Rabu, 12 Juli 2017

Agresi Militer Belanda I dan Perjanjian Renvile

Terjadinya agresi militer Belanda I merupakan akibat dari perbedaan penafsiran tentang isi perundingan Linggarjati. Sekalipun persetujuan Linggarjati telah ditandatangani, hubungan Indonesia-Belanda tidak bertambah baik. Perbedaan tafsir mengenai beberapa pasal Persetujuan Linggarjati, menjadi pangkal perselisihan. Apalagi, pihak Belanda secara terang-terangan melanggar gencatan senjata yang telah diumumkan bersama pada tanggal 12 Februari 1947, seminggu sebelum Persetujuan Linggarjati ditandatangani. Pada tanggal 27 Mei 1947, Komisi Jenderal menyampaikan nota kepada pemerintah RI melalui misi Idenburgh. Nota tersebut harus dijawab oleh pemerintah RI dalam tempo dua minggu.
Sementara itu, terjadi lagi krisis politik. Pada tanggal 27 Juni 1947 Syahrir mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri. Kabinet baru dibawah pimpinan perdana menteri Amir Syafruddin, terbentuk pada tanggal 3 Juli 1947. Seperti Syahrir, Amin berusaha mendekati tuntutan Belanda. Namun, Belanda tidak puas. Pada tanggal 15 Juli mereka menyampaikan nota yang bersifat ultimatif. Selain mengulang tuntutan untuk membentuk gendermerie bersama, Belanda menuntut pula agar paling lambat tanggal 16 Juli RI harus menghentikan semua bentuk permusuhan dan TNI harus mengundurkan diri sejauh sepuluh kilometer dari batas daerah yang diduduki Belanda. Pengunduran itu sudah harus selesai selambat-lambatnya pada tanggal 17 Juli 1947. Nota yang bersifat ultimatif itu tidak pernah dijawab oleh Kabinet Amir Syarifuddin. Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan agresi militer pertama.
Agresi Militer Belanda I menimbulkan reaksi dari seluruh dunia. Hal tersebut merupakan suatu ancaman terhadap perdamaian dunia. Kedudukan Republik Indonesia semakin kuat dan dunia luar mengakui perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejak itu organisasi internasional tersebut memberikan jasa-jasa baik untuk menyelesaikan sengketa Indonesia dengan Belanda.
Dalam sidang DK PBB tanggal 1 Agustus 1947 dikeluarkan satu seruan kepada kedua belah pihak yang sedang bermusuhan (Indonesia-Belanda) untuk segera menghentikan tembak-menembak; menyelesaikan pertikaian dengan cara perwasitan (arbitrase) atau dengan cara-cara damai yang lain, dan melaporkan hasil-hasil penyelesaian itu kepada Dewan Keamanan. Demikianlah, pada tanggal 4 Agustug 1947 berlaku gencatan senjata dan kemudian meningkat pada perundingan.
Suatu teks resmi keputusan DK PBB yang disampaikan kepada Republik Indonesia berbunyi ”supaya membuat laporan yang sesungguhnya tentang keadaan di Indonesia; pembentukan suatu komisi yang akan memberikan jasa-jasa baik untuk membantu penyelesaian pertikaian Indonesia dengan Belanda. Sehubungan dengan itu, Duta Keliling Republik Indonesia, Sutan Syahrir diminta oleh sidang Dewan Keamanan berbicara di muka sidang DK menjelaskan perjuangan rakyat Indonesia dan perihal politik penjajahan Belanda. Syahrir meminta DK untuk membentuk suatu badan arbitrase yang tidak memihak.
Dewan Keamanan kemudian menawarkan suatu komisi jasa-jasa baik sebagai suatu kompromi, yang kemudian terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN). Anggota KTN seorang dipilih oleh Indonesia, seorang dipilih oleh Belanda, sedangkan kedua anggota itu memilih anggota ketiga. Pemerintah RI memilih Australia yang diwakili oleh Richard C. Kirby, Belanda memilih Belgia yang diwakili oleh Paul van Zeeland, dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank B. Graham.
KTN dapat bekerja secara efektif setelah para anggotanya tiba di Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1947. Sejak dikeluarkannya resolusi DK PBB pada tanggal 1 November 1947, tugas KTN bukan lagi hanya di bidang politik, melainkan juga di bidang militer. Kontak pendahuluan yang dilakukan oleh KTN dengan kedua pihak yang bersengketa itu menunjukkan bahwa tiap-tiap pihak tidak mau bertemu di wilayah yang dikuasai pihak lainnya. Oleh karena itu, kedua belah pihak akhirnya menerima baik tawaran pemerintah Amerika Serikat yang menyediakan kapal angkut pasukan Renville sebagai tempat netral.

Persetujuan Renville
Perundingan ini akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tangal 8 Desember 1947 di atas Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjoojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda. (Sudharmono, 1981: 155)
Meskipun sudah tercapai persetujuan di atas Kapal Renville, tembak-menembak belum juga berhenti sementara KTN praktis tidak berdaya. Pada tanggal 9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan menarik TNI dari daerah-daerah gerilya ke Yogyakarta. Dan di dalam suasana seperti itu, perjanjian Renville akhirnya ditandatangani tepat pada tanggal 17 Januari 1948, disusul dengan instruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.
Setelah diadakan serangkaian pendekatan lagi, perundingan akhirnya menerima saran-saran KTN, yang pokok-pokoknya adalah:
1.      Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak di sepanjang “Garis van Mook”.
2.      Penghentian tembak-menembak segera diikuti dengan perjanjian perletakan senjata dan pembentukan daerah-daerah kosong militer (demiliterized zones).

