Selasa, 04 Juli 2017

KERAJAAN MAKASAR

Daerah Makassar baru Islam pada awal abad ke 17, yaitu ketika dalam tahun 1605 kedua penguasa dari kerajaan kembar Tallo dan Gowa memeluk agama Islam. Gowa Tallo biasanya disebut kerajaan Makassar, Makassar sebetulnya adalah nama suku bangsanya. Tallo merupakan kerajaan yang berbatasan dengan Gowa, akan tetapi selalu bersatu, sehingga merupakan kerajaan kembar. Istana raja Gowa, raja tertua diantara kedua raja, terletak di Sambaopu. Orang orang asing menamakan raja ini raja Makasar atau Sultan Makasar.

Letak kerajaan Gowa Tallo di Semenanjung Barat daya pulau Sulawesi sangat strategis dilihat dari sudut perdagangan rempah rempah dikepulauan Nusantara ini, meskipun sebetulnya kerajaan Gowa Tallo tidak mempunyai hasil hasil yang dapat diperdagangkan, kecuali beras. Sebagai suatu daerah pelabuhan Transito, kerajaan kerajaan Gowa Tallo memainkan peranan penting. Di sinilah para nelayan kepulauan Maluku mengisi perbekalan mereka untuk melanjutkan perjalanannya. Rempah rempah dari Maluku kemudian dapat dibeli atau diperdagangkan dipelabuhan Gowa Tallo  karena sikap raja an bijaksana, yang tidak pandang agama, maka kerajaan Gowa Tallo itu disinggahi oleh bermacam macam bangsa, baik bangsa Asia maupun bnga Eropa. Disekitar tahun 1600 rempah rempah yang dapat dibeli dipelabuhan ini seringkali lebih murah daripada di Maluku sendiri.

Sejak Gowa Tallo atau Makasar tampil sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan yang baik dengan Ternate, suatu kerajaan pusat cengkeh, Ternate mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gwa Tallo, ketika inilah raja Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa Tallo untuk ikut menganut Islam, tetapi gagal. Baru pada waktu Dato’ ri Bandang datang ke kerajaan Gowa Tallo, agama islam mulai masuk dikerajaan ini.  Sultan  Alauddin (1591-1636)  adalah Sultan Gowa Tallo yang pertama menganut islam pada tahun 1605.
Sejalan dengan tradisi yang telah diterima oleh raja, keturunan to Manurung, yang konon “ berdarah putih “yang mengharuskan seorang raja untuk memberitahukan hal baik kepada yang lain, maka kerajaan kembar Gowa Tallo pun menyampaikan pesan Islam kepada kerajaan kerajaan lain seperti Luwu, yang lebih tua, menerima dengan baik.

Pada pertengahan abad ke 16 terjadi peperangan antara kerajaan Gowa Tallo dan Bone, yang terletak di teluk Bone. Penyebab peperangan ialah hasrat raja Gowa Tallo untuk meluaskan pengaruhnya kedaerah kerajaan Bone. Raja yang berkuasa dikerajaan Gowa Tallo ialah Raja I Mariogan Daeng Bonto Lakiung, swdangkan lawannya di Bone adalah raja Ia Tenrirawe Bongkange Matinroiri Guciana. Peperangan yang terjadi tidak membawa kemenangan bagi Gowa Tallo, raja Gowa Tallo wafat karena sakit. Penggantinya pun tidak berhasil menaklukan Bone, karena gugur dalam pertempuran.
Perang itu tidak menguntungkan kedua belah pihak, maka penasehat raja Bone menasehatkan untuk mengembalikan jenazah raja Gowa Tallo dengan segala kehormatan yang patut diberikan kepada seorang raja. Nasehat itu dilaksanakan, Kajao Lalido pun mengambil prakarsa untuk pertentangan dengan mengadakan peertemuan di Callepa, dan tercapai suatu persetujuan yang disebut perjanjian Ulung Kanaya’ ri callepa.

Pada akhir abad ke 16 perjanjian yang diadakan di Callepa, mulai menjadi luntur karena raja Gowa tidak lagi menepati perjanjian dan aliansi itu. Akibatnya terjadi perang lagi antara Gowa dan Bone. Karena Bone terikat perjanjian dengan Wajo dan Soppeng, maka pertentangan Gowa Tallo datang dari ketiga kerajaan itu. Gowa Tallo baru berhasil mengalahkan kerajaan kerajaan Bugis setelah memeluk islam. raja Bone pertama yang 3 lagi, sehingga Bone diserang. La Maderemeng dibawa ke Gowa Tallo, disini raja Bone membuktikan dirina penuntu agama yang taat. Ia kemudian kembali ke Bone, etapi karena terlalu ketat menjalankan peraturan peraturan agama, ibunya sendiri melarikan diri ke Gowa Tallo. Jalan ini tidak disenangi oleh Gowa Tallo, sehingga Gowa Tallo menyatakan perang dengan Bone pada tahun 1643. Raja Bone dapat ditawan, dan Gowa Tallo menugaskan Arung pitu dikerajaan Bone untuk mencarikan pengganti raja. Tetapi setelah mereka berupaya, mereka tiba pada keputusan untuk mengangkat raja Gowa Tallo saja sebagai rajanya.


Tetapi raja Gowa Tallo menolak, namun krisis krisis politik yang berkelanjutan di Bone menyebabkan Gowa Tallo kembali menyeang Bone. Ketika inilah raja Gowa menjadi penguasa resmi Bone meskipun pemerintahan diwakilkan kepada orang lain. Pada tahun 1667 putra La Maderemeng, Aru palaka, yang hidup selama bertahun tahun diistana Gowa, sebagai tawanan “ terhormat “, berhasil membuat takhtanya melebihi Sultan Hasanuddin dari Gowa Dengan bantuan VOC. Perang Bone yang bersekutu dengan kompeni untuk menghadapi Gowa Tallo dan Wajo berakhir dengan penandatanganan perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Perjanjian ini bagi Bone berarti menundukkan Wajo sendiri. Suatu perjanjian antara Bone dan Wajo pun jadi kenyataan. Dengan demikian perjuangan Arupalaka untuk mempersatukan kembali Tanah Bugis tercapai, raja Bone oleh kompeni kemudian dinamakan “ De koning der Boeginessen”. 

0 komentar:

Posting Komentar