laporan yang
sesungguhnya tentang keadaan di Indonesia; pembentukan suatu komisi yang akan
memberikan jasa-jasa baik untuk membantu penyelesaian pertikaian Indonesia
dengan Belanda. Sehubungan dengan itu, Duta Keliling Republik Indonesia, Sutan
Syahrir diminta oleh sidang Dewan Keamanan berbicara di muka sidang DK
menjelaskan perjuangan rakyat Indonesia dan perihal politik penjajahan Belanda.
Syahrir meminta DK untuk membentuk suatu badan arbitrase yang tidak memihak.
Dewan Keamanan kemudian menawarkan
suatu komisi jasa-jasa baik sebagai suatu kompromi, yang kemudian terkenal
dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN). Anggota KTN seorang dipilih oleh
Indonesia, seorang dipilih oleh Belanda, sedangkan kedua anggota itu memilih
anggota ketiga. Pemerintah RI memilih Australia yang diwakili oleh Richard C.
Kirby, Belanda memilih Belgia yang diwakili oleh Paul van Zeeland, dan Amerika
Serikat menunjuk Dr. Frank B. Graham.
KTN dapat bekerja secara efektif
setelah para anggotanya tiba di Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1947. Sejak
dikeluarkannya resolusi DK PBB pada tanggal 1 November 1947, tugas KTN bukan
lagi hanya di bidang politik, melainkan juga di bidang militer. Kontak
pendahuluan yang dilakukan oleh KTN dengan kedua pihak yang bersengketa itu
menunjukkan bahwa tiap-tiap pihak tidak mau bertemu di wilayah yang dikuasai
pihak lainnya. Oleh karena itu, kedua belah pihak akhirnya menerima baik
tawaran pemerintah Amerika Serikat yang menyediakan kapal angkut pasukan Renville sebagai tempat netral.
Persetujuan
Renville
Perundingan ini akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada
tangal 8 Desember 1947 di atas Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta.
Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifuddin, sedangkan
delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjoojoatmodjo, seorang Indonesia
yang memihak Belanda. (Sudharmono, 1981: 155)
Meskipun sudah tercapai persetujuan di atas Kapal
Renville, tembak-menembak belum juga berhenti sementara KTN praktis tidak
berdaya. Pada tanggal 9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada
Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan
menarik TNI dari daerah-daerah gerilya ke Yogyakarta. Dan di dalam suasana
seperti itu, perjanjian Renville akhirnya ditandatangani tepat pada tanggal 17
Januari 1948, disusul dengan instruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal
19 Januari 1948.
Setelah diadakan serangkaian pendekatan lagi, perundingan
akhirnya menerima saran-saran KTN, yang pokok-pokoknya adalah:
1.
Segera dikeluarkan perintah
penghentian tembak-menembak di sepanjang “Garis van Mook”.
2.
Penghentian tembak-menembak
segera diikuti dengan perjanjian perletakan senjata dan pembentukan
daerah-daerah kosong militer (demiliterized zones).
Perjanjian Renville terdiri dari: 10 pasal persetujuan
gencatan senjata, 12 pasal prinsip politik, 6 pasal prinsip tambahan dari KTN,
dan isi Perjanjian Renville:
1.
Belanda hanya mengakui Jawa
Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
2.
Disetujuinya sebuah garis
demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
3.
TNI harus ditarik mundur
dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Timur Indonesia di
Yogyakarta
Berdasarkan persetujuan Renville Wilayah
Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih
terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati yaitu hanya meliputi
sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat
pulau Jawa–Banten.
Sebagai hasil
Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan wilayah-wilayah yang
dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa
Tengah. Selain itu juga wilayah-wilayah yang dikuasai Indonesia semakin
menyempit.
