Oleh
Abdul Harits
Ritonga
Masih teringat saya
ketika di Ambarawa, saya berdiri menatap patung yang besar itu...
Patung itu
didedikasikan kepada jenderal besar yang pertama di Indonesia, yakni Sudirman.
patung setinggi 7 meter itu berdiri gagah sambil menghormat, menghadap ke barat
laut...
Setiap orang yang
pertama melihatnya mungkin merasa takjub, termasuk saya di kala itu...
Namun mengapa kini
saya merasa risih dan miris melihatnya?
Setiap tanggal 10
November, Taman Makam Pahlawan di setiap provinsi pasti diisi, paling tidak
oleh serombongan saja, yang menabur bunga ke pusara para pahlawan. Terkadang,
"jalan panjang" menuju taman peristirahatan jasad tersebut dilakukan,
sampai badan dicat bertuliskan "10 November". terkadang lagi, lilin
dinyalakan di malam hari sambil bergerombol dan menanyi lagu-lagu pahlawan yang
sedu.
Konsep Pahlawan
Nasional yang ditawarkan pemerintah menghasilkan banyak sekali semua
simbolisasi semacam di atas, dan masalah lain timbul kemudian...
Mulai dari Gajah
Mada, yang diangkat sebagai tokoh pemersatu Nusantara dalam buku-buku sejarah,
di mana tidak ada jalan manapun di Jawa Barat yang memakai nama tersebut
mengingat luka lama yang ditorehkannya. Pattimura, atau Thomas Matulessi,
sebagian orang menganggap beliau adalah seorang Islam, dan namanya yang benar
adalah Ahmad Lessy.
Tuanku Imam Bonjol
dan Tuanku Tambusai, sempat digugat kepahlawanannya oleh beberapa orang
Mandailing karena kekerasan mereka, dan ulah salah seorang pengikutnya di
Pasaman dan Tapanuli, dan betapa orang Minang dan Melayu bersemangat menggugat
melindungi pahlawan kesayangannya.
Dan kini, setiap
organisasi yang mempunyai anggota terpilih sebagai Pahlawan Nasional, saling
berbangga dengan pahlawannya itu...
Kalau pahlawan
nasional diadakan sekedar agar kuburan mereka ditaburi bunga, monumen
peringatan mereka ditinggikan, serta semua simbolisasi lainnya, yang akan
ditinggalkan takkala upacara telah selesai...
Kalau pahlawan
nasional dijadikan untuk berlomba-lomba, suku mana yang paling banyak
menghasilkan pahlawan, organisasi mana yang banyak pahlawannya...
Maka saya tidak
butuh pahlawan!!!
Ke mana Bhineka
Tunggal Ika, kalau masih membuka jahitan luka lama? Ke mana persatuan kalau
masih menyingkap aib duka? untuk apa pahlawan kalau dibuat berbangga-bangga
antar suku, agama, ras, dan antar golongan belaka? Saya tidak butuh!!!
Itu penghinaan bagi
saya, seandainya saya dijadikan pahlawan oleh mereka...mungkin arwah saya
berteriak memaki generasi ini "mengapa tak kau lanjutkan perjuanganku
...bunga saja yang kau tabur di pusaraku...tak butuh bagiku bunga itu, habis
dimakan layu, takkan meresap ke tanah kuburku...dengan suka cita kau
injak-injak makamku, dengan pesta pora kau habiskan perjuanganku"
Tapi
entahlah...seberapapun perhatian yang saya renggut, sekeras apapun saya
menjerit, semanis apapun kata saya buat, tidak ada yang berubah. Toh tidak
banyak yang memperhatikan posting ini,
setidaknya beberapa orang yang berbesar hati melirik walau sedikit dan
merenungkannya. Toh saya hanyalah orang biasa, orang besarlah yang punya
kebijakan. Toh saya hanyalah manusia, yang bisa benar dan bisa salah...
...dan patung itu
sampai sekarang terus menatap ke barat laut seraya menghormat...entah kepada
siapa hormat yang ditujunya, barangkali Ka'bah di Mekah sana...
0 komentar:
Posting Komentar