Daerah
Makassar baru Islam pada awal abad ke 17, yaitu ketika dalam tahun 1605 kedua
penguasa dari kerajaan kembar Tallo dan Gowa memeluk agama Islam. Gowa Tallo
biasanya disebut kerajaan Makassar, Makassar sebetulnya adalah nama suku
bangsanya. Tallo merupakan kerajaan yang berbatasan dengan Gowa, akan tetapi
selalu bersatu, sehingga merupakan kerajaan kembar. Istana raja Gowa, raja
tertua diantara kedua raja, terletak di Sambaopu. Orang orang asing menamakan
raja ini raja Makasar atau Sultan Makasar.
Letak
kerajaan Gowa Tallo di Semenanjung Barat daya pulau Sulawesi sangat strategis
dilihat dari sudut perdagangan rempah rempah dikepulauan Nusantara ini,
meskipun sebetulnya kerajaan Gowa Tallo tidak mempunyai hasil hasil yang dapat
diperdagangkan, kecuali beras. Sebagai suatu daerah pelabuhan Transito,
kerajaan kerajaan Gowa Tallo memainkan peranan penting. Di sinilah para nelayan
kepulauan Maluku mengisi perbekalan mereka untuk melanjutkan perjalanannya.
Rempah rempah dari Maluku kemudian dapat dibeli atau diperdagangkan dipelabuhan
Gowa Tallo karena sikap raja an
bijaksana, yang tidak pandang agama, maka kerajaan Gowa Tallo itu disinggahi
oleh bermacam macam bangsa, baik bangsa Asia maupun bnga Eropa. Disekitar tahun
1600 rempah rempah yang dapat dibeli dipelabuhan ini seringkali lebih murah
daripada di Maluku sendiri.
Sejak
Gowa Tallo atau Makasar tampil sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini
menjalin hubungan yang baik dengan Ternate, suatu kerajaan pusat cengkeh, Ternate
mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gwa Tallo, ketika inilah raja Ternate
berusaha mengajak penguasa Gowa Tallo untuk ikut menganut Islam, tetapi gagal.
Baru pada waktu Dato’ ri Bandang datang ke kerajaan Gowa Tallo, agama islam
mulai masuk dikerajaan ini. Sultan Alauddin (1591-1636) adalah Sultan Gowa Tallo yang pertama
menganut islam pada tahun 1605.
Sejalan
dengan tradisi yang telah diterima oleh raja, keturunan to Manurung, yang konon
“ berdarah putih “yang mengharuskan seorang raja untuk memberitahukan hal baik
kepada yang lain, maka kerajaan kembar Gowa Tallo pun menyampaikan pesan Islam
kepada kerajaan kerajaan lain seperti Luwu, yang lebih tua, menerima dengan
baik.
Pada
pertengahan abad ke 16 terjadi peperangan antara kerajaan Gowa Tallo dan Bone,
yang terletak di teluk Bone. Penyebab peperangan ialah hasrat raja Gowa Tallo
untuk meluaskan pengaruhnya kedaerah kerajaan Bone. Raja yang berkuasa
dikerajaan Gowa Tallo ialah Raja I Mariogan Daeng Bonto Lakiung, swdangkan
lawannya di Bone adalah raja Ia Tenrirawe Bongkange Matinroiri Guciana.
Peperangan yang terjadi tidak membawa kemenangan bagi Gowa Tallo, raja Gowa
Tallo wafat karena sakit. Penggantinya pun tidak berhasil menaklukan Bone,
karena gugur dalam pertempuran.
Perang
itu tidak menguntungkan kedua belah pihak, maka penasehat raja Bone menasehatkan
untuk mengembalikan jenazah raja Gowa Tallo dengan segala kehormatan yang patut
diberikan kepada seorang raja. Nasehat itu dilaksanakan, Kajao Lalido pun
mengambil prakarsa untuk pertentangan dengan mengadakan peertemuan di Callepa,
dan tercapai suatu persetujuan yang disebut perjanjian Ulung Kanaya’ ri
callepa.
Pada
akhir abad ke 16 perjanjian yang diadakan di Callepa, mulai menjadi luntur
karena raja Gowa tidak lagi menepati perjanjian dan aliansi itu. Akibatnya
terjadi perang lagi antara Gowa dan Bone. Karena Bone terikat perjanjian dengan
Wajo dan Soppeng, maka pertentangan Gowa Tallo datang dari ketiga kerajaan itu.
Gowa Tallo baru berhasil mengalahkan kerajaan kerajaan Bugis setelah memeluk
islam. raja Bone pertama yang 3 lagi, sehingga Bone diserang. La Maderemeng
dibawa ke Gowa Tallo, disini raja Bone membuktikan dirina penuntu agama yang
taat. Ia kemudian kembali ke Bone, etapi karena terlalu ketat menjalankan
peraturan peraturan agama, ibunya sendiri melarikan diri ke Gowa Tallo. Jalan
ini tidak disenangi oleh Gowa Tallo, sehingga Gowa Tallo menyatakan perang
dengan Bone pada tahun 1643. Raja Bone dapat ditawan, dan Gowa Tallo menugaskan
Arung pitu dikerajaan Bone untuk mencarikan pengganti raja. Tetapi setelah
mereka berupaya, mereka tiba pada keputusan untuk mengangkat raja Gowa Tallo
saja sebagai rajanya.
Tetapi
raja Gowa Tallo menolak, namun krisis krisis politik yang berkelanjutan di Bone
menyebabkan Gowa Tallo kembali menyeang Bone. Ketika inilah raja Gowa menjadi
penguasa resmi Bone meskipun pemerintahan diwakilkan kepada orang lain. Pada
tahun 1667 putra La Maderemeng, Aru palaka, yang hidup selama bertahun tahun
diistana Gowa, sebagai tawanan “ terhormat “, berhasil membuat takhtanya
melebihi Sultan Hasanuddin dari Gowa Dengan bantuan VOC. Perang Bone yang
bersekutu dengan kompeni untuk menghadapi Gowa Tallo dan Wajo berakhir dengan
penandatanganan perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Perjanjian ini bagi Bone berarti
menundukkan Wajo sendiri. Suatu perjanjian antara Bone dan Wajo pun jadi
kenyataan. Dengan demikian perjuangan Arupalaka untuk mempersatukan kembali
Tanah Bugis tercapai, raja Bone oleh kompeni kemudian dinamakan “ De koning der
Boeginessen”.
0 komentar:
Posting Komentar