Dengan ada dan di sepakatinya perjanjian Renvile ini,
dilihat justru memojokkan keadaan bangsa kita dan justru semakin membuka
peluang negara Belanda pada waktu itu untuk menduduki sebagian besar wilayah
republic Indonesia, dan hal inilah yang justru memicu ketidakpercayaan rakyat
pada Perdana Menteri Amir Syarifudin yang dinilai gagal karena terlalu membuka
peluang Belanda untuk lebh dapat menguasai berbagai wilayah Indonesia yang
dinilai lebih memiliki sumber daya alam yang melimpah, oleh karena itu dengan
adanya perjanjian Renvile ini sangatlah memberikan berbagai dampak yang
signifikan, dan berbagai dampak tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
·
Secara politis wilayah kekuasaan Indonesia semakin
menyempit
Dengan di tetapkannya garis
Van Mook yang di perpaparah dengan adanya persetujuan dari pihak Indonesia yang
diwakili oleh PM Amier Syarifudin, sangat berdampak pada semakin terbuka dan
luasnya wilayah-wilayah Indonesia yang dikuasai oleh Belanda, ini akan sangat
terasa, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. dalam hal politik ruang gerak
pemerintahan kita akan semakin terbatasi karena berbagai wilayah mutlak berada
di bawah kekuasaan Belanda, sedangkan dalam hal ekonomi berbagai wilayah
strategis yang tentunya memiliki kekayaan sumber daya alam yang banyak dan
berharga seperti minyak, berada dalam wilayah kekuasaan Belanda dan tentunya
akan memberikan sebuah dampak yang besar bagi perjuangan revolusi Indonesia.
·
Indonesia harus menyutujui dan merealisasikan pembentukan
RIS
Yang sangat terlihat dengan
adanya perjanjian Renvile ini adalah pemerintahan Indonesia harus
merealisasikan dan membentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat yang
justru semakin jauh dari cita-cita dan harapan masyarakat Indonesia yang sejak
awal sudah menginginkan persatuan seluruh Indonesia. Dengan adanya RIS ini di
ibaratkan seperti negara bentukan Belanda yang dalam perkembangannya akan
dengan mudah memecah belah antara berbagai wilayah Indonesia itu sendiri. Dan
justru ini akan sangat melemahkan bangsa kita untuk dapat keluar dari
cengkeraman Belanda itu sendiri.
·
Melemahkan kekuatan Indonesia secara militer
Hal yang akan sangat Nampak
dengan adanya perjanjian Renvile ini adalah bagaimana pasukan-pasukan gerilya
Indonesia yang tersebar di pelosok sebenarnya sangat menyulitkan Belanda tapi
dengan adanya perjanjian ini maka pasukan-pasukan Indonesia harus segera
meninggalkan berbagai wilayah yang memang masuk dalam kekuasaan Belanda, yang
memungkinkan ini akan melemahkan perjuangan para gerilyawan Indonesia di
berbagai wilayah. Dan akan semakin mempersempit para pejuang untuk melakukan
perjuangan perang yang dapat menyulitkan Belanda.
Secara ekonomi menimbulkan blockade ekonomi
dari Belanda
Dengan adanya perjanjian
ini, menimbukan ada kekuatan politis yang justru menguntungan pihak Belanda dan
ini memungkinkan sebuah jalan kekuasaan yang lebih luas untuk Belanda itu
sendiri sehingga Belanda memiliki daulat penuh atas berbagai wilayah di
Indonesia sampai dengan RIS itu terbentuk, sehingga Belanda dengan mudah
melakukan sebuah blockade ekonomi di berbagai wilayah republic Indonesia yang
justru akan sangat memungkinkan Indonesia berada di ujung tanduk dan semakin
membuat Belanda kuat secara politis. Dengan adanya blockade ini akan membuat
perjuangan bangsa dan pasukan yang membela tanah air kita akan semakin berat
dalam mencapai berbagai tujuan awalnya.
Jatuhnya
Kabinet Amir Syarifudin
Dengan timbulnya sebuah
perjanjian yang justru sangat menguntungkan Belanda, seolah-olah menjadi efek
domino yang membuat PM Amir Syarifudin digantikan menjadi perdana menteri saat
itu,karena di anggap tidak bisa mengambil sebuah langkah strategis yang bisa
menguntungkan rakyat Indonsia kebanyakan. Inilah yang membuat Amir Syarifudin
di kecam dan digantikan oleh Moch. Hatta. Dengan adanya penggulingan ini
menimbulkan kekecewaan yang sangat dalam dari Amir Syarifudin terutama dari
pengikutnya yang bersayap kiri sehingga membuat dia untuk menjadi oposisi dan
membuat sebuah poros yang di kenal dengan FDR. Setelah munculnya poros sayap
kiri ini di sebutkan bahwa “FDR sejak itu menjadikan usaha perebutan kekuasaan
dalam negeri sebagai tujuan utama, sehingga segala cara dilakukan seperti
antara lain demontrasi-demontrasi yang meningkat pada pemogokan-pemogokan.” (
Nasution. 1979:4). Di siinilah dapat diketahui bahwa dengan adanya FDR ini semakin
memperumit alur perpolitikan Indonesia pada masa itu.
0 komentar:
Posting Komentar