Perjanjian Renville terdiri dari: 10 pasal persetujuan gencatan senjata, 12 pasal prinsip politik, 6 pasal prinsip tambahan dari KTN, dan isi Perjanjian Renville:
1.      Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
2.      Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
3.      TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta
Berdasarkan persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati yaitu hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa–Banten.
Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Selain itu juga wilayah-wilayah yang dikuasai Indonesia semakin menyempit.
Dengan ada dan di sepakatinya perjanjian Renvile ini, dilihat justru memojokkan keadaan bangsa kita dan justru semakin membuka peluang negara Belanda pada waktu itu untuk menduduki sebagian besar wilayah republic Indonesia, dan hal inilah yang justru memicu ketidakpercayaan rakyat pada Perdana Menteri Amir Syarifudin yang dinilai gagal karena terlalu membuka peluang Belanda untuk lebh dapat menguasai berbagai wilayah Indonesia yang dinilai lebih memiliki sumber daya alam yang melimpah, oleh karena itu dengan adanya perjanjian Renvile ini sangatlah memberikan berbagai dampak yang signifikan, dan berbagai dampak tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
·         Secara politis wilayah kekuasaan Indonesia semakin menyempit
Dengan di tetapkannya garis Van Mook yang di perpaparah dengan adanya persetujuan dari pihak Indonesia yang diwakili oleh PM Amier Syarifudin, sangat berdampak pada semakin terbuka dan luasnya wilayah-wilayah Indonesia yang dikuasai oleh Belanda, ini akan sangat terasa, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. dalam hal politik ruang gerak pemerintahan kita akan semakin terbatasi karena berbagai wilayah mutlak berada di bawah kekuasaan Belanda, sedangkan dalam hal ekonomi berbagai wilayah strategis yang tentunya memiliki kekayaan sumber daya alam yang banyak dan berharga seperti minyak, berada dalam wilayah kekuasaan Belanda dan tentunya akan memberikan sebuah dampak yang besar bagi perjuangan revolusi Indonesia.
·         Indonesia harus menyutujui dan merealisasikan pembentukan RIS
Yang sangat terlihat dengan adanya perjanjian Renvile ini adalah pemerintahan Indonesia harus merealisasikan dan membentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat yang justru semakin jauh dari cita-cita dan harapan masyarakat Indonesia yang sejak awal sudah menginginkan persatuan seluruh Indonesia. Dengan adanya RIS ini di ibaratkan seperti negara bentukan Belanda yang dalam perkembangannya akan dengan mudah memecah belah antara berbagai wilayah Indonesia itu sendiri. Dan justru ini akan sangat melemahkan bangsa kita untuk dapat keluar dari cengkeraman Belanda itu sendiri.
·         Melemahkan kekuatan Indonesia secara militer
Hal yang akan sangat Nampak dengan adanya perjanjian Renvile ini adalah bagaimana pasukan-pasukan gerilya Indonesia yang tersebar di pelosok sebenarnya sangat menyulitkan Belanda tapi dengan adanya perjanjian ini maka pasukan-pasukan Indonesia harus segera meninggalkan berbagai wilayah yang memang masuk dalam kekuasaan Belanda, yang memungkinkan ini akan melemahkan perjuangan para gerilyawan Indonesia di berbagai wilayah. Dan akan semakin mempersempit para pejuang untuk melakukan perjuangan perang yang dapat menyulitkan Belanda.
Secara ekonomi menimbulkan blockade ekonomi dari Belanda
Dengan adanya perjanjian ini, menimbukan ada kekuatan politis yang justru menguntungan pihak Belanda dan ini memungkinkan sebuah jalan kekuasaan yang lebih luas untuk Belanda itu sendiri sehingga Belanda memiliki daulat penuh atas berbagai wilayah di Indonesia sampai dengan RIS itu terbentuk, sehingga Belanda dengan mudah melakukan sebuah blockade ekonomi di berbagai wilayah republic Indonesia yang justru akan sangat memungkinkan Indonesia berada di ujung tanduk dan semakin membuat Belanda kuat secara politis. Dengan adanya blockade ini akan membuat perjuangan bangsa dan pasukan yang membela tanah air kita akan semakin berat dalam mencapai berbagai tujuan awalnya.
Jatuhnya Kabinet Amir Syarifudin

Dengan timbulnya sebuah perjanjian yang justru sangat menguntungkan Belanda, seolah-olah menjadi efek domino yang membuat PM Amir Syarifudin digantikan menjadi perdana menteri saat itu,karena di anggap tidak bisa mengambil sebuah langkah strategis yang bisa menguntungkan rakyat Indonsia kebanyakan. Inilah yang membuat Amir Syarifudin di kecam dan digantikan oleh Moch. Hatta. Dengan adanya penggulingan ini menimbulkan kekecewaan yang sangat dalam dari Amir Syarifudin terutama dari pengikutnya yang bersayap kiri sehingga membuat dia untuk menjadi oposisi dan membuat sebuah poros yang di kenal dengan FDR. Setelah munculnya poros sayap kiri ini di sebutkan bahwa “FDR sejak itu menjadikan usaha perebutan kekuasaan dalam negeri sebagai tujuan utama, sehingga segala cara dilakukan seperti antara lain demontrasi-demontrasi yang meningkat pada pemogokan-pemogokan.” ( Nasution. 1979:4). Di siinilah dapat diketahui bahwa dengan adanya FDR ini semakin memperumit alur perpolitikan Indonesia pada masa itu.

0 komentar:

Posting Komentar